Senin, 29 Desember 2008

Kajian SURAH AL FATIHAH

Pada posting kali ini, saya akan menyajikan kajian tentang surah-surah Al Quran berikut rahasia dan keistimewaan masing-masing surat. Insya Allah akan kita kaji satu persatu. Untuk posting kali ini, saya sajikan Kajian SURAH AL FATIHAH.

SURAH AL FATIHAH

Pendahuluan

Surat Al Fatihah yang merupakan surat pertama yang di tuturkan dalam Mushaf Al Quran, di turunkan di Mekah dan terdiri dari 7 ayat. Surat ini adalah surat yang pertama kali di turunkan secara lengkap diantara surat-surat yang ada dalam Al Quran. Karena di turunkan di Mekah dan sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah, maka surat Al Fatihah termasuk Surat Makkiyah. Menurut pendapat lain, Surat ini termasuk Surat Madaniyah, yakni termasuk surat yang di turunkan di Madinah. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat, Surat Al Fatihah termasuk Surat Makkiyah.


Kemudian, para ulama juga sepakat bahwa surat ini terdiri dari 7 ayat, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang masalah basmalah. Sebagian ulama, khususnya para ulama Syafi`iyah mengatakan bahwa basmalah termasuk ayat surat Al Fatihah yang pertama dan wajib di baca ketika surat ini di baca pada ibadah sholat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa basmalah tidak termasuk ayat Surat Al Fatihah dengan menjadikan ayat “ al hamdu lillahi robbal alamin “ sebagai ayat pertama dan ayat “ Ghoiril maghdluubi alaihim waladl dlooolliin “ sebagai ayat ke tujuh. Mengenai masalah basmalah ini berikut versi pendapat beberapa madzhab, insya Allah akan kita bahas lebih lanjut pada kesempatan yang lain.

Tentang nama Surat Al Fatihah

Surat ini di namakan Surat Al Fatihah karena dengan surat inilah di buka dan di mulainya Al Qur`an. Al Fatihah artinya pembukaan, yaitu pembukaan untuk Kitab Suci Al Quran. Ibnu Jarir Ath – Thobariy dalam kitabnya Jami` al Bayan mengatakan : “ Surat ini di namakan Surat Al Fatihah karena Mushaf Al Quran di awali dengannya dan karena surat ini di baca dalam sholat fardlu”. Di samping itu, Surat Al Fatihah juga memiliki nama-nama lain, diantaranya :

1. Ummul Quran ( Induk Al Quran ) atau Ummul Kitab ( Induk Al Kitab ). Di namakan demikian karena Surat Al Fatihah merupakan induk semua isi Al Quran yang meliputi keimanan, hukum-hukum dan kisah-kisah, bahkan Surat Al Fatihah menjadi intisari dari semua isi kandungan Al Quran. Karena ini pula, membaca Surat Al Fatihah menjadi rukunnya ibadah sholat dan menentukan sah tidaknya ibadah tersebut.
2. As Sab`ul Matsani ( tujuh ayat yang berulang-ulang ). Surat Al Fatihah di namakan As Sab`ul Matsani, sebab ke tujuh ayatnya di baca secara berulang-ulang setiap kaum muslimin menunaikan ibadah sholat.

Imam Al Qurthubiy dalam kitabnya Al Jami` li Ahkami al Quran menyebutkan bahwa Surat Al Fatihah memiliki nama sebanyak 12 nama. Diantaranya selain 3 nama yang di tuturkan di atas, yaitu Asy Syifa` ( Obat penyembuh ), Al Wafiyah ( Yang sempurna ), Al Kafiyah ( Yang mencukupi ), Al Asas ( Pedoman ), Al Hamdu ( Pujian ) dan beberapa nama lagi yang di tuturkan secara lengkap dalam kitab tersebut yang keseluruhannya berdasarkan pada petunjuk Nabi atau hasil ijtihad para Sahabatnya. Bahkan Imam Al Luusiy dalam kitab Ruuhul Ma`aniy mengatakan bahwa ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa nama-nama Surat Al Fatihah mencapai lebih dari sepuluh atau dua puluh nama.

Isi kandungan

Unsur-unsur penting sebagai cerminan dan intisari kandungan Al Quran yang di tuturkan dalam Surah Al Fatihah, adalah sebagai berikut :

1. Masalah keimanan, tauhid dan ubudiyah.
Masalah keimanan, tauhid dan ubudiyah di sebutkan dalam ayat ke 2, ke 4, dan di sempurnakan pada ayat ke 5. Dalam ayat ke 2 di nyatakan keimanan kepada Allah SWT dengan menggunakan ungkapan : “ segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam “. Dengan tegas ayat ini menyatakan bahwa segala bentuk pujian dan sanjungan serta ucapan syukur atas semua bentuk ni`mat hanya milik Allah, sebab Allah pencipta dan sumber segala ni`mat yang terdapat di dunia ini. Di samping itu, hal tersebut juga di fahami dengan melihat alif lam ( ال ) yang terdapat dalam kalimat : “ al hamdu ( الحمد ) “ adalah alif lam lil istighra`.

Kemudian,diantara ni`mat-ni`mat Allah yang wajib di syukur dan di puji Sang Pemberinya, diantaranya adalah ni`mat menciptakan, ni`mat mendidik dan menumbuhkan. Kata “ Rabb “ dalam kalimat “ Rabbal `alamin “ tidak hanya berarti Tuhan yang menciptakan dan Penguasa alam semesta, akan tetapi juga mengandung arti tarbiyah, yaitu mendidik dan menumbuhkan. Dengan demikian, baik ni`mat menciptakan, mendidik dan menumbuhkan maupun ni`mat apa saja yang kita lihat dan kita rasakan semua bersumber dari Allah dan semata-mata kemurahan anugerah-Nya. Karena itu, semua ni`mat tersebut tidak boleh tidak wajib di syukuri. Penciptaan alam semesta, kemudian penjagaanya dan perlindungannya oleh Allah SWT sudah menjadi tanggungjawab manusia untuk memperhatikannya, agar semakin menambah keimanan dan keyakinan akan keagungan dan kemuliaan Allah. Karena masalah keimanan adalah masalah yang pokok, dimana Allah tidak hanya cukup di syukuri dan di sanjung atas anugerah dan ni`mat-ni`mat-Nya, akan tetapi juga di sembah. Oleh sebab itu, pokok keimanan yang di tuturkan dalam ayat ke 2 ini, di tegaskan dan di lengkapi dengan ayat ke 5, yakni “ ‘ iyyaka na`budu wa iyyaka nasta`iin ( hanya kepada-Mu kami menyembah dan menghambakan diri, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan ) “.

Pokok keimanan selanjutnya di sebutkan dalam ayat ke 4, yakni “ maa liki yaumiddin “ ( Yang menguasai hari pembalasan ). Ayat ini menuturkan tentang kewajiban mengimani adanya hari pembalasan atau hari kiamat, dimana Allah akan menguasai hari itu. Artinya Allah Yang berkuasa pada hari itu dan segala sesuatu tunduk kepada kebesarn-Nya seraya berharap rahmat dan kasih sayang-Nya serta cemas dan takut pada azab dan siksaan-Nya. Hal ini sekaligus berarti adanya janji untuk memberi pahala dan balasan kepada perbuatan baik dan ancaman terhadap perbuatan yang buruk.

2. Masalah hukum.

Masalah hukum dalam surat Al Fatihah dapat kita perhatikan dalam ayat ke 6. Di sebutkan dalam ayat ini bahwa orang-orang beriman bermohon kepada Allah untuk menunjukkan jalan yang benar dan memohon hidayah kepada-Nya, yang mengantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hidayah yang di kehendaki tentu saja yang akan bisa membimbing mereka menuju keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat, baik berupa keyakinan dan iman yang kuat, akhlak dan terpuji, hukum-hukum dan pelajaran.

Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuniy dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam menuturkan bahwa makna ayat ke 6 dari Surat Al Fatihah ini adalah : “ Ya Allah tetapkanlah iman dalam hati kami, berikanlah kami pertolongan untuk senantiasa berbuat baik dab beramal sholeh dan jadikanlah kami termasuk orang-orang yang meniti jalan kebenaran Islam agar kami meraih kebahagiaan di Surga-Mu Jannatin Na`im.’’

3. Kisah-kisah umat terdahulu.

Kisah-kisah umat terdahulu dalam surat ini dapat kita pelajari dalam ayat ke 7. Ada dua bagian kisah yang berbeda, pertama menuturkan kisah-kisah orang-orang yang telah mendapatkan ni`mat dan kedua, kisah orang-orang yang mendapat laknat dan tersesat dari jalan kebenaran.

Orang-orang yang telah mendapatkan ni`mat ( اللذين أنعمت عليهم ) menurut Ibnu Abbas adalah para Nabi, para shiddiqiin, para syuhada` dan para sholihin. Pendapat ini kemudian di ikuti dan di amini para jumhur ulama. Mereka mendasarkannya pada ayat 69 dari Surat An Nisa :

وَمَنْ يُطِعِ ا للهَ وَالرَّسُوْلَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِيْنَ أَنعَمْتَ عَلَيْهِم مِنَ النَّبِيّيْنَ وَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ( النّساء 69 ).
“ Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang di anugerahi ni`mat oleh Allah, yaitu Nabi-nabi, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid ( syuhada ) dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. ( QS. An Nisa 69 ).

Kemudian, orang-orang yang mendapat laknat atau murka ( المغضوب عليهم ) – masih menurut Ibnu Abbas – adalah Bangsa Yahudi. Ibnu Abbas memajukan dalil ayat 112 dari Surat Ali Imron dan ayat 60 dari Surah Al Maidah .

وَبَاءُوْا بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ { الأية }
“ Dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah ( QS. Ali Imron 112 ).

مَنْ لَعَنَهُ اللهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرِ { الأية }

…” yaitu orang-orang yang di laknat dan dimurkai Allah, diantara mereka ada yang di jadikan kera dan babi. ( QS. Al Maidah 60 ).

Kemudian, mengenai orang-orang yang tersesat (الضّالّين ) Ibnu Abbas berpendapat, adalah orang-orang Nasroni, dengan dalil ayat 77 dari Surat Al Maidah.
قَدْ ضَّلُّوْا مِنْ قَبْلُ وَأَضَّلُّوْا كَثِيْرًا وَضَّلُّوْا عَنْ سَوَاءِ الْسَبِيْلِ{ الأية }

“ …orang-orang yang telah sesat dahulunya sebelum kedatangan Muhammad dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. ( QS. Al Maidah 77 ).

Sebagian ulama mufassirin ( ahli tafsir ) diantaranya Imam Al Fakhrurrozy memberikan pendapat yang berbeda dengan pendapat Ibnu Abbas. Menurut beliau yang di maksud dengan orang-orang yang di laknat Allah ( المغضوب عليهم ) adalah orang-orang Yahudi dan juga meliputi semua manusia yang berbuat ma`shiyat dan melakukan perbuatan buruk, yaitu orang-orang fasiq dan orang munafiq, sedang orang-orang yang tersesat (الضّالّين ) adalah orang-orang Nasroni dan meliputi juga semua orang yang tersesat dalam aqidah dan keimanannya, yaitu orang-orang kafir. Alasan beliau, lafadz المغضوب عليهم dan الضّالّين mengandung makna umum, tidak tertentu pada orang-orang Yahudi dan Nasroni. Tentu saja orang yang mengingkari eksistensi Allah dan berlaku musyrik tentu saja lebih buruk keadaannya jika di bandingkan orang-orang Yahudi dan Nasroni yang mempercayai keberadaan Allah.

Di samping itu, Imam Al Fakhrurozi masih memajukan argumentasi yang lain, dengam membuat perbandingan antara Surah Al Fatihah dengan Surah Al Baqoroh. Dalam Surah Al Baqoroh, Allah mengawalinya dengan menuturkan orang-orang yang beriman dan memberikan pujian kepada mereka dalam lima ayat awal surat ini, lalu secara berurutan, Allah menuturkan tentang orang-orang kafir dan di ikuti orang-orang munafiq. Jika di bandingkan dengan Surat Al Fatihah, akan kita dapatkan kesamaan. Dalam Surah Al Fatihah Allah juga menuturkan tentang orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang telah mendapat anugerah keni`matan ( الّذين أنعمت عليهم ), lalu di ikuti dengan penuturan tentang orang-orang kafir (المغضوب عليهم ) dan di tutup dengan penuturan tentang orang-orang kafir (الضّالّين ).

Akan tetapi, pendapat Imam Al Fakhrurrozy ini di bantah oleh Imam Al Luusy, menurut beliau penafsiran المغضوب عليهم (orang-orang yang di laknat Allah ) adalah orang-orang Yahudi dan الضّالّين ( orang-orang yang tersesat ) adalah orang-orang Nasroni, dan hal ini tidak bisa di bantah sebab penafsiran seperti ini berdasarkan penafsiran Rasulullah yang di tuturkan dalam haditsnya. Imam Abu Hayyan menambahkan, jika benar penafsiran seperti itu berasal dari Rasulullah, maka kita wajib mengikutinya. Imam Al Qurthubiy mengatakan bahwa penafsiran jumhur ulama seperti yang di tafsirkan oleh Ibnu Abbas dan Imam Al Luusiy adalah berdasarkan penafsiran Rasulullah dalam hadits `Adiy ibn Hatim dan kisah masuk islamnya.

Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam kitab Tafsir Ayat Ahkam menyatakan dukungan atas pendapat Imam Al Fakhruroziy. Kata beliau : “ Penafsiran Iman Al Fakhrurozi tidak ada salahnya untuk di terima, sebab kedua lafadz tersebut memang mengandung makna umum. Jelasnya, المغضوب عليهم dan الضّالّين adalah orang-orang Yahudi, orang Nasroni dan meliputi semua manusia yang menyeleweng dari agama dan tersesat dari syariat yang lurus. Dengan demikian, orang-orang kafir dan orang-orang munafiq termasuk dalam lingkup penafsiran lafadz المغضوب عليهم dan الضّالّين .

Kunjungi situs ini dan Semoga SUKSES !!

Kamis, 31 Juli 2008

“Sikap Tidak Peduli”

Sudah berulangkali peringatan bahaya pemikiran liberal gaya Nasr Hamid Abu Zaid disampaikan, tetap saja paham seperti itu disebarkan. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-240

Oleh: Adian Husaini

Dalam bukunya yang terkenal, Islam at the Crossroads, Muhammad Asad/Leopold Weiss mengingatkan umat Islam, bahwa: ”The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.”

Jadi, kata Asad, penjiplakan kaum Muslim – baik secara individual maupun sosial – terhadap gaya hidup Barat tanpa diragukan lagi adalah bahaya terbesar dari eksistensi dan kebangkitan kembali peradaban Islam. Buku Asad ini terbit pertama tahun 1934 dan telah ditejemahkan ke dalam berbagai bahasa. Buku kecil ini memberikan gambaran yang tajam tentang hakekat peradaban Barat yang disebut oleh Asad, sebagai peradaban yang memuja materi dan anti-agama (irrelegious in its very essence).

Lihatlah nilai-nilai peradaban Barat yang kini menyerbu rumah-rumah kita melalui media hiburan. Film-film, lagu, sinetron yang dijejalkan kepada generasi muda kita dipenuhi dengan urusan seputar syahwat jasadiah, baik menyangkut makanan maupun urusan seksual. Peradaban ini sangat mengagungkan unsur-unsur fisik. Jangan heran, jika dalam peradaban ini, wanita lebih dihargai karena unsur-unsur fisiknya. Kontes nyanyi dan loma kecantikan menjadi upacara yang sangat diagungkan, disiarkan ke seluruh penjuru dunia, tanpa peduli urusan moral.

Dalam kontes-kontes kecantikan seperti itu, setiap jengkal tubuh wanita diukur, ditelaah, dan dinilai untuk selanjutnya dipaparkan kepada publik. Bahwa si A memiliki tubuh terseksi di dunia. Media-media hiburan sibuk membuat ranking tentang wanita yang memiliki tubuh terindah. Bahkan, konon di suatu negara, ada majalah yang khusus menyajikan berita seputar alat kelamin wanita. Kata mereka, semua itu adalah ekspresi keindahan. Semua itu tidak ada hubungannya dengan pornografi, tetapi ekspresi seni.

Salah satu buah dari reformasi di Indonesia adalah kebebasan dalam kontes-kontes kecantikan. Sudah beberapa tahun, Putri Indonesia senantisa tampil dalam acara pemilihan Miss Universe. Meskipun harus tampil secara vulgar dalam pakaian bikini, kontes seperti itu tetap dilakukan, dan televisi di Indonesia pun berlomba menyiarkan acara tersebut. Tidak ada rasa malu lagi untuk tampil dengan membuka aurat. Tujuan utamanya tentu saja adalah untuk mendapatkan penghargaan sebagai ”Ratu Kecantikan”.

Dengan cara itu, mungkin mereka ingin membuktikan, bahwa ternyata wanita Indonesia tidak kalah cantiknya dengan wanita negara lain? Lalu untuk apa? Katanya, untuk pariwisata. Biar turis mau datang. Biar diakui, bahwa negara Indonesia banyak wanita cantik. Setelah itu?

Aneh! Inikah negara yang mayoritas penduduknya Muslim? Inikah negara yang menginginkan mendapat berkah dari Allah? Beginikah cara memajukan bangsa yang sedang terpuruk? Naif! Naif sekali! Akal yang sederhana pun tahu, bahwa bangsa ini akan bangkit jika rakyatnya mau belajar dan bekerja keras. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang berani berpikir besar dan berani melakukan tindakan besar, bukan dengan mengirimkan wanita untuk mengumbar aurat di kontes ratu kecantikan. Para ulama sudah berteriak-teriak minta agar acara semacam itu dihentikan. Tetapi, pemerintah diam saja. DPR diam saja. Barangkali takut dikecam media. Takut dibilang kolot. Takut dibilang sok-moralis. Takut dibilang melanggar HAM. Memang, di alam reformasi dan kebebasan seperti ini, protes tidak dilarang, tetapi tidak perlu didengarkan.

Tokoh agama sudah teriak-teriak agar acara-acara yang menonjolkan unsur-unsur homoseksual dan lesbian dihentikan. Tetaoi, protes itu pun dianggap angin lalu. Televisi tetap saja menayangkan tontonan seperti itu. Ulama sudah berteriak, hentikan tayangan judi via SMS. Tapi, TV pun tidak peduli. Jalan terus! Yang penting dapat untung! Para ulama juga tidak menyerah untuk mengimbau agar tayangan-tayangan klenik dihentikan. Tapi, seruan itu juga diangap sebagai angin lalu. Yang penting untung, yang penting dapat duit banyak. Yang penting, acaranya laku, iklan banyak. Tidak peduli, apakah tayangan itu merusak moral atau tidak; tayangan itu meruntuhkan sendi-sendi kekuatan bangsa atau tidak. Tidak peduli!

Sikap tidak peduli itu pula yang kini banyak menjangkiti banyak kalangan akademisi yang sudah tergila-gila untuk mem-Barat-kan Islam. Mereka tidak mau peduli dengan segala macam kritik. Banyak yang menganggap ini masalah remeh. Tidak peduli! Buku-buku yang merusak pemikiran Islam terus diterbitkan. Meskipun sudah diketahui sebagai buku yang salah. Tidak peduli!

Meskipun sudah berulangkali kita paparkan bahaya pemikiran liberal gaya Nasr Hamid Abu Zaid, tetap saja mereka menganggap kritikan itu sebagai angin lalu. Tidak peduli! Meskipun paham multikulturalisme sudah kita kritik, tetap saja paham itu disebarkan ke tengah masyarakat. Tidak peduli! Meskipun sudah kita tunjukkan kekeliruan dalam penafsiran Al-Quran atau pun kita tunjukkan kekeliruan dalam mengungkap data-datanya, tetap saja tidak peduli. Berulangkali kita tunjukkan bahwa ada guru besar yang kerjaannya sebagai penghulu swasta dan mengawinkan pasangan beda agama, tetap saja para petinggi kampusnya tidak peduli. Meskipun tahu ada dosen yang kerjaannya mengkampanyekan kehalalan perkawinan sesama jenis, tetap saja hal itu dianggap sebagai ”wacana”. Tidak peduli!

Jika sikap tidak peduli semacam itu sudah mejangkiti para elite negeri ini, baik kalangan pemerintah maupun akademisi, apalagi yang bisa kita harapkan? Jika suami tidak peduli lagi apa yang dilakukan istrinya, apakah pantas dia disebut suami? Jika pemimpin negara tidak peduli dengan perilaku rakyatnya, apakah pantas dia disebut pemimpin negara? Jika guru tidak peduli dengan perilaku siswanya, apakah pantas dia disebut sebagai guru? Jika cendekiawan dan ulama sudah tidak peduli dengan perilaku umatnya, apakah pantas dia disebut cendekiawan atau ulama?

Dalam tradisi peradaban Barat, seseorang dibiasakan untuk tidak peduli dengan kemunkaran dalam soal aqidah dan pemikiran. Mereka hanya peduli dalam soal-soal yang fisik, karena Barat memang peradaban yang sangat memuja materi. Mereka tidak peduli dengan urusan agama. Mereka sangat peduli dengan urusan korupsi dan kerusakan lingkungan, tetapi tidak peduli apakah seseorang beriman atau kufur, apakah seorang berdosa atau tidak. Mereka tidak peduli dengan semua itu! Yang penting masyarakat menjalankan ketertiban atau tidak. Itu yang mereka peduli.


Karakter masyarakat seperti itu tentu berbeda dengan masyarakat Islam. Sebab, dalam pandangan Islam, urusan terpenting dalam kehidupan adalah masalah keimanan. Maka, tugas pemimpin negara – disamping menyejahterakan kehidupan rakyatnya – juga melindungi aqidah masyarakat. Karena itu, dalam pandangan Islam, tugas utama seorang pemimpin Islam justru melindungi dan menegakkan Tauhid. Sebab, inilah tugas utama para nabi. Kita sudah sering membahas, bagaimana azab Allah akan turun ketika umat Islam melalaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

Dalam kaitan soal kepedulian inilah, maka Allah pun sudah mengingatkan agar kita senantiasa menegakkan iman dan mengembangkan sikap kritis terhadap kaum Muslim dan terutama kepada para pemimpinnya. Kita sangat prihatin dengan masih adanya gejala kultus di antara sebagian kalangan Muslim terhadap tokoh dan pemimpinnya. Mereka tidak peduli, apakah pemimpinnya itu keliru atau tidak. Bahkan, mereka sudah meletakkan nasibnya di dunia dan akhirat kepada sang pemimpin. Padahal, pemimpin itu bukan nabi, dan mungkin saja keliru dalam pemikiran dan kebijakan yang diambilnya.

Karena sikap kultus itu sudah begitu membudaya, sampai-sampai ada yang marah-marah jika pemimpinnya dikritik. Ada yang marah karena Amin Rais dikritik; ada pula yang tidak terima ketika Nurcholish Madjid dikritisi pemikirannya; dan ada yang tidak terima jika Abdurrahman Wahid dikritik. Tidak sedikit yang menjadi fanatik kepada seorang tokoh atau kelompoknya melebihi fanatiknya kepada Islam itu sendiri, sehingga dia sangat marah ketika kelompok atau pemimpinnya dikritik. Meskipun sang pemimpin jelas-jelas salah, dia tidak mau mengritiknya dan berusaha keras menutupinya, supaya pemimpin dan kelompoknya tidak jatuh martabat.

Sikap kultus seperti ini tidak mendidik masyarakat. Rasulullah saw sama sekali tidak mencontohkan sikap semacam itu. Berkembangnya tradisi ilmu senantiasa diikuti dengan budaya kritis di tengah masyarakat, meskipun sikap kritis itu tetap berpijak kepada adab. Budaya kultus dan taqlid yang membabi buta justru bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga akan merugikan sang pemimpin sendiri.

Pada tahun 2008 ini, misalnya, terbit sebuah buku berjudul ”99 Keistimewaan Gus Dur.” Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Muhaimin Iskandar menulis, bahwa ”Sebagai pemimpin, Gus Dur mampu mengawal, mendampingi dan mengayomi masyarakatnya menuju proses pembentukan kemandirian dan kehidupan yang demokratis.” Masih menurut Muhaimin, ”Gus Dur merupakan bagian dari kekayaan yang dimiliki bangsa ini yang patut diteladani oleh siapa pun yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan umat.”

Tentu saja, kata pengantar Muhaimin itu dibuat sebelum dia dipecat oleh Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PKB. Pujian setinggi langit juga diberikan oleh Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, M.A, dalam pengantarnya untuk buku ini. Aqiel mengisahkan, bahwa Gus Dur mampu mengenali seorang waliyullah. Suatu ketika, Gus Dur menemui seorang yang penampilannya sangat sederhana layaknya seorang ”gembel”. Ternyata, menurut Aqiel Siraj, yang ditemui Gus Dur itu adalah seorang wali yang sedang menyamar. Begitu ketemu, Gus Dur minta didoakan oleh orang tersebut. Aqiel menulis: ”Rupanya, Gus Durlah yang berhasil menyingkap sosok waliyullah tersebut. Sementara kewalian itu hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah.”

Jadi, dengan cerita itu, apakah berarti Abdurrahman Wahid adalah seorang waliyullah? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.

Salah satu dari 99 keistimewaan Abdurrahman Wahid yang disebutkan dalam buku ini adalah kegigihannya dalam membela kaum tertindas. Contoh kaum tertindas yang dibela Abdurrahman Wahid adalah Ahmad Dani, Inul Daratista, kelompok Ahmadiyah, Tabloid Monitor, dan sejenisnya.

Kita bisa bersikap kritis terhadap posisi Abdurrahman Wahid dalam soal-soal tersebut. Benarkah Inul merupakan seorang wanita yang tertindas? Benarkah Ahmad Dhani termasuk kaum yang tertindas? Dan sebagainya. Jika Inul dikatakan sebagai makhluk tertindas, bagaimana dengan ribuan ibu-ibu dan anak-anak yang ditindas oleh berbagai tayangan TV yang merusak moral? Mereka tertidas, dan mereka tidak berdaya. Inul justru bergelimang harta dan dibela habis-habisan oleh kekuatan industri hiburan yang sangat fasis. Kita pun bisa bertanya, dimana posisi Abdurrahman Wahid dalam kasus penindasan rakyat Palestina, di posisi Israel atau rakyat Palestina? Mengapa dia lebih memilih bersahabat dengan Shimon Peres?

