“We should not forget that the US it self is a leading terrorist state.”
(Prof. Noam Chomsky, pakar linguistic pada the Massachussets Institute of Technology”)
Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky : Lebih jahat dari Tangan Teroris”. Profesor linguistic di MIT itu menyimpulkan,”Pengeboman atas Afganistan ( oleh pasukan Sekutu yang dipimpin AS ) adalah kejahatan yang lebih besar daripada terror 11 September.”Pendekatan Barat terhadap konflik Afganistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. “ AS adalah terdakwa Negara teroris,” tegas Chomsky.
Dalam sebuah wawancara dengan Koran Yediot Aharonot, 26 Mei 1974, Ariel Sharon menyatakan,” Kita harus selalu menyerang, menyerang, tanpa henti. Kita harus menyerang mereka di mana pun adanya. Di dalam negeri, di negeri Arab, dan bahkan di seberang lautan sekalipun. Semuanya pasti dapat dilakukan.”
Tepat 6 tahun sudah peristiwa 11 September, namun tuduhan sebagai sumber terorisme terus menyatroni negeri muslim. Itulah paradoks yang disebarkan Barat melalui media massa yang tentu saja membuat para pemimpin di Negara muslim seolah berlomba untuk “ membersihkan” negara mereka dari apa yang namanya “ Terorisme dan Radikalisme”. Berbagai cara dan undang-undang dibuat untuk menjaring masyarakat yang dianggap melakukan tindakan teroris, tanpa memberikan definisi yang jelas dari terorisme atau radikalisme. Sehingga, seolah-olah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pihak pemerintah untuk menindak siapa saja yang dianggap bertentangan dengan mereka. Mengutip harian Al-Syarqul Awsath, menulis, bahwa bukan saja belum mampu mengatasi aksi terorisme atau radikalisme, Amerika Serikat bahkan banyak menimbulkan masalah baru karena konsep terorisme melebar kemana-mana. Harian itu mengingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. “Mendefinisikan terorisme merupakan satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang yang melelahkan,” demikian laporan harian terbesar Arab itu.
Sebenarnya, bagi masyarakat dunia penyerangan atas dua negara muslim ( Afganistan dan Irak ) cukup menjadi pelajaran bahwa apa yang selama ini diserukan Amerika Serikat bohong belaka. Dengan maksud memberantas terorisme dan senjata pemusnah massal, Amerika malah memberantas penduduk sipil, tentu saja tidak tanggung-tanggung Amerika “menghadiahi” penduduk Afganistan dan Irak dengan peluru-peluru kendali Tomahawk/Particle Canon. Sehingga korban yang ditimbulkan melebihi dari korban gedung WTC. Masih teringat dalam benak setiap muslim pasca perang Irak ketika Presiden Amerika George W. Bush Jr berpidato dihadapan pasukannya yang berkekuatan 100.000 orang lebih dengan dukungan berbagai peralatan canggih, menyatakan bahwa perang Irak merupakan Perang Salib (The Crusade), sejatinya Bush tidak sedang terpeleset lidah sebagai Kristen fundamentalis yang menganggap dirinya terlahir kembali (reborn).
Ironis memang, sepanjang sejarahnya dalam menjalin hubungan Islam-Barat, Barat selalu menggunakan dua wajah. Satu, wajah yang baik, yang bersahabat, khususnya terhadap kelompok Muslim yang bersikap “manis” dan mau mengikuti pikiran dan kehendak Barat. Yang lain adalah pendekatan konfrontatif, khususnya terhadap kaum Muslim yang menentang Imperialisme Barat. Di zaman kolonialisme klasik, mereka yang melawan penjajah disebut sebagai “pemberontak’, “ekstremis”, dan sejenisnya. Di lapangan, pengertian “terorisme, radikalisme, militan, fundamentalisme”, tidaklah jelas dan sangat bias, tergantung kepentingan. Bernard Lewis dalam bukunya The crisis of Islam menyatakan, bahwa Fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. Kemudian Francis Fukuyama juga mencatat: “Islamis radikal, yang tidak toleran terhadap semua bentuk keragaman dan suara yang berbeda, telah menjadi kaum fasis di zaman kita. Merekalah yang sedang kita lawan. Dari kedua definisi (Lewis dan Fukuyama) tentu saja sangat bias dan kenyal untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Seolah-olah mereka menyimpulkan setiap Muslim yang mencoba mengkritik Barat atau menolak Hegemoni Barat maka mereka bisa saja dianggap teroris atau radikal.
Dari kedua definisi diatas akan timbul pertanyaan, apakah ”kebaikan” Amerika yang memberikan kiriman “parcel” dalam Perang Teluk, 1991, untuk Irak berupa 88.000 ton bom ( setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima ) tidak pantas untuk disebut “militan Kristen”, Mengapa Ariel Sharon yang jelas-jelas bertanggung jawab atas pembantaian Shabra-Shatila tidak disebut sebagai “ militan dan teroris Yahudi”, Mengapa pembantaian yang dilakukan oleh Serbia dibawah pimpinan Presiden Slobodan Milosevic terhadap kaum Muslimin di Bosnia-Herzegovina yang menelan korban “Hanya” 200.000 orang tidak disebut sebagai “radikalisme kristen”, malah divonis bebas oleh Mahkamah Internasional, Mengapa Mahkamah INQUISISI, 1450-1800, yang “hanya” membantai dua-empat juta lebih kaum Heretics ( kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja ) di dataran Katolik maupun Protestan Eropa dalam sejarah tidak disebut sebagai “ militan Kristen”?
Prof. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Pennsylvania, dalam bukunya The Real Terror Network ( 1982 ) menulis, dunia mengutuk “retail violence” (kejahatan eceran) tetapi mendiamkan “wholesale violence” (kekerasan borongan) yang diusung oleh kekuataan negara, semata-mata hanya karena faktor ketidakberdayaan. Ahmad Yassin dicap sebagai terroris dan militan oleh Israel. Karena itu ia boleh dibunuh kapan saja. Tanpa pertanggungjawaban apa-apa.
Kerancuan, mungkin itu kata yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Tanpa menentukan definisi yang tepat dan disepakati oleh setiap negara, Barat terus mengembor-gemborkan kata teroris, radikal, militan, fundamentalis diberbagai media massa. Kerancuan definisi tersebut makin diperparah dengan pemberitaan Media massa yang selalu menambahkan embel-embel terorisme, militant, fundamentalis, radikalisme dalam kaitannya dengan Islam, sebagai contoh Harian Kompas menggunakan istilah yang beragam untuk Abu Sayyaf, yaitu ( 1 ) “kaum militan”, seperti yang ditulis dalam tajuknya (20 Juni 2002),” Dalam kasus penculikan awal pekan ini segera terlihat betapa berbahayanya kegiataan kaum militan di Filipina Selatan.” (2) “ Gerilyawan Separatis “. Ditulis dalam tajuk Kompas,” peristiwa perampokan hari Senin 17 Juni berlangsung di wilayah dan perairan yang selama ini dikenal dikuasai gerilyawan separatis Abu Sayyaf.” (3) “Kelompok Gerilya Muslim”, seperti yang ditulis dalam berita Kompas (19 Juni 2002),”…Noble Energy yang berpangkalan di singapura telah mengidentifikasi para penculik itu sebagai anggota Abu sayyaf, kelompok gerilya Muslim yang diketahui beberapa kali melakukan penculikan, termasuk orang asing.” Namun pada saat yang sama Kompas tidak menyebut “teroris Yahudi” pada Israel yang membantai Muslim Palestina dan “pembantai kristen” pada tokoh-tokoh kristen pelaku pembunuhan dan terorisme di Serbia, atau Timothy McVeigh yang membom gedung WTC di Oklahoma City tahun 1996 sebagai “separatis kristen”. Jadi, secara sadar atau tidak sadar seolah-olah media massa telah menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan AS dan sekutunya untuk membentuk opini buruk terhadap Islam bagi masyarakat dunia. Media massa yang seharusnya menjadi sumber berita yang tidak timpang sebelah, kini malah ikut-ikutan tidak objektif dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Kepentingan, kata kedua yang tepat untuk Amerika dan sekutunya. Seperti kita ketahui setelah berakhirnya Perang Dingin ( Cold War ) dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet Barat seperti membutuhkan rival untuk mempertahankan kepentingan legitimasi dan eksistensi ideologi mereka. Dalam bukunya The Clash of Civillization Huntington (penasihat politik luar negeri AS) menguraikan beberapa faktor mengapa hubungan Barat-Islam selalu panas, diantaranya; Pertama, runtuhnya komunisme telah menggeser musuh bersama diantara Islam dan Barat dan masing-masing merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kedua, meningkatnya interaksi antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Bahkan, papar Huntington, dalam kedua masyarakat –Islam dan Barat—sikap toleran terhadap yang lain telah merosot tajam pada dekade 1980-an dan 1990-an.
Dulu, ketika Uni Soviet belum runtuh Barat dan Islam mempunyai musuh yang sama yaitu komunis, tapi sekarang Islam menjadi musuh utama Barat. Dalam bukunya Who Are We? Huntington menulis satu sub-bab berjudul “ Militant Islam vs America “, yang menekankan bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Dalam bukunya Huntington menjelaskan bahwa Islam militan bukan hanya Osama bin Laden ( Al-Qaeda ), tapi juga kelompok-kelompok Islam lainnya yang bersifat negatif atau kritis terhadap AS. Masih banyak lagi ilmuwan neo-konservatif yang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer dan lainnya. Keinginan untuk menjadi penguasa tunggal itulah cita-cita AS. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, maka segala cara akan ditempuh walau harus menyerang negara lain. Perang, mungkin itu solusi yang tepat menurut AS untuk mempertahankan eksistensinya yang seolah selalu dalam keadaan terancam. Selain itu satu hal yang mungkin bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa negara-negara besar seperti AS dan sekutunya merupakan produsen senjata pemusnah manusia. Tentunya tanpa adanya perang para pialang produsen senjata besar akan dirugikan dan perlu menjadi catatan para pialang tersebut mempunyai jaringan internasional. Begitu kuatnya lobi mereka sehingga pemerintahan negara super power seperti AS keok dan bisa dipaksa untuk melakukan penyerangan terhadap negara lain seperti Afganistan dan Irak. Kelompok lobi ini dikenal dengan Neo-Konservatif atau “Wolfowitz cabal”, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis (New Christian Right), dan ilmuwan neo-orientalis.
Ahli dalam menciptakan “mesin pemusnah massal”, adalah julukan yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam bukunya, Cold War, mencatat, antara tahun 1945-1996, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan diseluruh dunia. Persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Belum lagi instalasi militer yang dimiliki AS mencapai 1.700 yang tersebar di 100 negara, yang menurut Chalmers Johnson, mencerminkan satu bentuk baru imperialisme. Sebagai catatan, pusat-pusat pengembangan nuklir sebagian besar berpusat di AS dan sekutunya, coba bandingkan dengan negara arab yang dituduh sebagai sumber teroris, tak satu pun dari mereka yang memiliki pusat pengembangan nuklir malah mereka menjadi konsumen setia senjata AS dan Sekutunya. Dengan bermodalkan pepatah Latin “sivis pacis para bellum” (Jika anda menginginkan perdamaian, maka siapkanlah perang), AS dan sekutunya terus memproduksi mesin perang pemusnah manusia.
Mengutip ungkapan Prof. Hunter Wade dari London School of Economics, yang menyebut Amerika dan tindakannya sebagai “ unbalanced world”, kemudian dengan manis Noam Chomsky menjelaskan bahwa Amerika diposisikan sebagai “Kaisar” yang memburu “bajak laut”. Kemudian Chomsky menyebut Amerika dan Israel sebagai “dua Negara yang dipimpin oleh dua komandan teroris dunia”. “Sang Kaisar” yang mengacau samudera, dengan kapal raksasa, membunuhi jutaan orang dan melakukan kekejaman dimana-mana (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “wholesale violence “) tetap diberi julukan mulia, yakni “Kaisar”. Sementara “bajak laut” yang melakukan kekerasan kecil-kecilan (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “retail violence’ sudah dicap sebagai “teroris”, yang wajib “diperangi dan “dimusnahkan”. Orang-orang yang mau menjadi “hamba Sang Kaisar” juga diberi kedudukan dan anugerah mulia, dalam istilah Arie Fleisher, jubir Gedung Putih, disebut mendapatkan “carrot”. Sebaliknya, orang-orang yang pernah atau punya hubungan dengan “sang bajak laut” diberikan “hukuman”, yang dalam istilah Fleisher disebut sebagai “stick”.
Keuntungan, kata ketiga yang pas kita berikan bagi Amerika dan sekutunya ( Barat ). Sadar atau tidak sebenarnya dunia Islam sedang dihadapkan pada hidangan yang begitu “lezat” tapi penuh dengan kebusukan. Hidangan itu bernama Westernisasi, atau yang dikenal dengan 3 F & 1 T ( food, fun, fashion, and Thought ). Melalui makanan, hiburan, dan mode warga dunia disuguhi Coca-Cola, KFC atau MCDonald’s, musik AS, dan berbagai trend mode yang ditampilkan artis-artis top dunia. Melalui Thought ( pemikiran ) mereka menyuguhi Sekulerisme dan Liberalisme yang nyata-nyata telah gagal di Barat, sehingga menyebabkan mereka maju dibidang teknologi dan hancur dari segi moral. AS dan Barat mengalami “Evolusi Nilai” atau “Relativitas Nilai” yang berdampak kaburnya nilai-nilai moral. Tanpa disadari, Barat sekarang terjebak dalam lingkaran setan berbagai masalah kesehatan dan sosial. Sebagai contoh, atas dasar “suka sama suka” perzinahaan dianggap hal biasa, sedangkan korupsi dipandang sebagai kejahatan serius. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan dosa, sedangkan poligami dianggap sebagai kejahatan. Ironis memang, tapi kalau fenomena pemikiran seperti ini sudah timbul dan menjamur dimasyarakat, maka nilai moral agama akan hancur dan memasuki lingkaran setan kebingungan yang tiada ujung. Belum lagi tren mode dan maraknya dunia hiburan. Gemerlap dunia showbiz seolah mengajak manusia untuk tidak menggunakan akal sehat, karena kalau manusia menggunakan akal sehat, maka akan menghambat laju proyek besar di dunia hiburan. Hidup adalah kesenangan, mungkin itulah motto dunia hiburan, sebagaimana yang diajarkan filsafat Epicureans di zaman Yunani Kuno. Dengan dasar “kebebasan bereskpresi” adalah “standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat”.
Dari tiga pembagian diatas, kita akan mengerti siapa yang sebenarnya pas untuk disebut teroris, radikal, fundamentalis, separatis, atau yang berkonotasi buruk lainnya. Sebagai Muslim yang baik sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu kritis terhadap berbagai masalah. Bukan hanya sebagai konsumen pemikiran atau penganut pemikiran dan gaya hidup glamor, tapi ambil yang baik dan kritisi yang bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral. Seolah memetik mawar, maka yang kita ambil hanya mawarnya tanpa harus mengambil durinya sehingga membuat tangan kita terluka.
Terakhir, kami ingin mengutip ungkapan Wiliam Blum yang mengajukan konsep sederhana untuk mengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS dan sekutunya. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS sudah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Ketiga, memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 miliar USD per tahun. Terakhir, lanjut Blum, “On the fourth day, I’d be assassinated ( pada hari keempat saya akan dibunuh ).
Wallahu’allam bishowab.
Sumber : Website PPI Syria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar