Selasa, 27 September 2016

Antara Hukum Jenggot Dan Ternyata Ahli Surga Tidak Ada Yang Berjenggot

Fhoto Illustrasi, di ambil dari pixabay.com
Setidaknya, ada 2 pendapat tentang Jenggot. Kelompok pertama, memelihara jenggot adalah sunnah nabi, berpahala jika di lakukan, sedangkan kumis sunnah di cukur atau dirapikan. Kelompok kedua, memelihara jenggot bukanlah sunnah, karena bukan sunnah, pelihara boleh, potong habis juga boleh”.

Kelompok pertama yang berpendapat, hukum memelihara jenggot adalah sunnah, adalah berdasarkan hadits-hadits nabi.  Ada banyak hadits yang menjelaskan hal ini. Salah satunya, “Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah (jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” Ada banyak lagi hadits yang maknanya serupa, yang jelas berdasarkan hadits-hadits ini kelompok pertama berpendapat hukum sunnah memelihara jenggot dan sunnah mencukur atau merapikan kumis…”.
Kelompok kedua berbeda pendapat, hukum memelihara jenggot adalah TIDAK sunnah. Dasar hukumnya sama, yaitu berdasarkan hadits-hadits nabi yang menjelaskan tentang sunnah memelihara jenggot”.

Bagi Kelompok pertama ketika memahami hadits nabi tentang memelihara jenggot, mereka cenderung taabbudi, pasif, menerima apa adanya, bagaimana teks hadits bunyinya, itu yang diamalkan. Karena Nabi memerintahkan untuk memelihara jenggot, maka memelihara jenggot menjadi sunnh hukumnya. Berbeda dengan kelompok kedua, mereka tidak memahami hadits apa adanya, mereka pelajari asbabul wurudnya, sehingga kemudian mereka bisa menemukan hukum sesungguhnya dari memelihara jenggot. Mereka juga mempelajarinya dari segi hadits tasyri’ atau ghoiru tasyri’. Hadits yang hanya menjelaskan kebiasaan Nabi tidaklah menimbulkan hukum . Memelihara Jenggot hanyalah kebiasaan Nabi, karenanya tidaklah menjadi sunnah hukumnya.

Terlepas dari perbedaan pendapat dua kelompok kaum muslimin tentang hukum jenggot, ada satu hal yang amat penting di ketahui bahwa Para Penghuni Surga ternyata tidak ada yang berjenggot. Hal ini tidak bermaksud menyerang kaum muslimin yang suka berjenggot dan menghukuminya sunnah, tetapi lebih kepada masalah memperkaya wawasan.  Jika kita kaya akan wawasan, maka kita tidak mudah menyalahkan orang lain dan merasa paling benar.

Dalam sebuah hadis yang derajatnya hadis hasan ghorib, di sebutkan dalam Kitab Sunan Imam At Tirmidzi, di ceritakan melalui riwayat Muadz Bin Jabal, bahwa Baginda Nabi bersabda : Ahli Surga akan masuk ke dalam surga dengan keadaan rambut pendek, tidak berjenggot, mereka memakai celak mata, sedang usia mereka 30 tahun atau 33 tahun.

Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa Ahli Surga memiliki ketinggian seperti Nabi Adam, yaitu 60 hasta dengan ukuran orang besar, wajahnya tampan setampan Nabi Yusuf, seusia Nabi Isa, yaitu 33 tahun, lidahnya fasih sefasih Nabi Muhammad, mereka berambut pendek dan tidak berjenggot.

Semoga Allah memberkati kita semua. Amiin.

Referensi : Kitab Sunan Tirmidzi.

Video Youtube :

Minggu, 25 September 2016

Inilah Hukum Melihat Alat Vital Isteri Atau Suami

Memperlihatkan aurat kepada lawan jenis dibolehkan selama keduanya sudah sah menjadi suami-istri. Apabila belum menikah, baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan menutup aurat. Penutupan aurat ini bertujuan agar kehormatan manusia terjaga dan terlindungi dari gangguan tangan dan mata jahil.

Kendati dibolehkan melihat aurat istri ataupun suami, namun pertanyaannya apakah semua bagian tubuhnya boleh dilihat? Atau ada bagian-bagian tertentu yang tidak boleh dilihat, alat vital misalnya?

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Aisyah seumur hidup tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah SAW (HR Ibnu Majah). Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian orang untuk memakruhkan melihat kemaluan pasangan, meskipun sudah menikah. Karenanya, pasangan suami-istri pada saat berhubungan intim dianjurkan mematikan lampu atau menggunakan selimut agar satu sama lain tidak melihat alat vital pasangannya.

Namun pendapat ini dibantah oleh ulama yang membolehkan. Di antara alasannya, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah ini masih diperdebatkan keabsahannya. Selain itu, terdapat hadits lain yang mengisyaratkan kebolehan melihat alat vital pasangan. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan sebagai berikut.

ويباح لكل واحد من الزوجين النظر إلى جميع بدن صاحبه ولمسه حتى الفرج لما روي بهز بن حكيم عن أبيه عن جده قال: قلت: يا يارسول الله، عوراتنا مانأتي منها وما نذر؟ فقال: احفظ عورتك إلا من زوجتك وما ملكت يمينك. رواه الترمذي وقال حديث حسن، ولأن الفرج يحل له الاستمتاع به، فجاز النظر إليه ولمسه، كبقية البدن.

Artinya, “Dibolehkan bagi pasangan suami-istri melihat dan menyentuh semua bagi tubuh pasangannya, termasuk alat vitalnya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Bahaz bin Hakim, bahwa kakeknya bertanya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah SAW, mana aurat yang boleh kami buka dan mesti kami tutup?’ Rasul menjawab, ‘Tutup auratmu kecuali untuk istrimu dan budakmu.’ Menurut At-Tirmidzi, status kekuatan hadits ini adalah hasan. Mengapa diperbolehkan? Karena alat vital adalah tempat istimta’ (bersedap-sedapan) dan diperbolehkan melihat dan menyentuhnya, seperti anggota tubuh lainnya.”

Dalam Al-Qur’an, hubungan suami-istri ditamsilkan sebagai ladang garapan, (QS: Al-Baqarah 223). Berpijak pada keumuman ayat ini, gaya apapun diperbolehkan selama berhubungan intim selama tidak melalui dubur. Sebab itu, kebanyakan ulama memperbolehkan melihat alat vital suami atau istri bila memang dibutuhkan.

Seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah, hukumnya disamakan dengan melihat anggota tubuh lainnya. Tidak hanya melihatnya yang diperbolehkan, tetapi juga menyentuhnya selagi ada hajat. Wallahu a’lam.

Sumber : Website NU Online

Video On Youtube :
Inilah Hukum Melihat Alat Vital Isteri Atau Suami - Menebar Hikmah Meraih Berkah

Jumat, 23 September 2016

Inilah 6 Karakter Wanita yang Tidak Baik Dijadikan Sebagai Istri


Melangsungkan pernikahan adalah solusi terbaik bagi dua insan yang di landa gelora cinta agar kehidupan keduanya menjadi lebih selamat dan berkah. Pernikahan adalah jalan terbaik untuk merealisasikan rasa cinta yang bergejolak dalam hati, lalu bersama-sama mencari kebahagiaan dan melestarikan keturunan. Setiap orang pastinya menginginkan pasangan hidup yang baik dan ideal, prilakunya, agamis, dan menyenangkan  hati.

Imam Al-Ghozali  dalam karangan fenomenalnya kitab Ihya Ulumuddin memberikan beberapa tips agar para pemuda tidak salah dalam memilih wanita, karena pilihan yang baik tentu akan membawa hasil yang baik pula. Menurut Imam Al Ghozali, ada enam Karakter Wanita yang Tidak Baik untuk Dijadikan Sebagai Istri.

Pertama : Al-Ananah. Yaitu wanita yang banyak mengeluh dan mengadu, selalu membalut kepalanya sebagai tanda sakit. Ini dilakukan untuk memberitahu kepada orang-orang bahwa dia merasa terbebani dengan tugasan hariannya  karena malas atau memang sifat bawaan yang dimilikinya. Wanita seperti ini bawaannya  suka mengeluh walaupun disebabkan perkara kecil. Wanita tersebut berpura-pura sakit supaya suaminya tidak membebaninya dengan tugas harian. Menikahi perempuan yang sengaja buat-buat sakit tidak ada faedah sama sekali.