Kita maklum, bahwa para pendukung seorang tokoh kadangkala membuat pemaparan yang mengagungkan sang tokoh. Ketokohan Abdurrahman Wahid tidaklah diragukan. Banyak keistimewaan dimilikinya. Karena itulah, ketika akan mendeklarasikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), para kyai senior di NU pun seperti merasa perlu menerbitkan sebuah buku kecil berjudul ”9 Alasan Mengapa Kiai-kiai tidak (lagi) bersama Gus Dur.”

Kita tunggu saja akhir dari semua ”permainan” semacam ini. Kita yakin, Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya terjadi. Allah tahu siapa yang benar dan siapa yang dusta. Pasti akan ada balasan untuk masing-masing. Para tokoh itu akan mempartanggungjawabkan perbuatannya sendiri kepada Allah SWT. Kita pun demikian. Di akhirat nanti, mereka akan berlepas tangan, dan tidak mau menanggung dosa-dosa kita.

Yang penting, kita tetap diwajibkan berdakwah dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Mudah-mudahan, kita tidak termasuk golongan orang-orang yang tidak tahu dan tidak peduli dengan berbagai persoalan umat. Sebab, kata Rasulullah saw, barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan urusan umat, maka dia bukan bagian dari umat Islam. Wallahu a’lam. [Depok, 21 Rajab 1429 H/24 Juli 2008/www.hidayatullah.com]

Sumber : Situs Hidayatullah

Kunjungi situs ini dan dapatkan ilmu yang bermanfaat !!

Minggu, 06 Juli 2008

Potret Negeri Syam


‘’ BERKAH DARI NEGERI YANG DI BERKAHI ‘’
Oleh : Mas Arifin Salamun

Berkah dari Negeri yang di berkahi “ adalah sederetan kata yang sengaja saya pilih untuk menjadi logo atau judul bagi rumah yang baru saja saya bangun di dunia maya, yang beralamat di www.min-syaamina.blogspot.com, sesungguhnya menyimpan makna yang cukup luas yang insya Allah juga akan membawa berkah. Untuk mengetahui ada apa di sebalik sederetan kata itu, mari kita ikuti penjelasan berikut :

Berkah atau sering juga di tuturkan dengan berkat, sesungguhnya berasal dari bahasa arab barokah, hanya karena lidah kita bangsa Indonesia lebih mudah mengucapkan berkah atau berkat sehingga kata barokah terasa jarang di gunakan.

Ibnu Manzhur dalam kitab kamus bahasa arabnya yang masyhur, Lisanul Arab, menuturkan : Al Barokatu : annamaa u waz ziyadah, artinya bertambahnya nilai. Beliau juga menuturkan makna barokah dari Imam Farro` ketika beliau memberikan makna lafadz wa barokaatuh dalam bacaan tasyahud sholat. Imam Farro` menuturkan : Al barokaatu : assa`adah, artinya barokah adalah kebahagiaan. Selanjutnya, Syaikh Ash-Showiy dalam Hasiyah Ash-Showi ketika beliau menafsirkan kalimat barokaat dalam ayat 96 surah Al A`rof , menuturkan makna barokaat adalah : ziyaadatul khoir fisy syaii`, artinya bertambahnya kebaikan pada sesuatu. Penafsiran senada juga di tuturkan oleh DR. Mushthofa Dib Al Bugho, doktor yang mengajar Ilmu Tafsir dan Ilmu-ilmu Al Qur`an Fakultas Syari`ah Universitas Damaskus Syria. Menurut beliau, makna barokaat dalam ayat 96 surah Al A`rof adalah bertambah dan kekalnya kebaikan ilahi pada sesuatu.

Barokah yang kemudian di terjemahkan dengan kata “ berkah “, sesungguhnya adalah kalimat masdar ( kata dasar ), bentuk fiil madly ( kata kerja masa lalu ) nya adalah baroka, kemudian dari kata ini terbentuk kalimat-kalimat sebagai berikut :
1. Baaroka, artinya memberkati atau memberikan berkah, seperti dalam susunan kalimat ketika seorang guru mendoakan siswanya : “ Baarokallahu fiika ( Semoga Allah memberkatimu ) “.
2. Tabaaroka, artinya Maha Suci atau Maha Luhur.

Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang terbentuk dari satu kalimat : barokah atau baroka ini, namun kita cukupkan dua kalimat saja. Selanjutnya untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa merujuk ke berbagai kamus bahasa arab, misalnya Lisanul Arab, Mu`jam Maqooyis Al Lughoh atau Mukhtaar Ash – Shoohah. Bisa juga membuka Kamus Arab – Indonesia Al Ashriy atau Al Munawwir.

Selanjutnya agar lebih lengkap, kita ambil juga keterangan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus ini memberikan pengertian kalimat berkah atau berkat sebagai berikut :
1. Karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia, seperti dalam kalimat berikut : “ Mudah-mudahan Tuhan melimpahkan berkat– Nya kepada kita “.
2. Doa restu dan pengaruh baik yang mendatangkan selamat dan bahagia dari orang-orang yang di hormati atau di anggap suci ( keramat ), seperti orang tua, guru, pemuka agama, contohnya dalam kalimat berikut : “ Sebelum berangkat meninggal kan kampung halaman, terlebih dahulu dia memohon berkat kepada gurunya “.
3. Makanan atau apa saja yang di bawa pulang sehabis kenduri, seperti dalam kalimat berikut : “ Ketika pulang dari acara genduri itu, masing-masing undangan pulang ke rumahnya dengan membawa berkat “.
4. Berkat juga bermakna : karena atau akibat dari, misalnya dalam kalimat : “ berkat pertolongannya kami dapat selamat kembali ke kampung “.

Kemudian kata “ berkat “ terbentuk kata-kata berikut :
A : mem berkat i , dengan makna :
1. memberi berkat, contoh kalimat : “ Semoga Allah mem berkat i usaha kita “.
2. berdoa supaya Tuhan mendatangkan berkah, seperti dalam kalimat berikut : “ Penghulu itu mem berkat i kedua pengantin “.
3. Mendatangkan kebaikan, keselamatan, dsb, seperti dalam contoh : “ Barang-barang curian tidak akan mem berkat i “.

B : Ke berkat an , maknanya keberuntungan, kebahagiaan.
C : Pem berkat an , maknanya proses, perbuatan, cara memberikan berkat.

Selanjutnya, deretan kata berikutnya adalah Negeri yang di berkahi. Negeri manakah yang saya maksud ? Sebuah negeri yang memiliki nilai berkah, nilai kebahagiaan dan keselamatan, , nilai kekeramatan dan nilai kebaikan ilahi yang abadi dan kekal. Juga sebuah negeri yang di doakan keberkahan dan kebaikan yang banyak di sinyalir Rasulullah dalam beberapa haditsnya. Negeri ini adalah Negeri SYAM. Ya Negeri Syam, sebuah negeri yang masyhur sejak lama, sebuah negeri yang 1500 tahun yang lalu, pernah di kunjungi Rasulullah bersama Pamanda beliau Abu Tholib ketika mengadakan hubungan bisnis dengan masyakarat negeri ini. Sebuah negeri di mana Rasulullah telah bertemu dengan Rahib Buhairo, seorang rahib Nasroni yang mengetahui tanda-tanda kenabian dan kerasulan Rasulullah.

Negeri Syam sesungguhnya adalah sebuah daratan yang memanjang di pesisir timur Laut Tengah, sebelah timur memanjang sampai daratan kepulauan Syria di sisi timur Sungai Furot ( Euprat ), dan sebelah utara memanjang mulai Turki sampai perbatasan Mesir dan kepulauan arab selatan. Pada waktu sekarang, Negeri Syam meliputi beberapa Negara arab, yaitu Syria, Palestina, Yordania, Lebanon dan beberapa bagian dari Negara Turki. Penduduk negeri ini di kenal dengan Asy – Syawaam.

Ada beberapa pendapat mengenal asal mula atau sejarah pemberian nama negeri ini dengan Negeri Syam, diantaranya yang paling masyhur bahwa Syam muncul dari nama seorang tokoh bernama Sam bin Nuh, yang dalam bahasa Suryaniyah di lafadzkan menjadi SYAM, yakni sebuah negeri yang menjadi tempat tinggal anak keturunan Sam bin Nuh, ketika mereka ( Bani Kan`an ) pindah ke negeri ini. Sebutan Negeri Syam juga di peruntukkan untuk Kota Damaskus atau kota Dimasku, kota yang di bangun oleh Sam Bin Nuh.

Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab menuturkan bahwa Negeri Syam adalah beberapa Negara yang berada di bagian utara kiblat ( Ka`bah ). Dengan demikian asal mula Negeri Syam di sebut Syam karena negara-negara yang termasuk Negeri Syam berada di sebelah utara kiblat kaum muslimin.

Kita ketahui bahwa Bangsa Arab Mekah zaman dahulu secara rutin mengadakan perjalanan bisnis ( misi dagang ) dalam setahun sebanyak dua kali, yaitu perjalanan dagang pada musim panas dan perjalanan dagang pada musim dingin. Selama dalam dua kali misi dagang ini, terkadang mereka berdagang menuju negara-negara bagian utara Mekah, tepatnya mereka menuju Negeri Syam, dan dalam kesempatan lain mereka juga mengadakan perjalanan dagang ke negara bagian selatan yakni Yaman. Tradisi bangsa arab Mekah berdagang dalam setahun sebanyak dua kali ini di abadikan Al Qur`an dalam surah Al Quraisy. Dan Rasulullah sendiri, ketika usia remaja pernah menemani Pamanda beliau Abu Thalib dalam misi dagang ke Negeri Syam dan di sana beliau bertemu dengan Rahib Nashroni yang sholeh bernama Buhairo yang mengetahui tanda-tanda kenabian beliau. Tentang rahib sholeh berikut kanisah-nya ini, dapat Anda telusuri jejaknya di Bushro, di sana ada bangunan yang masih tampak megah berupa kanisah tempat Rahib Buhairo beribadah.( fhoto di atas ada Kanisah atau Gereja Rahib Buhairo ).

Negeri Syam yang meliputi Syria, Palestina, Yordania, Lebanon dan beberapa bagian dari Negara Turki, memang memiliki banyak keistimewaan. Tentang Mesir, orang sering bilang, terutama yang pernah dan yang sedang menuntut ilmu di negeri Kinanah itu, bahwa Mesir adalah Negeri para Nabi, dan tentu saja itu tidak berlebihan karena benar adanya. Di negeri Kinanah itu, Allah mengutus salah satu Rasul Ulul Azmi, Nabi Musa `alaihissalam guna membimbing umatnya Bani Israil. Dalam da`wahnya beliau di bantu Nabi Harun. Kembali menyinggung Negeri Syam, Allah memberikan keitimewaan tersendiri, meskipun sampi detik ini salah satu negara yang termasuk Negeri Syam, yakni Palestina, sedang berada dalam peperangan melawan Bangsa Yahudi.( Semoga Allah segera memberikan kemenangan sejati kepada Bangsa Palestina dan Kaum Muslimin ).

Saya ambil kembali deretan kata yang menjadi judul blog saya : ‘’ Negeri yang di berkahi ‘’. Dengan kalimat ini, saya ingin mengatakan bahwa negeri Syam adalah negeri yang di berkahi, negeri yang memiliki nilai berkah, nilai kebahagiaan dan keselamatan, , nilai kekeramatan dan nilai kebaikan ilahi yang abadi dan kekal. Saya kira ungkapan ini tidak terlalu berlebihan, atau dengan kata lain bukan saya fanatic dan cinta abiz dengan Negeri Syam sebab saya sekarang belajar di salah satu negara yang menjadi bagian negeri Syam, yaitu Syria, sama sekali bukan demikian. Tetapi ungkapan Negeri yang di berkahi saya ambil dari ungkapan ayat-ayat Al Quran dan berbagai hadits. Anda tidak percaya ?? Silakan simak ayat pertama dari Surah Al Isro` yang menyampaikan sebuah peristiwa agung dalam sejarah Umat Islam, yaitu Peristiwa Isro` Mi`roj Rasullah.

Allah berfirman :
سبحان اللذي أسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام إلى المسجد الأقصى اللذي باركنا حوله لنريه من آياتناإنه هو السميع البصير

Artinya ;
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. ( QS. Al Isro` 1 ).

