Selasa, 24 Juni 2008

Artikel dari Situs Nu Syria

DILEMATIKA REALITAS vis a vis REALITAS HUKUM( sebuah pencermatan lokalitas sejarah ) Oleh: Abdul Latif Malik*

Introduksi

Setelah 23 tahun menyampaikan risalah kenabian, Nabi Muhammad Saw menghadap ke hadirat Allah Swt. Dalam periode kenabian tersebut, secara absolut diakui bahwa transformasi peradaban telah tuntas dan gemilang dengan terwujudnya perubahan pada komunitas Arab yang sebelumnya selalu berbangga dengan lokalitas tradisinya (baca; ultra nationalism), sehingga selalu terpuruk dalam bulan-bulanan imperialisme Romawi atau Persia, berubah menjadi komunitas masyarakat yang berkesadaran “being the cociety.” Semua itu adalah karunia Allah Swt kepada alam semesta yang telah mengutus Nabi Muhammad Saw denga risalah Islam yang universal sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau ( Muhammad SAW) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”


Kepergian Nabi Muhammad Saw setelah menyampaikan risalahnya ini tentu merupakan jaminan bahwa semua amanat kenabian telah disampaikan kepada umat manusia sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku relakan Islam sebagai agama kalian.”

Lain dari itu, Nabi Muhammad Saw juga telah menggariskan kepada para pengikutnya agar terhindar dari kebinasaan personal atau pun peradaban. Hal ini sebagaimana terekam dalam wasiatnya :

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang apabila kalian selalu berpegang teguh dengan dua perkara tadi maka kalian tidak akan tergelincir selamanya, yaitu Al- Qur’an dan Suri tauladanku.”

Dialektika suksesi kepemimpinan : antara justifikasi teks dan konteks.

Ibn Khaldun seorang raksasa sosiologi dunia, dalam Mukaddimah-nya menyampaikan bahwa tidak ada polemik yang paling berdarah kecuali polemik dalam masalah kepemimpinan. Menyelami logika empiris ini, seharusnya kita bisa memahami idealisme Syi’ah yang mendasarkan segala konstruk pemikirannya kepada episteme kepemimpinan (baca: Al-Imamah), selain episteme enam rukun iman yang lain. Selanjutnya, dengan dasar tambahan episteme ini, kaum syi’ah membangun segala produk teologi, filsafat, hukum atau pun etika Islam. Tetapi hal ini bukan berarti sebuah keniscayaan mutlak yang otomatis segalanya akan menjadi hitam-putih. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa seringkali idealisme terbentur oleh realitas politik yang selanjutnya akan berimplikasi kepada realitas hukum pula. Kepergian Rasulullah Saw yang begitu dicintai para pengikutnya menimbulkan sedikit gejolak “sindrom of patronase” bagi para Sahabat dan terlebih para Ahlul bait, sehingga ditengah suasana duka yang sangat dalam, para pembesar sahabat dari kaum Ansor berinisiatif untuk memilih secara demokratis pemimpin diantara mereka. Kaum Anshor yang merupakan pembela garda depan pasukan Rasulullah di segala medan pertempuran masih sedikit khawatir jikalau estafet kepemimpinan politik ( baca : patron of power) berada di tangan kelompok Quraisy yaang noto benenya banyak diantara pembesar mereka merupakan rival kenabian yang begitu dijunjung kaum Anshor.