Kedua, Al-Mananah yaitu wanita yang memberikan sesuatu kepada suaminya  tetapi suka mengungkit-ungkit pemberian tersebut. Seringkali saat berbicara dia selalu mengungkitnya, lebih-lebih lagi saat terjadi suatu masalah, dia selalu merasa bahwa pemberian suaminya tidak sebanding dengan apa yang telah diberikannya.

Ketiga, Al-Hananah, yaitu wanita yang suka merindui, mengungkit-ungkit dan mengingati bekas suami atau anaknya dari suaminya dulu. Wanita seperti ini tidak akan menghargai suaminya walaupun suaminya berusaha memuaskan segala kemauannya.

Ke Empat, Al-Haddaqah, yaitu wanita yang menginginkan apa saja yang dilihatnya saat berbelanja. Wanita dengan karakter seperti ini akan sangat boros sehingga membebankan dan memberatkan suaminya dalam segi finansial.

Kelima, Al-Baraqah. Al-Baroqoh mempunyai dua makna. Pertama, suka berhias sepanjang waktu dan melebihi  batas wajar, supaya wajahnya nampak lebih anggun dan mempersona. Kedua, perempuan yang tidak mau makan dalam keramaian, dan dia tidak akan makan kecuali jika sendirian, dia juga akan menyimpan bagian tertentu untuk dirinya sendiri.

Ke enam, Al-Syaddaqoh. Yaitu wanita yang banyak berbicara, melebihi kadar keperluan, suka membicarakan hal yang tidak penting. Suka mengumpat siapa saja bahkan suaminya sendiri. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shollohu alaihi wasallam, bahawa Allah murka kepada wanita yang banyak bicara hal-hal yang tidak penting. 

Semoga Allah menjadikan kita lebih baik. 

Sumber : Ngaji Web Id 

Videonya di Youtube :


Inilah Sembilan Adab Menjadi Orang Kaya Menurut Imam Al-Ghazali

Kekayaan, betapapun kerasnya cara kita mendapatkannya, adalah anugerah Allah. Karena anugerah, ia harus diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Sang Pemberi Anugerah. Orang tak bisa seenaknya berbuat dengan hartanya meskipun ia mengklaim itu hasil jerih payahnya sendiri. Sebab, setiap yang dimiliki manusia terkandung tanggung jawab yang harus dipikul. Sikap etis dalam memiliki kekayaan termasuk dari implementasi tanggung jawab tersebut.

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali menjelaskan etika menjadi orang kaya dalam salah satu risalahnya berjudul Al-Adabu fid Dîn, persisnya dalam fasal Âdâbul Ghanî (dalamMajmû‘ Rasâil al-Imâm al-Ghazâlî, Kairo: al-Maktabah at-Taufîqiyyah). Imam Al-Ghazali mengulas beberapa poin penting yang harus dilakukan oleh orang berpunya.

Pertama, selalu bersikap tawaduk (luzûmut tawadlu'). Kedua, menghapus sikap sombong (nafyut takabbur). Orang yang memiliki kelebihan, termasuk kelebihan harta benda, diharuskan untuk melestarikan sifat rendah hati, tidak angkuh, terhadap orang lain baik miskin maupun kaya seperti dirinya. Sifat ini bisa muncul jika si kaya menginsafi bahwa kekayaan hanyalah titipan atau sekadar amanat.

Ketiga, senantiasa bersyukur (dawâmusy syukr). Lawan dari syukur adalah kufur alias mengingkari kekayaan sebagai karunia yang sangat berharga. Kufur biasanya dipicu oleh sifat tamak, tak puas dengan apa yang sedang dimiliki. 

Keempat, terus bekerja untuk kebajikan (at-tawâshul ilâ a‘mâlil birr).Di antara modal orang kaya yang tak dimiliki orang miskin adalah kekuatan ekonomi. Karena itu hendaknya kekuatan ini dimanfaatkan untuk kemaslahatan orang lain, bukan dibiarkan menumpuk, bukan pula untuk kegiatan mubazir atau yang menimbulkan mudarat.

Kelima, menunjukkan air muka yang berseri-seri kepada orang fakir dan gemar mengunjunginya (al-basyâsyah bil faqîr wal iqbâl ‘alaihi). Sikap ini adalah bukti bahwa si kaya tak membedakan pergaulan berdasarkan status ekonomi seseorang. 

Keenam, menjawab salam kepada siapa saja (raddus salâm ‘alâ kulli ahadin). Orang kaya juga dituntut untuk membalas sapaan yang datang dari setiap orang, terlepas dari latar belakang keturunan, kekayaan, status sosial, profesi, dan lain-lain. Manusia memang diciptakan setara dan sama-sama mulia, dan demikianlah seharusnya tiap orang saling bersikap.

Ketujuh, menampakkan diri sebagai orang yang berkecukupan (idh-hârul kifâyah). Artinya, orang kaya tak sepatutnya bersikap memelas atau menunjukkan tanda-tanda sebagai orang yang butuh bantuan. Tentu ini berbeda dari sikap hidup sederhana, yang menjadi lawan dari berfoya-foya dan terlalu bermewah-mewahan.

Kedelapan, lembut dalam bertutur dan berperangai ramah (lathâfah al-kalimah wa thîbul muânasah). Artinya, tidak mentang-mentang kaya dan bisa melakukan banyak hal dengan kekuatan ekonominya, orang kaya lantas boleh berbuat apa saja, termasuk berkata kasar dan merendahkan orang lain.

Kesembilan, suka membantu untuk kepentingan-kepentingan yang positif (al-musâ‘adah ‘alal khairât). Contah dari sikap ini adalah bersedekah, membangun fasilitas umum, memberi bantuan modal usaha, menanggung biaya pendidikan orang miskin, dan lain-lain.

Sumber : Website NU


Videonya di Youtube :


 

Selasa, 05 Juli 2016

Kilas Balik Amaliyah Romadhon


Dengan menyebut nama Allah, marilah kita membuka hati untuk merenungkan kehidupan kita. Disela kesibukan duniawi yang tiada habisnya, yang hampir seluruh waktu dan tenaga kita habiskan untuk memikirkan kebahagiaan dunia, mari sejenak untuk memperhatikan lebih dalam kehidupan kita. Mari sejenak kita memikirkan kebahagiaan akhirat dan persiapan yang dibutuhkan untuk mendapatkannya. Kita tentu saja mendambakan kebahagiaan dunia, namun kita lebih mendambakan kebahagiaan akhirat. 

Jika kebahagiaan dunia kita perjuangkan dengan bekerja keras, guna meraih kecukupan harta sebagai salah satu syarat tercapainya kebagiaan dunia, maka untuk meraih kebahagiaan akhirat, perjuangan meraihnya membutuhkan kesungguhan hati. Perjuangan meraih kebahagiaan dunia dan kebahagiaan akhirat, tentunya harus berjalan seimbang. Jangan pula pincang sebelah, terseok seok sempoyongan, agar orang di sekeliling kita tidak memandang sebelah mata atau bahkan meremehkan kita. Dan tentu saja sangat aneh, jika ada diantara kaum muslimin, mendambakan kebahagiaan akhirat, namun sampai saat ini masih enggan pula melaksanakan perintah sholat, jika bulan Romadhon juga tak puasa, Zakat pun tak terbayar pula.

Bulan Romadhon sungguh telah berlalu, semoga semua ibadah kita di sepanjang Romadhon, di terima Allah sebagai bentuk ketaatan dan kelak mengantarkan kebahagiaan akhirat. Tak hanya ibadah puasa, ibadah lainnya pun semoga mendapatkan penilaian pengabdian kita kepada Allah. Romadhon, memang bulan ibadah. Jika kita tak mampu memaksimalkan ibadah di bulan-bulan lain, maka sepantasnyalah di bulan Romadhon kita puas-puaskan beribadah. Siangnya berpuasa, malamnya Sholat Teraweh dan Witir, ditambah sholat sunnah lainnya. Sholat 5 waktu rutin berjamaah, rajin pula bersedekah, sedang Al Quran menjadi teman dan sahabat di saat gundah, pelipur lara penenang hati, selama Romadhon mampu khatam berkali-kali. 

Pertanyaannya, hari ini kita berpisah dengan bulan Romadhon, sudah semaksimal apa ibadah kita selama Romadhon kemaren? Sholat jamaah apakah rutin? Baca Quran, sampai Romadhon berakhir, sampai khatamkah? Dzikir, ingat kepada Allah, baca istighfar, hamdalah, tasbih, takbir, apakah bibir kita masih tetap basah karena sibuk melazimkannya? Sedekah, apakah semangat untuk terus berbagi masih bergelora? Sholat traweh, hingga akhir Romadhon, sabarkah mengikutinya dengan jumlah 11 atau 23 rekaat, yang hari-hari biasa kita tak biasa melakukan sholat sunnah sebanyak itu. 

Berbagai pertanyaan ini, harus kita hunjamkan kedalam jiwa kita, tonjokkan ke relung hati kita, agar jika belum maksimal, hati dan jiwa bisa kembali bersemangat untuk meningkatkannya di lain waktu. Tentunya, tidak harus menunggu Romadhon tahun depan, saat ini kita bertekad untuk memperbaiki apa yang kurang dan mempertahankan apa sudah kita rutinkan selama Romadhon yang telah berlalu.

Beribadah di bulan Romadhon, memang persis seperti di medan perang, yang tidak hanya butuh kekuatan badan, tetapi juga butuh kekuatan jiwa keteguhan hati. Sungguh telah sering terjadi, di saat perang masih terus berkecamuk, sebagian kita masih terus berjuang, sebagian kita pula sudah mulai loyo dan kehabisan tenaga. Di awal Romadhon masih bersemangat, maka semakin jauh berjalan menghitung hari dari bulan Romadhon, hendaknya tetap bersemangat. Jika Awal Romadhon, Masjid penuh dengan jamaah, shof barisan sholat memanjang beberapa barisan, semakin dekat dengan lebaran, hanya tinggal sajadah yang berbaris rapi sementara kita sudah lemah dan kehilangan energi. Masjid mulai sepi, pasar semakin ramai, semua sibuk persiapan lebaran. 

Ah...Apakah ini yang telah terjadi? haruskah demikian tiap tahun?  Jika iya, pantaslah setelah Romadhon berlalu, kesungguhan kita ibadah tak memberi bekas yang dalam ke relung hati kita. Naudzubillah. 

Romadhon sesungguhnya bulan berlatih, berlatih sungguh-sungguh dalam ibadah, yang dengan latihan yang sungguh-sungguh itu kelak setelah selesai latihan selama Romadhon, ada banyak oleh-oleh yang selalu kita abadikan untuk kita amalkan sepanjang masa dari seluruh bagian dari hidup kita. Selama Romadhon latihan berpuasa yang intinya mendidik jiwa agar memiliki simpati dan peduli pada kesulitan saudara kita, setelah romadhon berlalu, tetap dan makin bersinar jiwa kepeduliaannya pada sesama. Selama Romadhon, rutin sholat jamaah, setelah romadhon, jangan sampai pula kembali lengah. Baca Quran khatam berkali-kali, hendaknya tetap menjadi rutinitas harian sampai ajal menghampiri diri. Demikian pula ibadah lainnya, hendaknya tidak hanya menjadi ibadah musiman, yang hanya kita lakukan selama Romadhon, namun kembali lenyap setelah lebaran tiba. Jika demikian, kembali bertanya pada diri : Akan beginikah tiap tahun diri ini setelah Romadhon berlalu? Tiap tahun bertambah usia, bertambah pengalaman jiwa, hendaknya bertambah pula ketaatan kepada Sang Maha Pencipta. 

Akhirnya, semoga hati yang bening dan jernih mampu memahami dan meresapi, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan. Semoga kita telah sukses menjadikan Romadhon tahun ini sebagai bulan latihan ibadah sehingga setelah Romadhon berlalu, ibadah yang kita lakukan, kita mampu mengabadikannya di sepanjang hidup kita. Semoga kita semua di beri kekuatan lahir bathin untuk menjadi hambanya yang pandai berbakti. Amin ya Robbal alamin.