Ada beberapa pelajaran yang penting yang dapat kita ambil dari ayat ini. Setidaknya dapat saya sampaikan sebagai berikut :

1. Ayat ini di awali dengan lafadz : ‘’Subhana ‘’. Beberapa kitab tafsir memberikan makna tanziih, yakni mahasuci, atau ungkapan kekaguman atas kemahasucian Allah dan kemahaagungan-Nya. Lafadz ini juga mengisyaratkan bahwa setelah lafadz subhana, akan di tuturkan sebuah peristiwa yang luar biasa yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya. Dari segi nahwu, lafazd subhana adalah maf`ul mutlaq untuk fi`il dan fa`il yang di sembunyikan, yaitu kalimat usabbihu.
2. Kalimat : ‘’ asroo ‘’. Fi`il ( kata kerja ) adalah fiil lazim, artinya kata kerja yang tidak membutuhkan maf`ul ( objek ) dan hamzah pada kalimat asroo, bukan lit ta`diah, bukan untuk membentuk kalimat ini menjadi fiil yang muta`addi ( yang membutuhkan maf`ul ). Hanya saja dalam terjemah bahasa Indonesia sering di terjemahkan ‘’ memperjalankan hambanya ‘’, seakan-akan asroo adalah fi`il muta`addi. Keterangan ini bisa Anda rujuk ke kitab-kitab tafsir, diantaranya Hasiyah Ash Showi `ala Tafsir al jalalain. Lebih lanjut, asroo maknanya memperjalankan pada malam hari.
3. Kalimat ; ‘’ bi`abdihi ‘’. Sebagaimana kita ma`lum bahwa yang di maksud dengan `abdihi dalam ayat adalah Nabi Muhammad SAW, lalui mengapa ayat ini menggunakan kalimat `abd , artinya hamba, bukan menggunakan kalimat ‘’ binabiyyihi ( nabi – Nya ‘’ atau ‘’ birasulihi ( Utusan – Nya ) ‘’ ? Terjemahan dalam bahasa Indonesia, ayat 1 surat Al Isro` ini di terjemahkan sebagai berikut : ‘’ Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam ‘’. Bukankah lebih tepat jika di gunakan lafadz ‘’ binabiyyihi ( nabi – Nya ‘’ atau ‘’ birasulihi ( Utusan – Nya ), sehingga dalam terjemahnya versi bahasa Indonesia di terjemahkan : ‘’ Maha suci Allah, yang telah memperjalankan Nabi -Nya / Rasul – Nya pada suatu malam ‘’ ? Ternyata pemilihan kata ‘’ bi`abdihi ‘’ ( hamba-Nya ) memiliki rahasia yang agung, diantaranya memberikan isyarat bahwa Nabi Muhammad, bagaimanapun agungnya derajat beliau di sisi Allah, tetaplah hamba Allah. Hamba Allah yang menghambakan diri kepada-Nya tanpa mempersekutukan dengan yang lain. Lebih lanjut memberikan pengajaran kepada kita agar tidak kelewat batas dan tersesat sebagaimana umat Nabi Isa yang menganggap beliau ‘’ ibnullah ( putra Allah ) ‘’.

Lalu, dalam hubungannya denga peristiwa isro` mi`roj, pemilihan kata ‘’ abd ( hamba ) ‘’ di maksudkan untuk menegaskan bahwa yang di isro` kan, yang di perjalankan Allah pada malam isro, adalah jasad dan ruh beliau, bukan hanya ruhnya saja, sebab yang namanya `abd ( hamba ) adalah gabungan jasad dan ruh, antara badan dan nyawa. Memang benar, ada riwayat dari Aisyah bahwa Rasullullah isro` hanya ruhnya saja, akan tetapi riwayat ini tidak bisa di terima sebab peristiwa besar ini terjadi sebelum hijrah beberapa saat setelah wafatnya dua tokoh utama penolong Nabi, yaitu isteri tercinta beliau Sayyidatina Khodijah dan Paman Abu Tholib, sedangkan Aisyah menjadi isteri Rasulullah dan ikut bersama Nabi setelah hijrah ke Madinah. Dengan kata lain, ketika terjadi peristiwa isro` mi`roj, Sayyidatina Aisyah belum hidup serumah dengan Rasulullah.

4. Selanjutnya lafadz : ‘'ila masjidil aqsho alladzi baarokna haulahu ‘’. Rangkaian kalimat inilah yang ada hubungannya dengan apa yang kita bahas dari deretan kata : Negeri yang di berkahi. Kita tahu bahwa Masjidil Aqsho berada di Palestina, dan Palestina adalah salah satu negeri Syam. Lalu kalimat ; alladzi baarokna haulahu, artinya ‘’ yang telah Kami berkahi sekelilingnya ‘’. Maksudnya Masjidil Aqsha dan daerah-daerah sekitarnya dapat berkah dari Allah dengan diturunkan nabi-nabi di negeri itu dan kesuburan tanahnya. Daerah-daerah sekitarnya ini adalah negara-negara dari Negeri Syam Syria, Palestina, Yordania, Lebanon.

Benarkah Negeri Syam adalah Negeri yang di berkahi ? Tentu saja benar, sebab jika kita membaca sejarah, di negeri-negeri ini Allah banyak menurunkan dan mengutus para Nabi sebagaimana pula di turunkan di Mesir. Dan para Nabi tentu saja salah satu sumber berkah bagi negeri yang di datanginya.

Tidak hanya ayat di atas saja yang menuturkan bahwa negeri Syam adalah Negeri yang di berkahi. Banyak sekali hadits yang menjelaskan keberkahan negeri Syam. Diantaranya hadits berikut yang mengungkapkan tentang doa Rasulullah memohonkan berkah untuk Negeri Syam :

عن ابن عمر رضي الله عنهما ان النبي صلى الله عليه وسلم قال :" اللهم بارك لنا فى شامنا اللهم بارك لنا فى يمننا ". قالها مرارا، فلما كان فى الثالتة او الرابعة ، قالوا : يا رسول الله، ففى عراقنا ؟ قال صلى الله عليه وسلم : " بها الزلازل والفتن وبها يطلع قرن الشياطين "

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra Rasulullah saw bersabda : (( Ya Allah berkahilah negeri Syaam kami dan negeri Yaman kami)), beliau mengucapkannya berkali-kali, dan di saat kali yang ketiga atau keempat sahabat menyela: Yaa Rasulullah, dan juga di negeri Iraq. Beliau menjawab: (( Di sana akan banyak terjadi gempa, fitnah dan juga di sana merupakan tempat munculnya tanduk Syaitan)”.

Jelas sekali Rasulullah mendoakan dan memohonkan berkah untuk Negeri Syam dan juga Yaman. Dan hadits ini juga mengisyarakan tentang kabar masa depan yang di sinyalir Rasulullah 15 abad yang lalu tentang kondisi negara Iraq. Rasulullah menerangkan bahwa di Iraq akan banyak terjadi gempa, fitnah dan juga di sana merupakan tempat munculnya tanduk Syaitan, dan kini hal itu telah terjadi. Bukankah sekarang ini di Iraq sedang dan telah terjadi fitnah besar ? Peperangan dan penjajahan belum juga berhenti, bahkan sinyalir Rasulullah tentang munculnya tanduk syetan, tidak menutup kemungkinan adalah Amerika Serikat dan sekutunya, yang bekerjasama membuat fitnah dan malapetaka di negeri Iraq. Kita berdoa semoga Allah segera memberikan solusi terbaik buat negara Iraq. Amiin.

Selanjutnya, masih tentang berkah Negeri Syam, kita simak dua hadits berikut :

عن ابى درداء رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : " بينما انا نائم اذ رايت عمود الكتاب احتمل من تحت راسي فظننت انه مذهوب به فاتبعته بصري فعمد به الى الشام الا وان الإيمان حين تقع الفتن بالشام ".


Artinya:
“Dari Abu Darda’ ra dia berkata: Rasulullah saw berkata: (( Di saat tidur aku melihat tiang-tiang kitab (iman) telah diambil para malaikat dari bawah kepalaku, aku sangka iman akan tercabut dari muka bumi ini. Sampai akhirnya aku melihatnya dibawa menuju negeri Syam. Tidahkah kalian ketahui bahwa Iman akan tetap ada di negeri Syam di saat terjadi fitnah.”))

عن معاويه بن قرة عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " اذا فسد أهل الشام فلا خير فيكم لا تزال طائفة من أمتي منصورين لا يضرهم من خذلهم حتى تقوم الساعة "

Artinya:
” Dari Muawiyah ibn Qurrah dari ayahnya bahwa dia berkata: Rasulullah bersabda: ((Apabila penduduk negeri Syaam telah rusak, maka tidak ada kebaikan lagi untuk kalian. Akan tetapi di sana akan senantiasa ada sekelompok kaum yang akan selalu menang menghadapi musuh-musuh Islam, dan tidak akan mampu orang-orang yang menghianati mereka menimpakan kemadharatan atas mereka )).


Ala kulli hal, keberkahan Negeri Syam tidak mungkin di pungkiri lagi jika merujuk ke berbagai hadits yang di tuturkan Rasulullah. Kalau para mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo sering bilang bahwa Bumi Kinanah, bumi Mesir adalah Bumi Para Nabi dan hal itu sangat tepat sekali, maka para mahasiswa yang menuntut ilmu di Syria, Palestina, Yordania dan Lebanon boleh merasa sangat beruntung sebab mereka sedang menuntut ilmu di Negeri Syam, Negeri yang di berkahi dan yang di mohonkan keberkahannya oleh Rasulullah. Dan tentu saja, kesempatan menuntut ilmu di Negeri Syam adalah merupakan kebahagiaan tersendiri bagi para mahasiswa khususnya yang datang dari daratan Asia Tenggara, lebih khusus lagi para mahasiswa dari Indonesia. Lalu, sudahkah kesempatan emas dapat digunakan dengan sebaik-baiknya oleh para mahasiswa untuk berlomba memburu mutiara di Negeri Syam ?
Jawabannya tentu kembali kepada para mahasiswa sendiri yang sedang berdomisili di Negeri Syam.

Sekali lagi, Ala kulli hal keberkahan Negeri Syam tidak mungkin di pungkiri lagi, dan deretan kata “ Berkah dari Negeri yang di berkahi “ yang menjadi judul blog saya adalah sekedar setitik dari usaha saya untuk tabarrukan dengan negeri yang di berkahi ini, di iringi harapan semoga apa saja yang saya persembahkan lewat blog ini, apa saja yang saya posting dan saya publikasikan lewat blog ini, baik artikel, cerpen atau apa saja, kiranya bisa menjadi berkah yang mendatangkan nilai berkah, nilai kebahagiaan dan keselamatan, , nilai kekeramatan dan nilai kebaikan ilahi yang abadi dan kekal bagi saya pemilik blog maupun para pembaca dan pengunjung blog saya. Dan itu , tentu saja dengan tetap membuka lebar-lebar buat para pembaca untuk memberikan kritik dan komentar agar berkah yang sudah ada dalam blog ini semakin memancarkan sinar dan memberikan manfaat dan maslahat buat kita semua.

Akhirnya, semoga Allah memberkahi kita sebagaimana Allah telah memberkahi Negeri Syam. Amiiin

Kunjungi Situs ini dan buruan gabung !!

Jumat, 04 Juli 2008

Rahasia Sholat Tahajjud

Sholat Tahajjud ternyata tak hanya membuat seseorang yang
melakukannya mendapatkan tempat (maqam) terpuji di sisi Allah (Qs
Al-Isra:79) tapi juga sangat penting bagi dunia kedokteran. Menurut hasil
penelitian Mohammad Sholeh, dosen IAIN Surabaya, salah satu salat sunah
itu bisa membebaskan seseorang dari serangan infeksi dan penyakit kaker.

Tidak percaya? "Cobalah Anda rajin-rajin sholat tahajjud.
Jika anda melakukannya secara rutin, benar,khusuk, dan ikhlas, niscaya
andaterbebas dari infeksi dan kanker". Ucap Sholeh.

Ayah dua anak itu bukan 'tukang obat' jalanan. Dia melontarkan pernyataanya itu dalam desertasinya yang berjudul 'Pengaruh Sholat tahajjud terhadap peningkatan Perubahan Respons ketahanan Tubuh Imonologik: Suatu Pendekatan Psiko-neuroimunologi" Dengan desertasi itu,Sholeh berhasil meraih gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Program Pasca Sarjana Universitas Surabaya, yang dipertahankannya Selasa pekan lalu.

Selama ini, menurut Sholeh, tahajjud dinilai hanya merupakan ibadah salat tambahan atau sholat sunah. Padahal jika dilakukan secara kontinu, tepat gerakannya, khusuk dan ikhlas, secara medis sholat itu menumbuhkan respons ketahannan tubuh (imonologi) khususnya padaimonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi. (coping).

Sholat tahajjud yang dimaksudkan Sholeh bukan sekedar menggugurkan status sholat yang muakkadah (Sunah mendekati wajib). Ia menitikberatkan pada sisi rutinitas sholat, ketepatan gerakan, kekhusukan, dan keikhlasan. Selama ini, kata dia, ulama melihat masalah ikhlas ini sebagai persoalan mental psikis.

Namun sebetulnya soal ini dapat dibuktikan dengan tekhnologi kedokteran. Ikhlas yang selama ini dipandang sebagai misteri, dapat dibuktikan secara kuantitatif melalui sekresi hormon kortisol.

Parameternya, lanjut Sholeh, bisa diukur dengan kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah hormon kortisol pada pagi hari normalnya anatara 38-690 nmol/liter. Sedang pada malam hari-atau setelah pukul 24:00-normalnya antara 69-345 nmol/liter. "Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, bisa diindikasikan orang itu tidak ikhlas karena tertekan.Begitu sebaliknya. Ujarnya seraya menegaskan temuannya ini yang membantah
paradigma lama yang menganggap ajaran agama (Islam) semata-mata dogma atau doktrin.

Sholeh mendasarkan temuannya itu melalui satu penelitian terhadap 41 responden sisa SMU Luqman Hakim Pondok Pesantren Hidayatullah, Surabaya. Dari 41 siswa itu, hanya 23 yang sanggup bertahan menjalankan sholat tahajjud selama sebulan penuh. Setelah diuji lagi, tinggal 19 siswa yang bertahan sholat tahjjud selama dua bulan. Sholat dimulai pukul 02-00-3:30 sebanyak 11* rakaat, masing masing dua rakaat empat kali salam plus tiga rakaat. Selanjutnya, hormon kortisol mereka diukur di tiga laboratorium di Surabaya (paramita, Prodia dan Klinika)

Hasilnya, ditemukan bahwa kondisi tubuh seseorang yang rajin bertahajjud secara ikhlas berbeda jauh dengan orang yang tidak melakukan tahajjud. Mereka yang rajin dan ikhlas bertahajuud memiliki ketahanan tubuh dan kiemampuan individual untuk menaggulangi masalah-masalah yang dihadapi dengan stabil. "jadi sholat tahajjud selain bernilai ibadah, juga sekaligus sarat dengan muatan psikologis yang dapat mempengaruhi kontrol kognisi.
Dengan cara memperbaiki persepsi dan motivasi positif dan coping yang efectif, emosi yang positif dapat menghindarkan seseorang dari stress,"

Nah, menurut Sholeh, orang stress itu biasnya rentan sekali terhadap penyakit kanker dan infeksi. Dengan sholat tahjjud yang dilakukan secara rutin dan disertai perasaan ikhlas serta tidak terpaksa, seseorang akan memiliki respons imun yang baik, yang kemungkinan besar akan terhindar dari penyakit infeksi dan kanker. Dan, berdasarkan hitungan tekhnik medis menunjukan, sholat tahajjud yang dilakukan seperti itu membuat orang mempunyai ketahanan tubuh yang baik.

"Maka dirikanlah Shalat karena Tuhanmu dan Berkurbanlah' (Q.S Al Kautsar : 2)

Sebuah bukti bahwa keterbatasan otak manusia tidak mampu mengetahui semua rahasia atas rahmat, nikmat, anugrah yang diberikan oleh ALLAH kepadanya. Haruskah kita menunggu untuk bisa masuk diakal kita ???????

Seorang Doktor di Amerika telah memeluk Islam karena beberapa keajaiban yang di temuinya di dalam penyelidikannya. Ia amat kagum dengan penemuan tersebut sehingga tidak dapat diterima oleh akal fikiran.

Dia adalah seorang Doktor Neurologi. Setelah memeluk Islam dia amat yakin pengobatan secara Islam dan oleh sebab itu itu telah membuka sebuah klinik yang bernama "Pengobatan Melalui Al Qur'an" Kajian pengobatan melalui Al-Quran menggunakan obat-obatan yang digunakan seperti yang terdapat didalam Al-Quran. Di antara berpuasa, madu, biji hitam (Jadam) dan sebagainya. Ketika ditanya bagaimana dia tertarik untuk
memeluk Islam maka Doktor tersebut memberitahu bahwa sewaktu kajian saraf
yang dilakukan, terdapat beberapa urat saraf di dalam otak manusia ini tidak
dimasuki oleh darah. Padahal setiap inci otak manusia memerlukan darah yang cukup untuk berfungsi secara yang lebih normal.

Setelah membuat kajian yang memakan waktu akkhirnya dia menemukan bahwa darah tidak akan memasuki urat saraf di dalam otak tersebut melainkan ketika seseorang tersebut bersembahyang yaitu ketika sujud. Urat tersebut memerlukan darah untuk beberapa saat tertentu saja. Ini artinya darah akan memasuki bagian urat tersebut mengikut kadar sembahyang waktu yang di wajibkan oleh Islam. Begitulah keagungan ciptaan Allah.

Jadi barang siapa yang tidak menunaikan sembahyang maka otak tidak dapat menerima darah yang secukupnya untuk berfungsi secara normal. Oleh karena itu kejadian manusia ini sebenarnya adalah untuk menganut agama Islam "sepenuhnya" karena sifat fitrah
kejadiannya memang telah dikaitkan oleh Allah dengan agamanya yang indah
ini.

Kesimpulannya :
Makhluk Allah yang bergelar manusia yang tidak bersembahyang apalagi lagi bukan yang beragama Islam walaupun akal mereka berfungsi secara normal tetapi sebenarnya di dalam sesuatu keadaan mereka akan hilang pertimbangan di dalam membuat keputusan secara normal.
Justru itu tidak heranlah manusia ini kadang-kadang tidak segan-segan
untuk melakukan hal hal yang bertentangan dengan fitrah kejadiannya walaupun
akal mereka mengetahui perkara yang akan dilakukan tersebut adalah tidak sesuai
dengan kehendak mereka karena otak tidak bisa untuk mempertimbangkan
secara lebih normal. Maka tidak heranlah timbul bermacam-macam gejala-gejala
sosial Masyarakat saat ini.Wallahu’alam bissawab

"Anda ingin beramal shaleh...? Tolong kirimkan kepada
rekan-rekan muslim lainnya yang anda kenal."

Sumber : BEBAS KANKER DENGAN TAHAJJUD

Kunjungi SITUS INI dan buruan gabung !

Selasa, 24 Juni 2008

Artikel dari Situs Nu Syria

DILEMATIKA REALITAS vis a vis REALITAS HUKUM( sebuah pencermatan lokalitas sejarah ) Oleh: Abdul Latif Malik*

Introduksi

Setelah 23 tahun menyampaikan risalah kenabian, Nabi Muhammad Saw menghadap ke hadirat Allah Swt. Dalam periode kenabian tersebut, secara absolut diakui bahwa transformasi peradaban telah tuntas dan gemilang dengan terwujudnya perubahan pada komunitas Arab yang sebelumnya selalu berbangga dengan lokalitas tradisinya (baca; ultra nationalism), sehingga selalu terpuruk dalam bulan-bulanan imperialisme Romawi atau Persia, berubah menjadi komunitas masyarakat yang berkesadaran “being the cociety.” Semua itu adalah karunia Allah Swt kepada alam semesta yang telah mengutus Nabi Muhammad Saw denga risalah Islam yang universal sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau ( Muhammad SAW) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”


Kepergian Nabi Muhammad Saw setelah menyampaikan risalahnya ini tentu merupakan jaminan bahwa semua amanat kenabian telah disampaikan kepada umat manusia sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku relakan Islam sebagai agama kalian.”

Lain dari itu, Nabi Muhammad Saw juga telah menggariskan kepada para pengikutnya agar terhindar dari kebinasaan personal atau pun peradaban. Hal ini sebagaimana terekam dalam wasiatnya :

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang apabila kalian selalu berpegang teguh dengan dua perkara tadi maka kalian tidak akan tergelincir selamanya, yaitu Al- Qur’an dan Suri tauladanku.”

Dialektika suksesi kepemimpinan : antara justifikasi teks dan konteks.

Ibn Khaldun seorang raksasa sosiologi dunia, dalam Mukaddimah-nya menyampaikan bahwa tidak ada polemik yang paling berdarah kecuali polemik dalam masalah kepemimpinan. Menyelami logika empiris ini, seharusnya kita bisa memahami idealisme Syi’ah yang mendasarkan segala konstruk pemikirannya kepada episteme kepemimpinan (baca: Al-Imamah), selain episteme enam rukun iman yang lain. Selanjutnya, dengan dasar tambahan episteme ini, kaum syi’ah membangun segala produk teologi, filsafat, hukum atau pun etika Islam. Tetapi hal ini bukan berarti sebuah keniscayaan mutlak yang otomatis segalanya akan menjadi hitam-putih. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa seringkali idealisme terbentur oleh realitas politik yang selanjutnya akan berimplikasi kepada realitas hukum pula. Kepergian Rasulullah Saw yang begitu dicintai para pengikutnya menimbulkan sedikit gejolak “sindrom of patronase” bagi para Sahabat dan terlebih para Ahlul bait, sehingga ditengah suasana duka yang sangat dalam, para pembesar sahabat dari kaum Ansor berinisiatif untuk memilih secara demokratis pemimpin diantara mereka. Kaum Anshor yang merupakan pembela garda depan pasukan Rasulullah di segala medan pertempuran masih sedikit khawatir jikalau estafet kepemimpinan politik ( baca : patron of power) berada di tangan kelompok Quraisy yaang noto benenya banyak diantara pembesar mereka merupakan rival kenabian yang begitu dijunjung kaum Anshor.

Kekhawatiran ini segera sirna total begitu Sayyidina Abu Bakr As Shiddiq datang dan segera maju membawakan khutbahnya yang bersejarah, karena mampu menuntaskan kegelisahan kaum Anshor. “Saya tidak akan mengajukan diriku sebagai pemimpin diantara kalian” demikian Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq r.a, memulai khutbahnya, “Tetapi Quraisy yang telah dimuliakan Allah Swt dengan kesetiaan sejak awal kepada Rosulullah sungguh sudah selayaknya menjadi pemimpin diantara kalian, dan saudaraku kaum Anshor akan begitu mulia apabila rela menjadi para pendamping kami dalam meneruskan perjuangan Rosulullah”, demikian kurang lebih khutbah Abu Bakar. Kaum Anshor segera bisa menerima logika Abu Bakar yang secara radikal mampu melenyapkan kegelisahan kaum Anshor sebelumnya. Serta merta Abu Bakar menyusul dengan kalimatnya, “Saya ajukan kepada kalian diantara dua sahabat agung kita, Umar Ibn Khattab yang telah kalian ketahui keadilanya atau Abdullah bin Jarrah yang telah engkau ketahui ke-'wara'-annya.” Secara tegas Umar maupun Abdulah Ibn Jarrah menyerukan kepada khalayak “Sungguh kami tidak akan ridlo menjadi pemimpin sedangkan di antara kita ada engkau wahai Abu Bakar As Shiddiq..!”. Seketika itu secara aklamasi terpilihlah Sayyidina Abu Bakar Ashiddiq sebagai pemimpin atas desakan realita dan demi stabilitas umat. Dengan berat hati Sayyidina Abu Bakr menerima amanat ini.

Sampai di sini, jika memang kita bisa menganggap bahwa itu adalah realitas politik, maka sungguh epos “Tsaqifah bani Sa’idah” menunjukkan kepada sejarah bahwa tidak selamanya realitas politik akan secara diametral berlawanan dengan idealisme hukum. Memang sebagaimana kita ketahui, bagi sebagian besar umat Islam (baik itu dari sunnah amaupun syi’ah) Imam Ali bin Abi Thalib merupakan figur ideal penerus estafet kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah. Bahkan, secara esensial kaum syi’ah mengklaim bahwa idealisme ini bukan sekadar berpijak pada logika belaka, tetapi juga berlandaskan pada causa hukum dengan menafsirkan hadist Ghadir Quum sebagai clear statement Rosulullah atas ke-wilayah-an Ali bin Abi Thalib r.a. Tetapi, sekali lagi, realita sejarah tidak selamanya sesuai dengan idealisme hukum. Karena selanjutnya, realitas politik juga pada gilirannya akan mengambil posisinya sebagai realitas hukum pula. Thesa ini semakin diperkuat dengan indikator kesediaan Sayyidina Ali r.a, untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq r.a.

Fragmentasi politis Syi’ah-Sunnah adalah lokalitas sejarah.

Jika kita berpikir secara jernih dan menjauhkan diri dari pretensi fanatisme apa pun, maka dari pembacaan sejarah akan menunjukkan kepada kita bahwa segala macam konfrontasi pemikiran antara umat muslim akan selamanya bisa “didamaikan” dalam komunitas kaum ulama melewati perdebatan buku-bukunya. Realita akan berbicara lain sehingga seringakali harus menumpahkan darah apabila perbedaan itu berselingkuh dengan kepentingan politis pencapaian kekuasaan.
Kita tidak perlu jauh memutar ulang sejarah untuk mampu melihat hal ini. Saat ini, penulis berani memastikan bahwa, konflik berdarah yang sedang terjadi di Iraq, Pakistan, ataupun Afganistan diantara umat Islam adalah sungguh bukan dikarenakan perbedaan ideologi pemahaman agama yang secara real terfragmentasi pada Sunni-Syi’ah ataupun Sufi-Salafi. Terbukti, sejak berabad-abad yang lampau pluralitas masyarakat muslim Iraq tidak pernah mengakibatkan konflik berdarah sebagaimana yang saat ini terjadi. Sebelum kita menyalahkan intervensi imperialisme Amerika-Israel, seharusnya kita harus intropeksi mengapa kita mau diintervensi? Jawaban nyata dari pertanyaan ini adalah terletak pada kepentingan kekuasaan yang seringkali dibungkus dengan ideologi madzhab sebagai justifikasi publik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini berarti umat Islam tidak diperkenankan menjadi pemimpin untuk sebuah kemaslahatan? Islam sangat merekomendasikan umatnya untuk bermasyarakat dan itu artinya harus ada yang menjadi pemimpin. Sebuah kaedah mengataka ”La Islam illa bi jama’atin wa jama’ata illa bi imarotin wa imarota illa bi tho’atin.” Sebagai support atas hal ini, bahkan sebuah hadist Rosulullah menyatakan bahawa pemimpin yang adil adalah salah satu dari tujuh kelompok yang mendapatkan jaminan perlindungan Allah pada hari akhir.
Selanjutnya, terkait dengan fenomena ini, konsep ahlusunnah wal jamaah dengan al wasatiyah-nya menyampaikan bahwa sebuah fakta stabilitas yang berkeadilan akan selanjutnya otomatis menjadi fakta hukum, sehingga tugas ke-khalifah-an manusia di muka bumi segera bisa terealisasi, karena manusia tidak tersibukkan dengan konflik kekekuasaan an-sich.
Dalam hal ini sepatutnya umat Islam menyelami kedalaman sebuah teks hadist Rosulullah Saw yang berbunyi : “Kun imaman muti’an au ma’muman mutho’an wa latakun tsalisan min huma, fa tahliku wa tuhlik.”

Membuka kembali luka sejarah masa lampau sama sekali tidak akan menghasilkan apa pun selain rasa permusuhan dan dendam yang sebenarnya justru telah dituntaskan secara elegan oleh para tokoh pemimpin kita masing-masing saat itu. Apabila kita jumpai beberapa riak konflik itu sekali lagi tidak lebih dari fragmen lokalitas sejarah yang perlu kita ambil hikmahnya.


Monolitas kebenaran dalam bingkai pluralitas ideologi pemikiran.

Sejauh seorang atau sebuah komunitas muslim tidak mengeluarkan dirinya dari kelompok agama Islam, atau berperilaku dan berpikir yang secara niscaya berlawanan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw, maka mereka adalah tetap umat Islam yang dijamin darahnya di dunia dan jaminan surga di akhirat.
Menafsirkan hadist 73 golongan, seringkali kita menemukan sebagian ulama terjebak dalam klaim kebenaran yang menyesatkan sehingga kita terlena dengan tugas kekhalifahan dunia. Pemahaman fundamental ini perlu kita camkan secara seksama dalam segala lapisan komunitas umat dan terutama dari kalangan pemimpin kita karena terbukti sebenarnya pemahaman yang keliru dari sebagian pemimpin kita justru mengakibatkan umat selalu terkotak-kotak dalam konflik klaim indentitas yang tidak perlu, sehingga menyebabkan pertumpahan darah. Penulis dalam hal mengikuti secara total logika Prof. Dr. Muahammad Said Romadlon Al-Bhouty dalam menafsirkan hadis 73 golongan ini. Dalam pembacaan Al-Qur'an, Al-Bhouty menegaskan bahwa umat Islam adalah tunggal, dalam arti semuanya membaca Al-Qur'an sebagai petunjuk atau wahyu. Tetapi, sebagaimana maklum adanya, realitas yang ada menunjukkan bahwa umat muslim terbagi dalam dalam beberapa kelompok besar, antara lain Sunny, Syi'i dan Mu'tazilah. Di sini, sama sekali Al-bhouty tidak khawatir disebut inkonsisten saat melegalisasikan adanya perbedaan tersebut. Perbedaan ini, bagi Al-Bhouty adalah sekedar perbedaan pemahaman dalam rangka penerapan wahyu sebagai petunjuk dan bukan perbedaan pembacaan atas eksistensinya. Perbedaan pemahaman, bagaimana pun adanya, adalah wajar terjadi dan dalam tataran tertentu justru direkomendasikan oleh Al-Qur'an itu sendiri, sepanjang pembacaan yang dilakukan masih dengan methode yang sama ( ushul fiqh/ ushul din). Dalam hal ini Al-Bhouty secara tegas dan simultan mempertahankan pemahaman ahli sunnah wal jama'ah sebagai pemahaman yang rasionalis. Jika persepsi banyak pemikir mengatakan bahwa Mu'tazilah adalah pengusung akidah yang rasional, maka lewat beberapa karyanya, Al-Bhouty menegaskan bahwa perbedaan pemahaman yang terjadi hanyalah ikhtilaf lafdziah. Patut dicatat, implikasi dari beberapa point perbedaan antara ahli sunnah wal jama'ah dan Mu'tazilah sama sekali tidak menjadikan adanya keharusan saling mengkafirkan. Beberepa point fundamental, yang sering disalah pahami sebagian pemikir sebagai keniscayaan dan peluang saling 'mengkafirkan' antara paham ahlusunnah dan mu'tazilah, diulas secara mendalam dan rasional oleh Al-Bhouty, seperti masalah perbuatan makhluq, posisi Al-Qur'an antara sifat qodim dan hadistnya, kemampuan manusia melihat Alla di hari qiamat, dsb. Semuanya diurai oleh Al-Bhouty dengan seksama tanpa ada peluang, celah maupun potensi keharusan mengkafirkan yang lain.

Saat banyak pemikir Islam kebingungan dalam memahami hadist yang mengindikasikan umat Nabi Muhammad akan terpecah dalam 73 golongan dan hanya satu golongan diantara mereka yang selamat, maka Al-Bhouty dengan cermat membaca hadist itu sebagai suatu keniscayaan. Dalam redaksi hadist tersebut sangat jelas sekali bahwa yang terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat. Itu bukan umat Islam, tetapi umat Nabi Muhammad. Berbeda dengan umat Nabi Musa dan umat Nabi Isa saat itu, yang terpecah adalah kaum yang percaya dengan agama yang dibawa keduanya, sedangkan redaksi "sataftariqu ummati", berarti bahwa semua kaum yang datang sejak dan pasca kenabian Muhammad Saw akan terpecah menjadi 73, dan hanya satu yang selamat adalah umat Muslim atau yang percaya dengan kenabian Muhammad.

Dari pemahaman konprehensif Al-Bhouty seperti ini, sama sekali kita tidak perlu khawatir akan terjadinya hegemoni truth claim sebagian golongan atas golongan yang lain. Karena semua golongan dalam pemahaman Islam adalah dijamin eksistensinya oleh rasulullah sebagai ummatul ijabahnya, asal, sekali lagi, mereka selalu berjalan dalam rel-rel pembacaan akidah yang sama, yaitu sebagai petunjuk kehidupan.


Persatuan internal umat Islam dan tugas kekahlifahan di dunia.

Abad XXI seringkali disebut sebagai abad kebangkitan kembali umat Islam. Kabar gembira ini banyak disampaikan oleh beberapa ulama besar Isl m dengan berlandaskan pada bisyaroh yang mereka terima dari Allah Swt melalui intuisi hatinya. Bukan sekedar itu, analisa seperti ini juga sering kita dengar dilontarkan oleh banyak ilmuan sosial barat yang notobenenya mereka hanyalah berpijak pada analisa empirik. Beberapa diantaranya menyampaikan prediksi ini secara samar -dengan mencoba mengalihkannya kepada dominasi hegemoni peradaban barat- sehingga justru semakin menunjukan “ketakutan” mereka atas hal ini. Francis Fukuyama, seorang futurolog, dalam bukunya yang berjudul “Akhir Sejarah” menegaskan bahwa kepemimpinan peradaban barat yang materialis dengan keunggulan demokrasinya adalah realita tak terbantahkan dan akan terus menjadi panutan sejarah. Dengan kata lain, demokrasi adalah prasyarat mutlak bagi kemungkinan perabadan-peradaban di dunia untuk bisa eksis, sehingga, pada saat Barat sekarang telah terbiasa dengan demokrasi maka barat-lah yang akan selamanya leading memimpin peradaban-peradaban lain di dunia. Mengaitkan dengan “bisyaroh” diatas, terlihat jelas bahwa Fukuyama -dengan sengaja atau tidak- telah memotong konsekwensi logisnya kepada salah satu causa, yaitu demokrasi. Padahal, demokrasi adalah sekedar – jika bukan salah satu dari beberapa- alat terakhir yang harus dilalui manusia untuk membangun peradaban. Selanjutnya, ghoyah manusia dari wasilah demokrasi adalah pencapaian secara bersama-sama kebenaran tertinggi akal manusia tanpa ada reserve dan intimidasi, dan itu lah agama Islam yang pada lima belas abad yang lalu disampaikan kepada kita oleh Junjungan Nabi Muhammad Saw. Celah ini semakin terlihat kentara jika kita menelaah hipotesa Samuel P. Huntinton pada tahun 1991 dalam bukunya “The Clash of Civilisation”, lima tahun setelah thesa Fukuyama hadir. Saat ini, demikian Huntington mengungkapkan, tiga peradaban besar dunia, yaitu barat, konfusianis dan Islam sedang bertarung merebut kelayakan sejarah. Banyak ilmuwan menolak pemaparan Huntinton ini, tetapi menerima ataupun menolak adalah tetap saja menghasilkan bahwa Islam akan segera memayungi penghuni dunia yang telah letih akibat ambisi materialisme.

Pertanyaan mendasar yang segera menyeruak adalah benarkah umat Islam telah siap memimpin komunitas dunia? Tulisan singkat diatas dihadirkan untuk mencoba menyelami sejauh mana kondisi internal umat muslim dewasa ini dalam relevansinya dengan tugas kepemimpinan umat manusia di dunia.


Wallahu a’lam bisshowab.




1. Lihat, Al Insan Musayyar au Mukhayyar, Prof DR. Muhammad Said Romadlon Al Bhouty,
2. Contoh dari perbedaan pemahaman bisa dibaca dalam uraian tentang sifat Kalam bagi Alloh, lihat dalam "Kubro al Yakiniyyat al Kauniyyah" hal.126.
3. Dari sini, al bhouty seringkali tak mampu memendam kegeramannya kepada sebagian golongan kaum muslimin yang dengan pemahaman akidahnya serta merta mengkafirkan golongan lainnya. Bahkan albhouty seringkali merasakan bahwa justru karena golongan seperti inilah peluang kebangkitan ummat selalu tersendat-sendat. walaupun golongan tersebut terlihat banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan fisik ummat, tetapi kontribusi mereka secara hadloroh adalah penghambatan atas kebangkitan. Mengapa?, karena akibat provokasi golongan tersebut, ummat muslim selalu terseret kedalam putaran konflik identitas internal.
4. Dalam therminologi 'ummat' terbagi menjadi dua, ummatutda'wah dan umatulijabah. Ummat al ijabah adalah kaum nabi yang percaya dengan kenabian nabi tersebut, sedangkan ummat al da'wah adalah kaum yang dimana nabi diutus untuk berdakwah kepada mereka. Dengan pembagian ini, berarti yang terpecah menjadi 73 golongan adalah ummat al da'wahnya, yang mencakup kaum Hindu, Bhuda, Kristen, Yahudi, Kong hu cu dst, dan hanya satu yang selamat adalah yang percaya kenabian Nabi Muhammad SAW yaitu ummat Islam atau ummat alijabah. Keterangan ini didapat penulis dari al Bhouty saat pengajian rutin malam Selasa-an


* Makalah ditulis oleh Abdul Latif Malik, mantan Ketua Tanfidziah PCI NU Syria 2004-2006, untuk diskusi Refleksi Pemikiran ASWAJA yang diselenggarakan oleh Panitia Konferensi Cabang Istimewa Syria PCI NU 2006 dalam rangka Pelantikan Kepengurusan PCI NU Syria-Lebanon 2006-2008. Damaskus, 23 Desember 2006.

Sumber : Situs NU Syria

Minggu, 22 Juni 2008

Aleppo Citadel
















Location : Aleppo, Syria
Date : 10th to 15th century
Style/Period : Ayyubid, Hamdanid, Mamluk
Centuries : 10th, 12th, 13th
Building Type : military
Building Usage : citadel
Keywords :777 core monuments


The Citadel of Aleppo is the most prominent historic architectural site in Aleppo. It was recognized as a World Heritage Site by UNESCO in 1986. Its majestic stature forms the center of the city; in fact the city wraps around it extending a spider-like infrastructural web of streets forming the city's organic urban form.

The Citadel has an elliptical base with a length of 450m and width of 325m, at the top this ellipse measures 285m by 160m with the height of this slanting foundation measuring 50m. The entire mound was covered with large blocks of gleaming limestone that unified the built structure with the hill thus increasing its visual scale. It was also surrounded by a moat filled with water to protect against intruders. The Citadel hovers over the city in a uniqueness that rivals the larger Citadel of Cairo and the more massive Citadel of Damascus.


Although the Citadel is an Islamic landmark, archeological digs have uncovered Roman and Byzantine ruins dating back to the 9th century BC. The Citadel was originally a Neo-Hittite acropolis built on a natural hill; this provided a strategic site for a military fortress to guard and protect the surrounding agricultural areas.


Sayf al-Dawla (944-967), the first Hamdanid ruler of Aleppo, built the fortress and used the citadel as a military center of power over his region. Zangid ruler Nur al-Din (1147-1174) fortified the citadel and added some structures such as the Small Mosque of the Citadel. But it wasn't until Ayyubid period during the reign of the Sultan al-Zahir al-Ghazi of Aleppo (1186-1216) that the Citadel went through major reconstruction, fortification and addition of new structures that create the complex of the Citadel in its current form. During the first decade of the thirteenth century the citadel evolved into a palatial city that included functions ranging from residential (palaces and baths), religious (mosque and shrines), military installations (arsenal, training ground defense towers and the entrance block) and supporting elements (water cisterns and granaries).


A particularly significant addition during al-Ghazi's reign is the Great Mosque of the Citadel that was built in 1214. Its situation at the highest point of the Citadel, with its towering minaret that is 21m high, extended both the citadels visibility and its defense to greater distances. Here the minaret begins to play a religious and military role; this duality merges the virtues of power and piety in the icon of the Islamic faith.


The most prominent renovation is the entrance block that al-Ghazi rebuilt in 1213. Eight large arches structure the bridge that leads up to the Citadel over the moat. It is punctuated at the bottom by a defense gate with two towers and at the top of the ramped bridge by the Gate of Serpents and the Gate of the Two Lions. A complex defense mode was developed in the sequence of movement into the Citadel, as perpetrators would have to penetrate 3 iron doors and change direction 6 times through a series of 90 degree abrupt turns while being subjected to hot liquids being poured through the slit openings on the upper floors. These defense strategies made the Citadel of Aleppo one of the hardest forts to conquer in the region.


In 1415 the Mamluk governor of Aleppo, prince Sayf al-Din Jakam, was authorized to rebuild the Citadel after the Mongol invasion of Timur in 1410. His most important addition was the new Mamluk palace that rose higher than the two entrance towers. The Ayyubid palace was almost completely abandoned during this period. The Mamluk period also administered restoration and preservation projects on the Citadel, the last one under the reign of the final Mamluk sultan Qansuh al-Ghawri was replacing the flat ceiling of the palace with 9 domes.


During the Ottoman period, the military role of the Citadel as a defense fortress slowly diminished as the city began to grow outside the city walls and was taking its form as a commercial metropolis. Large restoration projects took place after the Citadel was heavily damaged in the earthquake of 1828. These restoration operations continued throughout the next century until the present. The throne room went through a major restoration and rebuilding in the late 1970s. The amphitheater was completely renovated in the 1980s with new stone seats lining the old and modern sound/light technology was installed to hold summer festivals and concerts.


In 2000 the Aga Khan Trust for Culture's Historic Cities Support Programme initiated a major restoration project for the Citadel of Aleppo. The work consisted of structural preservation to the tower walls and replacing missing stones to the walls and arches. The project also included excavation of a part of the Citadel crown, which revealed the remains of the Ottoman period occupation.


The Trust will continue work in 2002 on the Citadel primarily in the conservation of the Ayyubid palace restoring the muqarnas portal and the marble floor. Additional work will focus on the relocation of the Citadel museum collection, which is currently located in the Ottoman barracks. The barracks will be reused as a visitors facility it is situated on the highest edge of the site and provides extensive views to the city. Structural work will include dealing with the erosion of the Citadel slope and improvement of the drainage system in the moat. An urban scale project will reexamine the traffic and pedestrian movement around the Citadel, aiming towards the reduction of vehicular traffic on the Citadel ring street, providing public transportation facilities and parking and enhancing the pedestrian zone around the moat of the Citadel. The efforts conducted by the Trust to keep the Citadel as a welcoming monument to visitors and locals, insuring the preservation of this important historic site, is an homage to this symbol of power that bears witness to centuries of time that forms Aleppo's rich history.


Sources:

Allen, Terry. 2003. "Aleppo Citadel". In Ayyubid Architecture. Occidental, CA: Solipsist Press. http://www.sonic.net/~tallen/palmtree/ayyarch/ch5.htm#alep.cit [Accessed August 2, 2005]


Tabbaa, Yasser. 1997. Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo. The Pennsylvania State University: The Pennsylvania State University Press. 111.


Rihawi, Abdul Qader. 1979. Arabic Islamic Architecture in Syria. Damascus: Ministry of Culture and National Heritage. 53-96.


"The Citadel of Aleppo". Aga Khan Development Network Website. http://www.akdn.org/hcsp/Syria/Syriapages10_15.pdf. [Accessed February 14, 2007]


( Sources: http://archnet.org )

Photo Gallery (1)
Photo Gallery ( 2 )

Selasa, 17 Juni 2008

Ommayad Mosque

Variant Names : Great Mosque, al-Masjed al-Umawi, Omayyad Mosque, Jami al-Umawi
Location : Damascus
Date : 709-15; restored 1970
Style/Period : Umayyad
Century : 8th
Building Type : religious
Building Usage : mosque
Keywords : 777 core monuments

The Great Mosque of Damascus is the first monumental work of architecture in Islamic history; the building served as a central gathering point after Mecca to consolidate the Muslims in their faith and conquest to rule the surrounding territories under the Umayyad Caliphate.

The Umayyad mosque's religious significance was reinforced by its renowned medieval manuscripts and ranking as one of the wonders of the world due to is beauty and scale of construction.


The Umayyad Mosque site has housed sacred buildings for thousands of years, in each incarnation transformed to accommodate the faith of the time. An ancient Aramaic temple dedicated to the god Hadad is the oldest layer of architectural use to be uncovered on archeological expeditions. During the Roman period, the Temple of Jupiter occupied the space. This edifice was transformed to a church in the fourth century. This church was expanded to form the Cathedral of St. John, situated on the western side of the older temple. After the Islamic conquest of Damascus in 661, during the reign of the first Umayyad caliph Mu'awiya Ibn Abi Sufyan, the Muslims shared the church with the Christians. The Muslims prayed in the eastern section of the ancient temple structure and the Christians in the western side. This collective use continued until Walid bin Abdul Malek's reign, when the prayer space became inadequate both in terms of capacity and the need for an architectural monument to represent the new religion. The caliph negotiated with Christian leaders to take over the space, and in return al-Walid promised that all the other churches around the city would be safe, with the addition of a new church dedicated to the Virgin granted to the Christians as compensation.


When the project began all remaining fragments on the site from Roman to Byzantine periods were removed to accommodate a large innovative mosque planned according to Islamic principles.


The Umayyad Mosque plan articulated the rising political status of the Islamic world as a major world power. Its majestic stature became an Islamic architectural prototype for mosques being built in all the newly established territories.


The plan of the mosque is formed by a 97m x 156m rectangle with the sahn on the northern side wrapped around four edges. Because the haram occupies the southern part of the rectangle, the exterior wall has three gates that connect to the city from the northern, eastern and western sides. The southern exterior wall that borders the haram has a door that links directly to the outside.


The rectangular sahn's stone pavement was repaired throughout the mosque's history so that the level of the sahn became uneven and higher than the original ground. Recently, the original Umayyad level was restored with the stone patterns of the paving. The sahn is punctuated by three major elements: the ablution fountain covered with a dome that is supported by columns, the Khazne Dome on the western side supported by eight Corinthian columns and Zein al-Abidin Dome on the eastern side also supported by eight columns. Alternating stone columns and piers with one pier between every two columns supports the riwaq that surrounds the sahn. The double-height riwaq is not consistent all around the sahn as the northern part was completely destroyed in the earthquake of 1759; it was rebuilt without the columns with another type of stucco ornamenting the stronger supporting piers.


Three riwaqs, parallel to the qibla, form the haram's interior space; they are supported by two rows of stone Corinthian columns. Each riwaq has two levels, the first with large semi circular arches and the second with double arches (the same pattern is repeated in the sahn's riwaq also). The three riwaqs intersect in the middle with a larger, higher one that is perpendicular to the qibla wall and faces the mihrab and minbar. The main octagonal dome, the Nisr Dome (Dome of the Eagle) is supported on this wide riwaq and it is 36m high. The dome has apertures around its parameter. In the eastern part of the haram, a small classical marble structure between the columns of the riwaq holds the tomb of St. John the Baptists or as he is known in Quranic tradition, the prophet Yahya.


The exterior walls of the mosque were built in the Roman period when the building functioned as a temple. Four defense towers were built at each corner, but only the two southern ones remained when al-Walid began his project. These towers were used as foundations to erect the eastern and western minarets. Then a third square tower shaped minaret known as the Arus Minaret (The Minaret of the Bride) was built near the northern gate. The lower part of this minaret is still in its original form; the middle part was an Ayyubid addition built after the fire of 1174. The eastern minaret, Eesa Minaret (Minaret of Jesus) is also a pastiche of different architectural styles that correspond to changing political environments. It has a Mamluk lower part and an Ottoman top due to its renovation after the earthquake of 1759. The western minaret is the most articulated with its stone carvings and inscriptions that record its restorations in1488 and after Timur's conquest in 1401.


Two main materials were used for cladding: fusayfusa'a mosaic and marble. The fusayfusa'a fragments were mixed with colored glass particles and others of gold and silver leaf covered glass in addition bits of stone and marble between to create a unique reflective material that sparkled its geometric and floral patterns. The fusayfusa'a was originally used to cover the top parts of the walls on both the interior and exterior sides in the haram, riwaqs, the arches and undersides of the vaults. The painterly constructed patterns formed scenic panels that symbolized the magnificent natural landscapes of Damascus, like the Barada River flowing alongside the great Umayyad palaces on its banks and orchards of fruit bearing trees that are thought to be an imagined vision of the heavens.


Heavily veined marble was used to clad the lower parts of the walls, as it is a stronger, more enduring material than the mother of pearl mosaics. The veins of the marble were used to create patterns because of the way that the panels were joined and attached to the wall about 4 meters above the ground. All that is left of these panels are small holes that map where the marble masons attached them to the wall. A highly ornate band of carved marble separated these two materials on the walls, the vegetation inspired designs were known as the 'great golden vines' because of their resemblance to intertwined grape vines that were common in the Classical (Roman and Byzantine) periods. Some fragments of this famous band still remain today in the mosque. Additional ornamentation includes the Ottoman blue clay tiles that replaced the missing marble panels in the sahn.


Textual inscriptions filled the gaps between these materials and ornaments, and added another layer of detail to the artful walls. They declared religious verses, dates and dedications to various patrons to the restorations of specific parts of the mosque. The words were scripted using the fusayfusa'a in two contrasting colors usually gold calligraphic text over a royal blue background.


During his 10-year reign as caliph in the beginning of the eighth century al-Walid bin Abd al-Malik addressed the citizens of Damascus:
'Inhabitants of Damascus, four things give you marked superiority over the rest of the world: your climate, your water, your fruits and your baths. To these I wanted to add a fifth: this mosque.'

Sources:

Flood, Finbarr Barry. 2000. The Great Mosque of Damascus: Studies on the Meanings of an Umayyad Visual Culture, Leiden; Boston; Koln: Brill.


Rihawi, Abdul Qader. 1979. Arabic Islamic Architecture in Syria. Damascus: Ministry of Culture and National Heritage.

( Sources : http:www.archnet.org )

Senin, 16 Juni 2008

Paradoks Terorisme

Oleh: Irhamudin Mahmud

“We should not forget that the US it self is a leading terrorist state.”

(Prof. Noam Chomsky, pakar linguistic pada the Massachussets Institute of Technology”)

Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky : Lebih jahat dari Tangan Teroris”. Profesor linguistic di MIT itu menyimpulkan,”Pengeboman atas Afganistan ( oleh pasukan Sekutu yang dipimpin AS ) adalah kejahatan yang lebih besar daripada terror 11 September.”Pendekatan Barat terhadap konflik Afganistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. “ AS adalah terdakwa Negara teroris,” tegas Chomsky.

Dalam sebuah wawancara dengan Koran Yediot Aharonot, 26 Mei 1974, Ariel Sharon menyatakan,” Kita harus selalu menyerang, menyerang, tanpa henti. Kita harus menyerang mereka di mana pun adanya. Di dalam negeri, di negeri Arab, dan bahkan di seberang lautan sekalipun. Semuanya pasti dapat dilakukan.”


Tepat 6 tahun sudah peristiwa 11 September, namun tuduhan sebagai sumber terorisme terus menyatroni negeri muslim. Itulah paradoks yang disebarkan Barat melalui media massa yang tentu saja membuat para pemimpin di Negara muslim seolah berlomba untuk “ membersihkan” negara mereka dari apa yang namanya “ Terorisme dan Radikalisme”. Berbagai cara dan undang-undang dibuat untuk menjaring masyarakat yang dianggap melakukan tindakan teroris, tanpa memberikan definisi yang jelas dari terorisme atau radikalisme. Sehingga, seolah-olah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pihak pemerintah untuk menindak siapa saja yang dianggap bertentangan dengan mereka. Mengutip harian Al-Syarqul Awsath, menulis, bahwa bukan saja belum mampu mengatasi aksi terorisme atau radikalisme, Amerika Serikat bahkan banyak menimbulkan masalah baru karena konsep terorisme melebar kemana-mana. Harian itu mengingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. “Mendefinisikan terorisme merupakan satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang yang melelahkan,” demikian laporan harian terbesar Arab itu.

Sebenarnya, bagi masyarakat dunia penyerangan atas dua negara muslim ( Afganistan dan Irak ) cukup menjadi pelajaran bahwa apa yang selama ini diserukan Amerika Serikat bohong belaka. Dengan maksud memberantas terorisme dan senjata pemusnah massal, Amerika malah memberantas penduduk sipil, tentu saja tidak tanggung-tanggung Amerika “menghadiahi” penduduk Afganistan dan Irak dengan peluru-peluru kendali Tomahawk/Particle Canon. Sehingga korban yang ditimbulkan melebihi dari korban gedung WTC. Masih teringat dalam benak setiap muslim pasca perang Irak ketika Presiden Amerika George W. Bush Jr berpidato dihadapan pasukannya yang berkekuatan 100.000 orang lebih dengan dukungan berbagai peralatan canggih, menyatakan bahwa perang Irak merupakan Perang Salib (The Crusade), sejatinya Bush tidak sedang terpeleset lidah sebagai Kristen fundamentalis yang menganggap dirinya terlahir kembali (reborn).

Ironis memang, sepanjang sejarahnya dalam menjalin hubungan Islam-Barat, Barat selalu menggunakan dua wajah. Satu, wajah yang baik, yang bersahabat, khususnya terhadap kelompok Muslim yang bersikap “manis” dan mau mengikuti pikiran dan kehendak Barat. Yang lain adalah pendekatan konfrontatif, khususnya terhadap kaum Muslim yang menentang Imperialisme Barat. Di zaman kolonialisme klasik, mereka yang melawan penjajah disebut sebagai “pemberontak’, “ekstremis”, dan sejenisnya. Di lapangan, pengertian “terorisme, radikalisme, militan, fundamentalisme”, tidaklah jelas dan sangat bias, tergantung kepentingan. Bernard Lewis dalam bukunya The crisis of Islam menyatakan, bahwa Fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. Kemudian Francis Fukuyama juga mencatat: “Islamis radikal, yang tidak toleran terhadap semua bentuk keragaman dan suara yang berbeda, telah menjadi kaum fasis di zaman kita. Merekalah yang sedang kita lawan. Dari kedua definisi (Lewis dan Fukuyama) tentu saja sangat bias dan kenyal untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Seolah-olah mereka menyimpulkan setiap Muslim yang mencoba mengkritik Barat atau menolak Hegemoni Barat maka mereka bisa saja dianggap teroris atau radikal.

Dari kedua definisi diatas akan timbul pertanyaan, apakah ”kebaikan” Amerika yang memberikan kiriman “parcel” dalam Perang Teluk, 1991, untuk Irak berupa 88.000 ton bom ( setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima ) tidak pantas untuk disebut “militan Kristen”, Mengapa Ariel Sharon yang jelas-jelas bertanggung jawab atas pembantaian Shabra-Shatila tidak disebut sebagai “ militan dan teroris Yahudi”, Mengapa pembantaian yang dilakukan oleh Serbia dibawah pimpinan Presiden Slobodan Milosevic terhadap kaum Muslimin di Bosnia-Herzegovina yang menelan korban “Hanya” 200.000 orang tidak disebut sebagai “radikalisme kristen”, malah divonis bebas oleh Mahkamah Internasional, Mengapa Mahkamah INQUISISI, 1450-1800, yang “hanya” membantai dua-empat juta lebih kaum Heretics ( kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja ) di dataran Katolik maupun Protestan Eropa dalam sejarah tidak disebut sebagai “ militan Kristen”?

Prof. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Pennsylvania, dalam bukunya The Real Terror Network ( 1982 ) menulis, dunia mengutuk “retail violence” (kejahatan eceran) tetapi mendiamkan “wholesale violence” (kekerasan borongan) yang diusung oleh kekuataan negara, semata-mata hanya karena faktor ketidakberdayaan. Ahmad Yassin dicap sebagai terroris dan militan oleh Israel. Karena itu ia boleh dibunuh kapan saja. Tanpa pertanggungjawaban apa-apa.

Kerancuan, mungkin itu kata yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Tanpa menentukan definisi yang tepat dan disepakati oleh setiap negara, Barat terus mengembor-gemborkan kata teroris, radikal, militan, fundamentalis diberbagai media massa. Kerancuan definisi tersebut makin diperparah dengan pemberitaan Media massa yang selalu menambahkan embel-embel terorisme, militant, fundamentalis, radikalisme dalam kaitannya dengan Islam, sebagai contoh Harian Kompas menggunakan istilah yang beragam untuk Abu Sayyaf, yaitu ( 1 ) “kaum militan”, seperti yang ditulis dalam tajuknya (20 Juni 2002),” Dalam kasus penculikan awal pekan ini segera terlihat betapa berbahayanya kegiataan kaum militan di Filipina Selatan.” (2) “ Gerilyawan Separatis “. Ditulis dalam tajuk Kompas,” peristiwa perampokan hari Senin 17 Juni berlangsung di wilayah dan perairan yang selama ini dikenal dikuasai gerilyawan separatis Abu Sayyaf.” (3) “Kelompok Gerilya Muslim”, seperti yang ditulis dalam berita Kompas (19 Juni 2002),”…Noble Energy yang berpangkalan di singapura telah mengidentifikasi para penculik itu sebagai anggota Abu sayyaf, kelompok gerilya Muslim yang diketahui beberapa kali melakukan penculikan, termasuk orang asing.” Namun pada saat yang sama Kompas tidak menyebut “teroris Yahudi” pada Israel yang membantai Muslim Palestina dan “pembantai kristen” pada tokoh-tokoh kristen pelaku pembunuhan dan terorisme di Serbia, atau Timothy McVeigh yang membom gedung WTC di Oklahoma City tahun 1996 sebagai “separatis kristen”. Jadi, secara sadar atau tidak sadar seolah-olah media massa telah menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan AS dan sekutunya untuk membentuk opini buruk terhadap Islam bagi masyarakat dunia. Media massa yang seharusnya menjadi sumber berita yang tidak timpang sebelah, kini malah ikut-ikutan tidak objektif dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Kepentingan, kata kedua yang tepat untuk Amerika dan sekutunya. Seperti kita ketahui setelah berakhirnya Perang Dingin ( Cold War ) dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet Barat seperti membutuhkan rival untuk mempertahankan kepentingan legitimasi dan eksistensi ideologi mereka. Dalam bukunya The Clash of Civillization Huntington (penasihat politik luar negeri AS) menguraikan beberapa faktor mengapa hubungan Barat-Islam selalu panas, diantaranya; Pertama, runtuhnya komunisme telah menggeser musuh bersama diantara Islam dan Barat dan masing-masing merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kedua, meningkatnya interaksi antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Bahkan, papar Huntington, dalam kedua masyarakat –Islam dan Barat—sikap toleran terhadap yang lain telah merosot tajam pada dekade 1980-an dan 1990-an.

Dulu, ketika Uni Soviet belum runtuh Barat dan Islam mempunyai musuh yang sama yaitu komunis, tapi sekarang Islam menjadi musuh utama Barat. Dalam bukunya Who Are We? Huntington menulis satu sub-bab berjudul “ Militant Islam vs America “, yang menekankan bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Dalam bukunya Huntington menjelaskan bahwa Islam militan bukan hanya Osama bin Laden ( Al-Qaeda ), tapi juga kelompok-kelompok Islam lainnya yang bersifat negatif atau kritis terhadap AS. Masih banyak lagi ilmuwan neo-konservatif yang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer dan lainnya. Keinginan untuk menjadi penguasa tunggal itulah cita-cita AS. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, maka segala cara akan ditempuh walau harus menyerang negara lain. Perang, mungkin itu solusi yang tepat menurut AS untuk mempertahankan eksistensinya yang seolah selalu dalam keadaan terancam. Selain itu satu hal yang mungkin bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa negara-negara besar seperti AS dan sekutunya merupakan produsen senjata pemusnah manusia. Tentunya tanpa adanya perang para pialang produsen senjata besar akan dirugikan dan perlu menjadi catatan para pialang tersebut mempunyai jaringan internasional. Begitu kuatnya lobi mereka sehingga pemerintahan negara super power seperti AS keok dan bisa dipaksa untuk melakukan penyerangan terhadap negara lain seperti Afganistan dan Irak. Kelompok lobi ini dikenal dengan Neo-Konservatif atau “Wolfowitz cabal”, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis (New Christian Right), dan ilmuwan neo-orientalis.

Ahli dalam menciptakan “mesin pemusnah massal”, adalah julukan yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam bukunya, Cold War, mencatat, antara tahun 1945-1996, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan diseluruh dunia. Persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Belum lagi instalasi militer yang dimiliki AS mencapai 1.700 yang tersebar di 100 negara, yang menurut Chalmers Johnson, mencerminkan satu bentuk baru imperialisme. Sebagai catatan, pusat-pusat pengembangan nuklir sebagian besar berpusat di AS dan sekutunya, coba bandingkan dengan negara arab yang dituduh sebagai sumber teroris, tak satu pun dari mereka yang memiliki pusat pengembangan nuklir malah mereka menjadi konsumen setia senjata AS dan Sekutunya. Dengan bermodalkan pepatah Latin “sivis pacis para bellum” (Jika anda menginginkan perdamaian, maka siapkanlah perang), AS dan sekutunya terus memproduksi mesin perang pemusnah manusia.


Mengutip ungkapan Prof. Hunter Wade dari London School of Economics, yang menyebut Amerika dan tindakannya sebagai “ unbalanced world”, kemudian dengan manis Noam Chomsky menjelaskan bahwa Amerika diposisikan sebagai “Kaisar” yang memburu “bajak laut”. Kemudian Chomsky menyebut Amerika dan Israel sebagai “dua Negara yang dipimpin oleh dua komandan teroris dunia”. “Sang Kaisar” yang mengacau samudera, dengan kapal raksasa, membunuhi jutaan orang dan melakukan kekejaman dimana-mana (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “wholesale violence “) tetap diberi julukan mulia, yakni “Kaisar”. Sementara “bajak laut” yang melakukan kekerasan kecil-kecilan (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “retail violence’ sudah dicap sebagai “teroris”, yang wajib “diperangi dan “dimusnahkan”. Orang-orang yang mau menjadi “hamba Sang Kaisar” juga diberi kedudukan dan anugerah mulia, dalam istilah Arie Fleisher, jubir Gedung Putih, disebut mendapatkan “carrot”. Sebaliknya, orang-orang yang pernah atau punya hubungan dengan “sang bajak laut” diberikan “hukuman”, yang dalam istilah Fleisher disebut sebagai “stick”.


Keuntungan, kata ketiga yang pas kita berikan bagi Amerika dan sekutunya ( Barat ). Sadar atau tidak sebenarnya dunia Islam sedang dihadapkan pada hidangan yang begitu “lezat” tapi penuh dengan kebusukan. Hidangan itu bernama Westernisasi, atau yang dikenal dengan 3 F & 1 T ( food, fun, fashion, and Thought ). Melalui makanan, hiburan, dan mode warga dunia disuguhi Coca-Cola, KFC atau MCDonald’s, musik AS, dan berbagai trend mode yang ditampilkan artis-artis top dunia. Melalui Thought ( pemikiran ) mereka menyuguhi Sekulerisme dan Liberalisme yang nyata-nyata telah gagal di Barat, sehingga menyebabkan mereka maju dibidang teknologi dan hancur dari segi moral. AS dan Barat mengalami “Evolusi Nilai” atau “Relativitas Nilai” yang berdampak kaburnya nilai-nilai moral. Tanpa disadari, Barat sekarang terjebak dalam lingkaran setan berbagai masalah kesehatan dan sosial. Sebagai contoh, atas dasar “suka sama suka” perzinahaan dianggap hal biasa, sedangkan korupsi dipandang sebagai kejahatan serius. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan dosa, sedangkan poligami dianggap sebagai kejahatan. Ironis memang, tapi kalau fenomena pemikiran seperti ini sudah timbul dan menjamur dimasyarakat, maka nilai moral agama akan hancur dan memasuki lingkaran setan kebingungan yang tiada ujung. Belum lagi tren mode dan maraknya dunia hiburan. Gemerlap dunia showbiz seolah mengajak manusia untuk tidak menggunakan akal sehat, karena kalau manusia menggunakan akal sehat, maka akan menghambat laju proyek besar di dunia hiburan. Hidup adalah kesenangan, mungkin itulah motto dunia hiburan, sebagaimana yang diajarkan filsafat Epicureans di zaman Yunani Kuno. Dengan dasar “kebebasan bereskpresi” adalah “standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat”.

Dari tiga pembagian diatas, kita akan mengerti siapa yang sebenarnya pas untuk disebut teroris, radikal, fundamentalis, separatis, atau yang berkonotasi buruk lainnya. Sebagai Muslim yang baik sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu kritis terhadap berbagai masalah. Bukan hanya sebagai konsumen pemikiran atau penganut pemikiran dan gaya hidup glamor, tapi ambil yang baik dan kritisi yang bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral. Seolah memetik mawar, maka yang kita ambil hanya mawarnya tanpa harus mengambil durinya sehingga membuat tangan kita terluka.

Terakhir, kami ingin mengutip ungkapan Wiliam Blum yang mengajukan konsep sederhana untuk mengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS dan sekutunya. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS sudah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Ketiga, memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 miliar USD per tahun. Terakhir, lanjut Blum, “On the fourth day, I’d be assassinated ( pada hari keempat saya akan dibunuh ).

Wallahu’allam bishowab.

Sumber : Website PPI Syria