Kekhawatiran ini segera sirna total begitu Sayyidina Abu Bakr As Shiddiq datang dan segera maju membawakan khutbahnya yang bersejarah, karena mampu menuntaskan kegelisahan kaum Anshor. “Saya tidak akan mengajukan diriku sebagai pemimpin diantara kalian” demikian Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq r.a, memulai khutbahnya, “Tetapi Quraisy yang telah dimuliakan Allah Swt dengan kesetiaan sejak awal kepada Rosulullah sungguh sudah selayaknya menjadi pemimpin diantara kalian, dan saudaraku kaum Anshor akan begitu mulia apabila rela menjadi para pendamping kami dalam meneruskan perjuangan Rosulullah”, demikian kurang lebih khutbah Abu Bakar. Kaum Anshor segera bisa menerima logika Abu Bakar yang secara radikal mampu melenyapkan kegelisahan kaum Anshor sebelumnya. Serta merta Abu Bakar menyusul dengan kalimatnya, “Saya ajukan kepada kalian diantara dua sahabat agung kita, Umar Ibn Khattab yang telah kalian ketahui keadilanya atau Abdullah bin Jarrah yang telah engkau ketahui ke-'wara'-annya.” Secara tegas Umar maupun Abdulah Ibn Jarrah menyerukan kepada khalayak “Sungguh kami tidak akan ridlo menjadi pemimpin sedangkan di antara kita ada engkau wahai Abu Bakar As Shiddiq..!”. Seketika itu secara aklamasi terpilihlah Sayyidina Abu Bakar Ashiddiq sebagai pemimpin atas desakan realita dan demi stabilitas umat. Dengan berat hati Sayyidina Abu Bakr menerima amanat ini.

Sampai di sini, jika memang kita bisa menganggap bahwa itu adalah realitas politik, maka sungguh epos “Tsaqifah bani Sa’idah” menunjukkan kepada sejarah bahwa tidak selamanya realitas politik akan secara diametral berlawanan dengan idealisme hukum. Memang sebagaimana kita ketahui, bagi sebagian besar umat Islam (baik itu dari sunnah amaupun syi’ah) Imam Ali bin Abi Thalib merupakan figur ideal penerus estafet kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah. Bahkan, secara esensial kaum syi’ah mengklaim bahwa idealisme ini bukan sekadar berpijak pada logika belaka, tetapi juga berlandaskan pada causa hukum dengan menafsirkan hadist Ghadir Quum sebagai clear statement Rosulullah atas ke-wilayah-an Ali bin Abi Thalib r.a. Tetapi, sekali lagi, realita sejarah tidak selamanya sesuai dengan idealisme hukum. Karena selanjutnya, realitas politik juga pada gilirannya akan mengambil posisinya sebagai realitas hukum pula. Thesa ini semakin diperkuat dengan indikator kesediaan Sayyidina Ali r.a, untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq r.a.

Fragmentasi politis Syi’ah-Sunnah adalah lokalitas sejarah.

Jika kita berpikir secara jernih dan menjauhkan diri dari pretensi fanatisme apa pun, maka dari pembacaan sejarah akan menunjukkan kepada kita bahwa segala macam konfrontasi pemikiran antara umat muslim akan selamanya bisa “didamaikan” dalam komunitas kaum ulama melewati perdebatan buku-bukunya. Realita akan berbicara lain sehingga seringakali harus menumpahkan darah apabila perbedaan itu berselingkuh dengan kepentingan politis pencapaian kekuasaan.
Kita tidak perlu jauh memutar ulang sejarah untuk mampu melihat hal ini. Saat ini, penulis berani memastikan bahwa, konflik berdarah yang sedang terjadi di Iraq, Pakistan, ataupun Afganistan diantara umat Islam adalah sungguh bukan dikarenakan perbedaan ideologi pemahaman agama yang secara real terfragmentasi pada Sunni-Syi’ah ataupun Sufi-Salafi. Terbukti, sejak berabad-abad yang lampau pluralitas masyarakat muslim Iraq tidak pernah mengakibatkan konflik berdarah sebagaimana yang saat ini terjadi. Sebelum kita menyalahkan intervensi imperialisme Amerika-Israel, seharusnya kita harus intropeksi mengapa kita mau diintervensi? Jawaban nyata dari pertanyaan ini adalah terletak pada kepentingan kekuasaan yang seringkali dibungkus dengan ideologi madzhab sebagai justifikasi publik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini berarti umat Islam tidak diperkenankan menjadi pemimpin untuk sebuah kemaslahatan? Islam sangat merekomendasikan umatnya untuk bermasyarakat dan itu artinya harus ada yang menjadi pemimpin. Sebuah kaedah mengataka ”La Islam illa bi jama’atin wa jama’ata illa bi imarotin wa imarota illa bi tho’atin.” Sebagai support atas hal ini, bahkan sebuah hadist Rosulullah menyatakan bahawa pemimpin yang adil adalah salah satu dari tujuh kelompok yang mendapatkan jaminan perlindungan Allah pada hari akhir.
Selanjutnya, terkait dengan fenomena ini, konsep ahlusunnah wal jamaah dengan al wasatiyah-nya menyampaikan bahwa sebuah fakta stabilitas yang berkeadilan akan selanjutnya otomatis menjadi fakta hukum, sehingga tugas ke-khalifah-an manusia di muka bumi segera bisa terealisasi, karena manusia tidak tersibukkan dengan konflik kekekuasaan an-sich.
Dalam hal ini sepatutnya umat Islam menyelami kedalaman sebuah teks hadist Rosulullah Saw yang berbunyi : “Kun imaman muti’an au ma’muman mutho’an wa latakun tsalisan min huma, fa tahliku wa tuhlik.”

Membuka kembali luka sejarah masa lampau sama sekali tidak akan menghasilkan apa pun selain rasa permusuhan dan dendam yang sebenarnya justru telah dituntaskan secara elegan oleh para tokoh pemimpin kita masing-masing saat itu. Apabila kita jumpai beberapa riak konflik itu sekali lagi tidak lebih dari fragmen lokalitas sejarah yang perlu kita ambil hikmahnya.


Monolitas kebenaran dalam bingkai pluralitas ideologi pemikiran.

Sejauh seorang atau sebuah komunitas muslim tidak mengeluarkan dirinya dari kelompok agama Islam, atau berperilaku dan berpikir yang secara niscaya berlawanan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw, maka mereka adalah tetap umat Islam yang dijamin darahnya di dunia dan jaminan surga di akhirat.
Menafsirkan hadist 73 golongan, seringkali kita menemukan sebagian ulama terjebak dalam klaim kebenaran yang menyesatkan sehingga kita terlena dengan tugas kekhalifahan dunia. Pemahaman fundamental ini perlu kita camkan secara seksama dalam segala lapisan komunitas umat dan terutama dari kalangan pemimpin kita karena terbukti sebenarnya pemahaman yang keliru dari sebagian pemimpin kita justru mengakibatkan umat selalu terkotak-kotak dalam konflik klaim indentitas yang tidak perlu, sehingga menyebabkan pertumpahan darah. Penulis dalam hal mengikuti secara total logika Prof. Dr. Muahammad Said Romadlon Al-Bhouty dalam menafsirkan hadis 73 golongan ini. Dalam pembacaan Al-Qur'an, Al-Bhouty menegaskan bahwa umat Islam adalah tunggal, dalam arti semuanya membaca Al-Qur'an sebagai petunjuk atau wahyu. Tetapi, sebagaimana maklum adanya, realitas yang ada menunjukkan bahwa umat muslim terbagi dalam dalam beberapa kelompok besar, antara lain Sunny, Syi'i dan Mu'tazilah. Di sini, sama sekali Al-bhouty tidak khawatir disebut inkonsisten saat melegalisasikan adanya perbedaan tersebut. Perbedaan ini, bagi Al-Bhouty adalah sekedar perbedaan pemahaman dalam rangka penerapan wahyu sebagai petunjuk dan bukan perbedaan pembacaan atas eksistensinya. Perbedaan pemahaman, bagaimana pun adanya, adalah wajar terjadi dan dalam tataran tertentu justru direkomendasikan oleh Al-Qur'an itu sendiri, sepanjang pembacaan yang dilakukan masih dengan methode yang sama ( ushul fiqh/ ushul din). Dalam hal ini Al-Bhouty secara tegas dan simultan mempertahankan pemahaman ahli sunnah wal jama'ah sebagai pemahaman yang rasionalis. Jika persepsi banyak pemikir mengatakan bahwa Mu'tazilah adalah pengusung akidah yang rasional, maka lewat beberapa karyanya, Al-Bhouty menegaskan bahwa perbedaan pemahaman yang terjadi hanyalah ikhtilaf lafdziah. Patut dicatat, implikasi dari beberapa point perbedaan antara ahli sunnah wal jama'ah dan Mu'tazilah sama sekali tidak menjadikan adanya keharusan saling mengkafirkan. Beberepa point fundamental, yang sering disalah pahami sebagian pemikir sebagai keniscayaan dan peluang saling 'mengkafirkan' antara paham ahlusunnah dan mu'tazilah, diulas secara mendalam dan rasional oleh Al-Bhouty, seperti masalah perbuatan makhluq, posisi Al-Qur'an antara sifat qodim dan hadistnya, kemampuan manusia melihat Alla di hari qiamat, dsb. Semuanya diurai oleh Al-Bhouty dengan seksama tanpa ada peluang, celah maupun potensi keharusan mengkafirkan yang lain.

Saat banyak pemikir Islam kebingungan dalam memahami hadist yang mengindikasikan umat Nabi Muhammad akan terpecah dalam 73 golongan dan hanya satu golongan diantara mereka yang selamat, maka Al-Bhouty dengan cermat membaca hadist itu sebagai suatu keniscayaan. Dalam redaksi hadist tersebut sangat jelas sekali bahwa yang terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat. Itu bukan umat Islam, tetapi umat Nabi Muhammad. Berbeda dengan umat Nabi Musa dan umat Nabi Isa saat itu, yang terpecah adalah kaum yang percaya dengan agama yang dibawa keduanya, sedangkan redaksi "sataftariqu ummati", berarti bahwa semua kaum yang datang sejak dan pasca kenabian Muhammad Saw akan terpecah menjadi 73, dan hanya satu yang selamat adalah umat Muslim atau yang percaya dengan kenabian Muhammad.

Dari pemahaman konprehensif Al-Bhouty seperti ini, sama sekali kita tidak perlu khawatir akan terjadinya hegemoni truth claim sebagian golongan atas golongan yang lain. Karena semua golongan dalam pemahaman Islam adalah dijamin eksistensinya oleh rasulullah sebagai ummatul ijabahnya, asal, sekali lagi, mereka selalu berjalan dalam rel-rel pembacaan akidah yang sama, yaitu sebagai petunjuk kehidupan.


Persatuan internal umat Islam dan tugas kekahlifahan di dunia.

Abad XXI seringkali disebut sebagai abad kebangkitan kembali umat Islam. Kabar gembira ini banyak disampaikan oleh beberapa ulama besar Isl m dengan berlandaskan pada bisyaroh yang mereka terima dari Allah Swt melalui intuisi hatinya. Bukan sekedar itu, analisa seperti ini juga sering kita dengar dilontarkan oleh banyak ilmuan sosial barat yang notobenenya mereka hanyalah berpijak pada analisa empirik. Beberapa diantaranya menyampaikan prediksi ini secara samar -dengan mencoba mengalihkannya kepada dominasi hegemoni peradaban barat- sehingga justru semakin menunjukan “ketakutan” mereka atas hal ini. Francis Fukuyama, seorang futurolog, dalam bukunya yang berjudul “Akhir Sejarah” menegaskan bahwa kepemimpinan peradaban barat yang materialis dengan keunggulan demokrasinya adalah realita tak terbantahkan dan akan terus menjadi panutan sejarah. Dengan kata lain, demokrasi adalah prasyarat mutlak bagi kemungkinan perabadan-peradaban di dunia untuk bisa eksis, sehingga, pada saat Barat sekarang telah terbiasa dengan demokrasi maka barat-lah yang akan selamanya leading memimpin peradaban-peradaban lain di dunia. Mengaitkan dengan “bisyaroh” diatas, terlihat jelas bahwa Fukuyama -dengan sengaja atau tidak- telah memotong konsekwensi logisnya kepada salah satu causa, yaitu demokrasi. Padahal, demokrasi adalah sekedar – jika bukan salah satu dari beberapa- alat terakhir yang harus dilalui manusia untuk membangun peradaban. Selanjutnya, ghoyah manusia dari wasilah demokrasi adalah pencapaian secara bersama-sama kebenaran tertinggi akal manusia tanpa ada reserve dan intimidasi, dan itu lah agama Islam yang pada lima belas abad yang lalu disampaikan kepada kita oleh Junjungan Nabi Muhammad Saw. Celah ini semakin terlihat kentara jika kita menelaah hipotesa Samuel P. Huntinton pada tahun 1991 dalam bukunya “The Clash of Civilisation”, lima tahun setelah thesa Fukuyama hadir. Saat ini, demikian Huntington mengungkapkan, tiga peradaban besar dunia, yaitu barat, konfusianis dan Islam sedang bertarung merebut kelayakan sejarah. Banyak ilmuwan menolak pemaparan Huntinton ini, tetapi menerima ataupun menolak adalah tetap saja menghasilkan bahwa Islam akan segera memayungi penghuni dunia yang telah letih akibat ambisi materialisme.

Pertanyaan mendasar yang segera menyeruak adalah benarkah umat Islam telah siap memimpin komunitas dunia? Tulisan singkat diatas dihadirkan untuk mencoba menyelami sejauh mana kondisi internal umat muslim dewasa ini dalam relevansinya dengan tugas kepemimpinan umat manusia di dunia.


Wallahu a’lam bisshowab.




1. Lihat, Al Insan Musayyar au Mukhayyar, Prof DR. Muhammad Said Romadlon Al Bhouty,
2. Contoh dari perbedaan pemahaman bisa dibaca dalam uraian tentang sifat Kalam bagi Alloh, lihat dalam "Kubro al Yakiniyyat al Kauniyyah" hal.126.
3. Dari sini, al bhouty seringkali tak mampu memendam kegeramannya kepada sebagian golongan kaum muslimin yang dengan pemahaman akidahnya serta merta mengkafirkan golongan lainnya. Bahkan albhouty seringkali merasakan bahwa justru karena golongan seperti inilah peluang kebangkitan ummat selalu tersendat-sendat. walaupun golongan tersebut terlihat banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan fisik ummat, tetapi kontribusi mereka secara hadloroh adalah penghambatan atas kebangkitan. Mengapa?, karena akibat provokasi golongan tersebut, ummat muslim selalu terseret kedalam putaran konflik identitas internal.
4. Dalam therminologi 'ummat' terbagi menjadi dua, ummatutda'wah dan umatulijabah. Ummat al ijabah adalah kaum nabi yang percaya dengan kenabian nabi tersebut, sedangkan ummat al da'wah adalah kaum yang dimana nabi diutus untuk berdakwah kepada mereka. Dengan pembagian ini, berarti yang terpecah menjadi 73 golongan adalah ummat al da'wahnya, yang mencakup kaum Hindu, Bhuda, Kristen, Yahudi, Kong hu cu dst, dan hanya satu yang selamat adalah yang percaya kenabian Nabi Muhammad SAW yaitu ummat Islam atau ummat alijabah. Keterangan ini didapat penulis dari al Bhouty saat pengajian rutin malam Selasa-an


* Makalah ditulis oleh Abdul Latif Malik, mantan Ketua Tanfidziah PCI NU Syria 2004-2006, untuk diskusi Refleksi Pemikiran ASWAJA yang diselenggarakan oleh Panitia Konferensi Cabang Istimewa Syria PCI NU 2006 dalam rangka Pelantikan Kepengurusan PCI NU Syria-Lebanon 2006-2008. Damaskus, 23 Desember 2006.

Sumber : Situs NU Syria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar