Selasa, 12 Mei 2009

SYARIAT WUDLU’ MENURUT PERSPEKTIF FIQH


Oleh : Mas Arifin Salamun

Pengantar

Islam adalah agama yang suci dan sangat memperhatikan masalah kebersihan dan kesucian. Bahkan dalam sebuah hadits kebersihan dan kesucian disebut-sebut sebagai bagian tak terpisahkan dari iman. Bagaimana tidak, sebab kebersihan dan kesucian merupakan kunci penentu sahnya ibadah yang pada giliran berikutnya mengantarkan di terimanya ibadah oleh Allah SWT.
Kebersihan dan kesucian di dalam Islam meliputi kesucian lahir dan kesucian bathin.


Kebersihan dan kesucian di dalam Islam meliputi kesucian lahir dan kesucian bathin. Kesucian lahir mencakup kesucian badan, pakaian dan semua benda dari adanya najis dan semua bentuk hal yang kotor dan menjijikkan. Sedangkan kesucian bathin mencakup kesucian jiwa dari hal-hal kotor yang bersifat non materi. Termasuk dalam cakupan kesucian bathin adalah kesucian diri kita dari hadats, yaitu sesuatu yang bersifat non materi yang menjadi penghalang sahnya ibadah sholat dan ibadah-ibadah lainnya seperti haji dan umrah, membaca Al Quran, i’tikaf dan lain-lain. Seseorang dianggap berhadats jika melakukan hal-hal tertentu seperti buang air kecil dan besar, keluar angin dari dubur dan di sebut sebagai hadats kecil. Seseorang juga di anggap berhadats jika sedang mengalami haidl, nifas dan junub, dan di sebut sebagai hadats besar. Baik hadats kecil maupun hadats besar, keduanya menjadi penghalang sahnya ibadah sholat, haji, umrah dan semua bentuk ibadah yang membutuhkan kesucian diri dari hadats.
Oleh karena itu, Islam memberikan tuntunan bagaimana caranya mensucikan diri dari hadats dan agar ibadahnya menjadi sah secara syar’i. Untuk mensucikan diri dari hadats kecil, Islam mengajarkan syariat berwudlu’, sedangkan untuk menghilangkan hadats besar Islam memberikan tuntunan dengan melakukan mandi. Tuntunan Islam untuk memsucikan diri dari hadats memiliki rahasia dan manfaat yang sangat penting, diantaranya di samping menjadi sahnya ibadah, juga berguna untuk menghindarkan diri dari penyakit, terutama penyakit kulit atau penyakit kelamin, melatih diri untuk selalu ingat kepada Allah, membiasakan diri hidup bersih dan sehat dan manfaat-manfaat lainnya yang insya Allah akan kita tuturkan juga dalam pembahasan berikutnya.
Dalam hubungannya dengan masalah mensucikan diri dari hadats, khususnya hadats kecil, penulis pada makalah ini hanya akan mengkhususkan pembahasan tentang syariat berwudlu’ sebagai salah satu cara mensucikan diri dari hadats kecil. Pada saat tertentu jika berwudlu’ tidak mungkin dilakukan karena tiadanya air, atau air memang ada, akan tetapi ada penyakit yang tidak diperbolehkan terkena air, maka Islam memberikan solusi lain untuk mensucikan diri dari hadats. Solusi tersebut di sebut dengan tayammum.
Syariat berwudlu’ mulai di fardlukan ( diwajibkan ) kepada umat Islam pada malam isra’ yaitu tatkala Rasulullah menerima perintah sholat lima waktu. Artinya syariat berwudlu’ mulai diwajibkan berbarengan dengan diwajibkannya syariat sholat fardlu kepada umat Islam. Akan tetapi, tatacaranya telah lama diajarkan Allah kepada Rasulullah jauh sebelum ada syariat sholat. Hal ini berdasarkan riwayat bahwa pada saat pengangkatan Nabi Muhammad menjadi Rasulullah, Nabi Muhammad memperoleh petunjuk dari Allah melalui Malaikat Jibril tentang tatacara dan kaifiyat berwudlu’, lalu dengan wudlu’ yang tatacaranya baru di ajarkan tersebut, Nabi Muhammad melakukan sholat sunnah dua rekaat. Lebih dari itu semua, berwudlu termasuk syariat para nabi sebelum Nabi Muhammad bersama umat-umatnya.
Pengertian Berwudlu’ dan dasar hukumnya
Kata wudlu’ berasal dari bahasa arab yang merupakan sighoh ( bentuk kalimat ) isim mashdar ( kata dasar ) secara bahasa berarti bersih, bagus dan suci putih dari hitamnya dosa, bentuk fiil madly-nya ( bentuk kata kerja yang menunjukkan masa yang telah lewat ) “ tawadlo a “ yang berarti melakukan wudlu’ atau berwudlu’.
Sedangkan menurut istilah para fuqoha’, diantaranya Syaikh Ibrohim Al Bajuri dalam kitabnya “ Hasyiyah Al Bajuri ‘ala Ibni Qosim Al Ghozy “ menyebutkan bahwa wudlu’ dalam pengertian syara’ adalah “ suatu perbuatan ( amal ) dengan menggunakan air pada beberapa anggota tertentu ( wajah, kedua tangan, sebagian kepala dan kedua kaki ) diawali dengan niat ( menyengaja ) berwudlu”.
Adapun dasar hukum tentang kewajiban berwudlu’ di setiap akan melakukan ibadah sholat dan ibadah-badah lainnya, di tuturkan dalam Al Quran Surah Al Maidah ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, bila kamu (hendak) berdiri shalat, maka basuhlah wajah kamu, tangan-tangan kamu sampai siku-siku kamu, sapulah kepala-kepala kamu dan basuhlah kaki kamu sampai dengan mata kaki, dan jika kamu junub, hendaklah kamu mandi, dan jika kamu sakit atau dalam safar, atau seorang dari kau setelah buang air atau kamu menyentuh perempuan (bersebadan) tetapi kamu tidak mendapatkan air (atau ada air) maka hendaklah (boleh) kamu tayammum, dengan tanah yang bersih, yaitu kamu sapu muka kamu dan tangan kamu dengannya.Allah tidak hendak mengadakan keberatan bagi kamu, tetapi ia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya atas kamu, agar kamu bersyukur. (QS. Al-Maidah 6).
Ayat di atas dengan jelas mengajarkan tentang kewajiban berwudlu’ tatkala seorang muslim akan melakukan ibadah sholat. Di samping itu ayat ini juga mengajarkan tentang tatacara dan kaifiyat berwudlu’ yaitu dengan mengawali dengan membasuh wajah, membasuh kedua tangan, mengusap sebagian kepala dan membasuh kedua kaki.
Di dalam ayat ini hanya di sebutkan beberapa rukun yang tidak boleh tidak wajib dilakukan ketika berwudlu’, namun ada beberapa rukun yang tidak dituturkan. Dalam pembahasan berikutnya nanti insya Allah akan di tuturkan secara lebih detail tentang rukun-rukun wudlu’ dan hal-hal penting yang berhubungan dengan syariat wudlu’. Insya Allah..
Syarat sah berwudlu dan rukun-rukunnya
Ada perbedaan yang cukup mendasar antara syarat dan rukun dalam pembahasan para fuqoha’. Syaikh Mushthofa Al Bugho dalam kitabnya “ Al Fiqh Al Manhajiy “ menyebutkan perbedaan tersebut:
a. Syarat adalah sesuatu yang wajib dilakukan dalam sebuah perbuatan akan tetapi bukanlah bagian yang terpenting dalam perbuatan tersebut. Misalnya wudlu’ menjadi syarat sahnya sholat padahal wudlu’ bukan bagian yang esensial dari sholat. Berwudlu’ berada diluar perbuatan sholat akan tetapi menjadi syarat sahnya sholat.
b. Rukun adalah sesuatu yang wajib dilakukan dalam sebuah perbuatan dan menjadi bagian yang esensial dan tak terpisahkan dari perbuatan tersebut. Misalnya membasuh wajah adalah rukunnya wudlu’ dan menjadi bagian penting dari wudlu’. Tanpa membasuh wajah, bukanlah dinamakan wudlu’ bahkan wudlu; tidak tanpa melakukannya. Contoh lain ruku’ atau sujud dalam sholat, keduanya menjadi rukunnya sholat dan menjadi bagian penting yang tidak mungkin dipisahkan.
c. Sholat tanpa ruku’ atau sujud, bukanlah sholat namanya bahkan sholat tidak dianggap sah tanpa melakukannya.
Dalam hubungannya dengan masalah berwudlu, yang menjadi syarat sah dan syarat wajib berwudlu’ diantaranya :
1. Muslim.
Orang yang berwudlu’ adalah seorang muslim, orang kafir tidak sah melakukan wudlu’.
2. Air yang digunakan hendaknya air yang suci dan mensucikan.
Air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats baik hadats kecil maupun hadats besar, atau sudah digunakan untuk menghilangkan najis, tidak sah digunakan lagi untuk berwudlu’.
Keterangan lebih lanjut tentang syarat-syarat sah / wajib berwudlu dapat di rujuk ke berbagai kitab / buku fiqh yang membahasnya secara panjang lebar dan memuaskan.
Selanjutnya mengenai rukun-rukunnya berwudlu’, jumhur ulama berpendapat ada 6 perkara, yaitu :
1. Berniat.
Yang dimaksud dengan berniat secara syar’i adalah menyengaja melakukan suatu perbuatan berbarengan dengan perbuatan tersebut. Artinya jika seseorang berniat melakukan suatu pekerjaan, maka niatnya tersebut harus bersamaan melakukannya dengan pekerjaan yang dia lakukan. Jika berniat melakukan suatu perbuatan, akan tetapi melakukannya pada besok hari, atau lusa, atau minggu depan, maka hal itu bukan dinamakan niat dalam pengertian syar’i, akan tetapi di namakan ‘azam ( cita-cita atau rencana ).
Demikian halnya dalam masalah berwudlu’, ketika seorang muslim berniat berwudlu’, maka niatnya harus bersamaan dengan pekerjaan wudlu’nya. Berniat letaknya di dalam hati, bukan dengan ucapan. Yang masyhur dikalangan kaum muslimin, ketika seorang muslim berwudlu’, dia mengucapkan “ nawaitul wudlu a lirof’il hadats……”, maka sesungguhnya ucapan tersebut bukanlah niat, akan tetapi lafadz niat, sebab niat yang dikehendaki syara’ adalah niat dalam hati, bukan dengan ucapan. Jika seorang muslim hanya mengucapkan lafadz niat berwudlu’ dan tidak berniat berwudlu’ dalam hatinya, makanya wudlu’nya belum dipandang sah. Akan tetapi, melafadzkan ( mengucapkan ) niat menurut para fuqoha’ hukumnya tetap sunnah dilakukannya, sebab dengan melafadzkannya, hati akan lebih terbimbing untuk berniat yang sesuai dengan yang dikehendaki syara’. Di samping itu, karena berwudlu’ di awali dengan membasuh wajah, maka ketika seorang muslim mengenakan air pada wajahnya, ketika itu pula dia wajib berniat dalam hatinya bahwa dia menyengaja melakukan wudlu’ untuk mengangkat dan menghilangkan hadats kecil yang ada pada dirinya.
Di dalam ayat yang menjadi dasar hukum perintah berwudlu’, niat yang menjadi rukun pertama dalam berwudlu’, tidak disebutkan. Akan tetapi dituturkan dalam hadits “ innamal a’malu bin niati “ ( sesungguhnya sahnya suatu amal jika di iringi dengan niat ). Hadits ini menjadi dasar pokok tentang kewajiban berniat dalam setiap ibadah termasuk berwudlu’ dan menjadi rukunnya, khususnya dikalangan fuqoha’ syafiiyyah. Fuqoha’ lainnya memandang niat hanya sebagai syarat sah saja, artinya niat tidak perlu bersamaan dengan perbuatan. Jika sebelum melakukan perbuatan sudah berniat, maka perbuatan tersebut sudah di pandang sah secara syar’i.
2. Membasuh wajah.
Rukun kedua berwudlu’ adalah membasuh wajah. Dalam kaitannya dengan membasuh wajah, syara’ mengatur batas-batas wajah yang wajib dibasuh. Batas dari kanan ke kiri ( arah horizontal ) di mulai dari telinga kanan sampai telinga kiri, sedangkan batas dari arah atas ke bawah ( bujur / arah vertical ) adalah mulai tempat tumbuhnya rambut kepala sampai bawah dagu. Semua bagian wajah dan apa saja yang tumbuh diwajah selama dalam batas-batas wajah yang wajib dibasuh, wajib terkena air termasuk –misalnya – pada wajah ada rambut, bulu, kumis, jenggot yang tipis, atau misalnya ada daging yang tumbuh di wajah, juga wajib terkena air. Jenggot yang tebal tidak wajib terkena air sampai kulit, hanya cukup mengusapnya dengan air. Berbeda dengan jenggot yang tumbuh pada dagu seorang wanita atau khuntsa ( banci / waria ) jika memang ada yang berjenggot, maka jenggot tebal atau tipis wajib terkena air secara keseluruhan. Sebab jenggot tumbuh secara umum pada laki-laki, maka jika jenggot tumbuh pada seorang wanita atau khuntsa ( banci / waria ), maka hukum membasuhnya dalam berwudlu menjadi wajib karena hal tersebutlah sangatlah jarang terjadi. Jelasnya, semua bagian wajah wajib dibasuh dalam berwudlu sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh syar’i.
Di samping itu, perlu juga diperhatikan tentang adanya sesuatu yang menghalangi masuknya air ke kulit wajah, misalnya ada lem yang menempel. Sebab keberadaan sesuatu yang menghalangi masuknya air ke kulit wajah akan menjadi penyebab tidak sahnya berwudlu’. Karenanya, sebelum berwudlu’ perlu di bersihkan terlebih dahulu jika memang ada sesuatu yang bisa menghalangi masuknya air ke kulit wajah.
3. Membasuh kedua tangan dan kedua siku.
Rukun ke tiga berwudlu’ adalah membasuh kedua tangan dan kedua siku. Batas-batas yang wajib dibasuh adalah mulai ujung jari sampai diatas kedua siku. Tidak berbeda dengan membasuh wajah, apa saja yang tumbuh di tangan mulai ujung jari sampai diatas kedua siku, misalnya rambut / bulu tangan, benjolan semacam tumor / uci-uci, atau misalnya jumlah jarinya lebih dari lima, semua wajib terkena air tanpa ada sesuatu yang menghalangi terkenanya air pada kulit tangan. Termasuk pula kotoran yang menempel pada kuku, wajib dihilangkan dahulu agar tidak menghalangi masuknya air ke kulit yang ada dibawah kuku.
Pada ayat yang menjadi dasar hukum perintah berwudlu’, kewajiban membasuh kedua tangan diungkapkan dengan kata “ wa aidiyakum ila maroofiqi “, jika diterjemahkan berarti “ dan basuhlah kedua tanganmu hingga kedua siku “. Para ulama tafsir menafsirkan kata “ ila ( sampai/hingga ) “ berarti “ ma’a ( bersama ) “. Maksudnya, wajib membasuh kedua tangan sekaligus kedua siku, bukan hanya sampai siku. Sebab jika hanya sampai siku, hanya sampai pada dibawah siku, padahal kewajiban membasuh kedua tangan wajib sampai diatas kedua siku. Karenanya, ayat “ wa aidiyakum ila maroofiqi “, ditafsirkan “ dan basuhlah kedua tanganmu bersamaan kedua siku“. Karena itu pula, pengungkapan rukun ketiga dalam tulisan ini menggunakan ungkapan “ membasuh kedua tangan dan kedua siku “. Kedua siku bukan batas yang wajib dibasuh dalam membasuh kedua tangan, akan tetapi kedua siku juga wajib terkena air.
4. Mengusap sebagian kulit atau rambut kepala.
Rukun ke empat berwudlu’ ini di ungkapkan Al Quran dengan kata “ wamsahu biru usikum “ ( dan usaplah kepalamu dengan air ). Para mufassirin memberikan tafsiran ungkapan tersebut dengan “ dan usaplah sebagian rambut kepalamu dengan air “. Artinya, kewajiban melakukan rukun ke empat ini bukan berarti membasuh seluruh bagian kepala juga bukan membasuh seluruh rambut yang tumbuh di kepala, akan tetapi hanya sebagian kulit atau rambut yang tumbuh dikepala, meskipun hanya sehelai rambut. Cara melakukan membasuh sebagian kulit kepala atau sebagian rambut kepala adalah dengan membasahi tangan dengan air lalu diusapkan ke sebagian kulit kepala atau sebagian rambut. Bisa juga dengan menggunakan kain atau kayu kecil dan lain-lain yang di basahi dengan air, lalu diusapkan ke kepala. Hal yang demikian sudah dipandang sah dan cukup untuk memenuhi kewajiban membasuh sebagian kulit kepala atau sebagian rambut kepala.
Adapun membasuh keseluruhan kepala bukanlah hal yang diwajibkan syara’, akan tetapi hanya merupakan kesunnahan saja dan termasuk sunnah-sunnah dalam berwudlu’ yang insya Allah akan kita tuturkan dalam pembahasan berikutnya.
5. Membasuh kedua kaki dan kedua mata kaki.
Pembahasan tentang rukun ke lima ini tidak berbeda dengan rukun ketiga, yaitu wajib membasuh membasuh kedua kaki sampai batas diatas kedua mata kaki. Apa saja yang tumbuh di kaki mulai ujung jari sampai diatas kedua mata kaki, misalnya ada benjolan semacam tumor / uci-uci, atau misalnya jumlah jarinya lebih dari lima, semua wajib terkena air tanpa ada sesuatu yang menghalangi terkenanya air pada kulit tangan. Demikian pula kotoran yang menempel pada kuku, wajib dihilangkan terlebih dahulu agar tidak menghalangi masuknya air ke kulit yang ada dibawah kuku.
Ada perbedaan pendapat diantara para fuqoha’ mengenai rukun kelima. Sebagian berpendapat hanya wajib mengusap dengan air sebagaimana mengusap sebagian kepala, sebagian yang lain mengatakan wajib membasuh. Perbedaan pendapat tersebut berangkat dari pemahaman ayat perintah berwudlu’. Dalam ayat tersebut di sebutkan “ wamsahu biru usikum wa arjulakum ilal ka’bain “. Menurut fuqoha’ yang berpendapat wajib mengusap kedua kaki memahami ayat tersebut dengan penafsiran “ dan usaplah kedua kakimu “ sebab athof ( penggabungan ) ayat “wa arjulakum ilal ka’bain “ kepada ayat “ wamsahu biru usikum “( dan usaplah kepalamu dengan air ). Alasan mereka athof ( penggabungan ) dalam pembahasan ilmu nahwu ( tata bahasa arab ) selalu terjadi pada kalimat yang lebih dekat. Sedangkan bagi ulama yang berpendapat wajib membasuh kedua kaki, mereka meng- athof-kan ayat tersebut ( wa arjulakum ilal ka’bain ) pada ayat sebelumnya yaitu “ faghsilu wujuhakum wa aidiyakum ) sehingga penafsiran yang dihasilkan kewajiban membasuh kedua kaki dan bukan mengusap kedua kaki dengan air. Pendapat inilah yang di pegang dengan kuat oleh para fuqoha’ syafi’iyah.
6. Tartib.
Tartib di artikan dengan “ berurutan “ atau dengan bahasa yang mudah dipaham meletakkan setiap rukun diatas sesuai dengan urutannya. Atau bisa juga dengan ungkapan mendahulukan yang urutannya lebih dahulu dan mengakhirkan urutan yang memang diakhirkan.
Pengambilan kewajiban tartib ini juga didasarkan pada ayat perintah berwudlu yang kita tuturkan diatas, bahwa semua rukun wudlu’ di ungkapkan secara berurutan. Di mulai dengan membasuh wajah, membasuh kedua tangan, mengusap sebagian kepala dan terakhir membasuh kedua kaki. Semua di ungkapkan secara tartib, sehingga dari sini para ulama menyimpulkan bahwa dalam melakukan berwudlu’ wajib hukumnya dilakukan secara tartib sebab nash ilahiyah memang mengaturnya demikian. Jika dilakukan tanpa tartib dan tanpa berurutan, maka hukum wudlu’nya tidak sah dan belum diperbolehkan melakukan ibadah-ibadah yang membutuhkan wudlu’ sebagai syarat utama keabsahannya.
Demikianlah 6 rukun berwudlu menurut jumhur ulama fiqh. Sebagian kecil dari para ulama mengatakan bahwa rukun berwudlu’ ada 7 . Mereka menambahkan satu rukun lagi, yaitu adanya air yang suci dan mensucikan. Mereka menganalogikan dengan tayammum sebagai pengganti wudlu’ ketika tiadanya air. Tayammum tidak akan sah tanpa adanya debu yang suci, demikian pula berwudlu, tidak mungkin terjadi jika tidak ada air yang suci dan mensucikan. Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh jumhur ulama. Argumentasi mereka bahwa tayammum adalah cara bersuci yang tidak kuat, posisinya hanya sebagai pengganti wudlu’ ketika wudlu’ tidak mungkin dilakukan karena beberapa sebab, dan memang wajib menggunakan debu. Argumentasi lainnya bahwa air tidak hanya digunakan untuk berwudlu, tetapi juga digunakan untuk mensucikan najis dan mandi besar, sehingga posisinya hanya sebagai syarat sah saja bukan menjadi rukunnya berwudlu’. Berbeda dengan debu, debu hanya khusus digunakan untuk tayammum.
Dengan demikian, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wudlu’ hanya ada enam, bukan tujuh sebagaimana pendapat sebagian kecil ulama, yaitu niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai batas diatas siku, mengusap sebagian kepala/rambut kepala, membasuh kedua kaki sampai diatas mata kaki dan tartib, yaitu melakukan semua rukun diatas secara berurutan dan sesuai dengan penempatannya. ( Bersambung...)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar