Selasa, 24 Juni 2008

Artikel dari Situs Nu Syria

DILEMATIKA REALITAS vis a vis REALITAS HUKUM( sebuah pencermatan lokalitas sejarah ) Oleh: Abdul Latif Malik*

Introduksi

Setelah 23 tahun menyampaikan risalah kenabian, Nabi Muhammad Saw menghadap ke hadirat Allah Swt. Dalam periode kenabian tersebut, secara absolut diakui bahwa transformasi peradaban telah tuntas dan gemilang dengan terwujudnya perubahan pada komunitas Arab yang sebelumnya selalu berbangga dengan lokalitas tradisinya (baca; ultra nationalism), sehingga selalu terpuruk dalam bulan-bulanan imperialisme Romawi atau Persia, berubah menjadi komunitas masyarakat yang berkesadaran “being the cociety.” Semua itu adalah karunia Allah Swt kepada alam semesta yang telah mengutus Nabi Muhammad Saw denga risalah Islam yang universal sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Dan tidaklah Kami mengutus engkau ( Muhammad SAW) kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.”


Kepergian Nabi Muhammad Saw setelah menyampaikan risalahnya ini tentu merupakan jaminan bahwa semua amanat kenabian telah disampaikan kepada umat manusia sebagaimana terabadikan dalam firman Allah Swt :

“Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku sempurnakan bagi kalian nikmat-Ku dan Aku relakan Islam sebagai agama kalian.”

Lain dari itu, Nabi Muhammad Saw juga telah menggariskan kepada para pengikutnya agar terhindar dari kebinasaan personal atau pun peradaban. Hal ini sebagaimana terekam dalam wasiatnya :

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua perkara yang apabila kalian selalu berpegang teguh dengan dua perkara tadi maka kalian tidak akan tergelincir selamanya, yaitu Al- Qur’an dan Suri tauladanku.”

Dialektika suksesi kepemimpinan : antara justifikasi teks dan konteks.

Ibn Khaldun seorang raksasa sosiologi dunia, dalam Mukaddimah-nya menyampaikan bahwa tidak ada polemik yang paling berdarah kecuali polemik dalam masalah kepemimpinan. Menyelami logika empiris ini, seharusnya kita bisa memahami idealisme Syi’ah yang mendasarkan segala konstruk pemikirannya kepada episteme kepemimpinan (baca: Al-Imamah), selain episteme enam rukun iman yang lain. Selanjutnya, dengan dasar tambahan episteme ini, kaum syi’ah membangun segala produk teologi, filsafat, hukum atau pun etika Islam. Tetapi hal ini bukan berarti sebuah keniscayaan mutlak yang otomatis segalanya akan menjadi hitam-putih. Sejarah membuktikan kepada kita bahwa seringkali idealisme terbentur oleh realitas politik yang selanjutnya akan berimplikasi kepada realitas hukum pula. Kepergian Rasulullah Saw yang begitu dicintai para pengikutnya menimbulkan sedikit gejolak “sindrom of patronase” bagi para Sahabat dan terlebih para Ahlul bait, sehingga ditengah suasana duka yang sangat dalam, para pembesar sahabat dari kaum Ansor berinisiatif untuk memilih secara demokratis pemimpin diantara mereka. Kaum Anshor yang merupakan pembela garda depan pasukan Rasulullah di segala medan pertempuran masih sedikit khawatir jikalau estafet kepemimpinan politik ( baca : patron of power) berada di tangan kelompok Quraisy yaang noto benenya banyak diantara pembesar mereka merupakan rival kenabian yang begitu dijunjung kaum Anshor.

Kekhawatiran ini segera sirna total begitu Sayyidina Abu Bakr As Shiddiq datang dan segera maju membawakan khutbahnya yang bersejarah, karena mampu menuntaskan kegelisahan kaum Anshor. “Saya tidak akan mengajukan diriku sebagai pemimpin diantara kalian” demikian Sayyidina Abu Bakar As Shiddiq r.a, memulai khutbahnya, “Tetapi Quraisy yang telah dimuliakan Allah Swt dengan kesetiaan sejak awal kepada Rosulullah sungguh sudah selayaknya menjadi pemimpin diantara kalian, dan saudaraku kaum Anshor akan begitu mulia apabila rela menjadi para pendamping kami dalam meneruskan perjuangan Rosulullah”, demikian kurang lebih khutbah Abu Bakar. Kaum Anshor segera bisa menerima logika Abu Bakar yang secara radikal mampu melenyapkan kegelisahan kaum Anshor sebelumnya. Serta merta Abu Bakar menyusul dengan kalimatnya, “Saya ajukan kepada kalian diantara dua sahabat agung kita, Umar Ibn Khattab yang telah kalian ketahui keadilanya atau Abdullah bin Jarrah yang telah engkau ketahui ke-'wara'-annya.” Secara tegas Umar maupun Abdulah Ibn Jarrah menyerukan kepada khalayak “Sungguh kami tidak akan ridlo menjadi pemimpin sedangkan di antara kita ada engkau wahai Abu Bakar As Shiddiq..!”. Seketika itu secara aklamasi terpilihlah Sayyidina Abu Bakar Ashiddiq sebagai pemimpin atas desakan realita dan demi stabilitas umat. Dengan berat hati Sayyidina Abu Bakr menerima amanat ini.

Sampai di sini, jika memang kita bisa menganggap bahwa itu adalah realitas politik, maka sungguh epos “Tsaqifah bani Sa’idah” menunjukkan kepada sejarah bahwa tidak selamanya realitas politik akan secara diametral berlawanan dengan idealisme hukum. Memang sebagaimana kita ketahui, bagi sebagian besar umat Islam (baik itu dari sunnah amaupun syi’ah) Imam Ali bin Abi Thalib merupakan figur ideal penerus estafet kepemimpinan umat Islam pasca Rasulullah. Bahkan, secara esensial kaum syi’ah mengklaim bahwa idealisme ini bukan sekadar berpijak pada logika belaka, tetapi juga berlandaskan pada causa hukum dengan menafsirkan hadist Ghadir Quum sebagai clear statement Rosulullah atas ke-wilayah-an Ali bin Abi Thalib r.a. Tetapi, sekali lagi, realita sejarah tidak selamanya sesuai dengan idealisme hukum. Karena selanjutnya, realitas politik juga pada gilirannya akan mengambil posisinya sebagai realitas hukum pula. Thesa ini semakin diperkuat dengan indikator kesediaan Sayyidina Ali r.a, untuk menerima kepemimpinan Abu Bakar As Shiddiq r.a.

Fragmentasi politis Syi’ah-Sunnah adalah lokalitas sejarah.

Jika kita berpikir secara jernih dan menjauhkan diri dari pretensi fanatisme apa pun, maka dari pembacaan sejarah akan menunjukkan kepada kita bahwa segala macam konfrontasi pemikiran antara umat muslim akan selamanya bisa “didamaikan” dalam komunitas kaum ulama melewati perdebatan buku-bukunya. Realita akan berbicara lain sehingga seringakali harus menumpahkan darah apabila perbedaan itu berselingkuh dengan kepentingan politis pencapaian kekuasaan.
Kita tidak perlu jauh memutar ulang sejarah untuk mampu melihat hal ini. Saat ini, penulis berani memastikan bahwa, konflik berdarah yang sedang terjadi di Iraq, Pakistan, ataupun Afganistan diantara umat Islam adalah sungguh bukan dikarenakan perbedaan ideologi pemahaman agama yang secara real terfragmentasi pada Sunni-Syi’ah ataupun Sufi-Salafi. Terbukti, sejak berabad-abad yang lampau pluralitas masyarakat muslim Iraq tidak pernah mengakibatkan konflik berdarah sebagaimana yang saat ini terjadi. Sebelum kita menyalahkan intervensi imperialisme Amerika-Israel, seharusnya kita harus intropeksi mengapa kita mau diintervensi? Jawaban nyata dari pertanyaan ini adalah terletak pada kepentingan kekuasaan yang seringkali dibungkus dengan ideologi madzhab sebagai justifikasi publik.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini berarti umat Islam tidak diperkenankan menjadi pemimpin untuk sebuah kemaslahatan? Islam sangat merekomendasikan umatnya untuk bermasyarakat dan itu artinya harus ada yang menjadi pemimpin. Sebuah kaedah mengataka ”La Islam illa bi jama’atin wa jama’ata illa bi imarotin wa imarota illa bi tho’atin.” Sebagai support atas hal ini, bahkan sebuah hadist Rosulullah menyatakan bahawa pemimpin yang adil adalah salah satu dari tujuh kelompok yang mendapatkan jaminan perlindungan Allah pada hari akhir.
Selanjutnya, terkait dengan fenomena ini, konsep ahlusunnah wal jamaah dengan al wasatiyah-nya menyampaikan bahwa sebuah fakta stabilitas yang berkeadilan akan selanjutnya otomatis menjadi fakta hukum, sehingga tugas ke-khalifah-an manusia di muka bumi segera bisa terealisasi, karena manusia tidak tersibukkan dengan konflik kekekuasaan an-sich.
Dalam hal ini sepatutnya umat Islam menyelami kedalaman sebuah teks hadist Rosulullah Saw yang berbunyi : “Kun imaman muti’an au ma’muman mutho’an wa latakun tsalisan min huma, fa tahliku wa tuhlik.”

Membuka kembali luka sejarah masa lampau sama sekali tidak akan menghasilkan apa pun selain rasa permusuhan dan dendam yang sebenarnya justru telah dituntaskan secara elegan oleh para tokoh pemimpin kita masing-masing saat itu. Apabila kita jumpai beberapa riak konflik itu sekali lagi tidak lebih dari fragmen lokalitas sejarah yang perlu kita ambil hikmahnya.


Monolitas kebenaran dalam bingkai pluralitas ideologi pemikiran.

Sejauh seorang atau sebuah komunitas muslim tidak mengeluarkan dirinya dari kelompok agama Islam, atau berperilaku dan berpikir yang secara niscaya berlawanan dengan ajaran Nabi Muhammad Saw, maka mereka adalah tetap umat Islam yang dijamin darahnya di dunia dan jaminan surga di akhirat.
Menafsirkan hadist 73 golongan, seringkali kita menemukan sebagian ulama terjebak dalam klaim kebenaran yang menyesatkan sehingga kita terlena dengan tugas kekhalifahan dunia. Pemahaman fundamental ini perlu kita camkan secara seksama dalam segala lapisan komunitas umat dan terutama dari kalangan pemimpin kita karena terbukti sebenarnya pemahaman yang keliru dari sebagian pemimpin kita justru mengakibatkan umat selalu terkotak-kotak dalam konflik klaim indentitas yang tidak perlu, sehingga menyebabkan pertumpahan darah. Penulis dalam hal mengikuti secara total logika Prof. Dr. Muahammad Said Romadlon Al-Bhouty dalam menafsirkan hadis 73 golongan ini. Dalam pembacaan Al-Qur'an, Al-Bhouty menegaskan bahwa umat Islam adalah tunggal, dalam arti semuanya membaca Al-Qur'an sebagai petunjuk atau wahyu. Tetapi, sebagaimana maklum adanya, realitas yang ada menunjukkan bahwa umat muslim terbagi dalam dalam beberapa kelompok besar, antara lain Sunny, Syi'i dan Mu'tazilah. Di sini, sama sekali Al-bhouty tidak khawatir disebut inkonsisten saat melegalisasikan adanya perbedaan tersebut. Perbedaan ini, bagi Al-Bhouty adalah sekedar perbedaan pemahaman dalam rangka penerapan wahyu sebagai petunjuk dan bukan perbedaan pembacaan atas eksistensinya. Perbedaan pemahaman, bagaimana pun adanya, adalah wajar terjadi dan dalam tataran tertentu justru direkomendasikan oleh Al-Qur'an itu sendiri, sepanjang pembacaan yang dilakukan masih dengan methode yang sama ( ushul fiqh/ ushul din). Dalam hal ini Al-Bhouty secara tegas dan simultan mempertahankan pemahaman ahli sunnah wal jama'ah sebagai pemahaman yang rasionalis. Jika persepsi banyak pemikir mengatakan bahwa Mu'tazilah adalah pengusung akidah yang rasional, maka lewat beberapa karyanya, Al-Bhouty menegaskan bahwa perbedaan pemahaman yang terjadi hanyalah ikhtilaf lafdziah. Patut dicatat, implikasi dari beberapa point perbedaan antara ahli sunnah wal jama'ah dan Mu'tazilah sama sekali tidak menjadikan adanya keharusan saling mengkafirkan. Beberepa point fundamental, yang sering disalah pahami sebagian pemikir sebagai keniscayaan dan peluang saling 'mengkafirkan' antara paham ahlusunnah dan mu'tazilah, diulas secara mendalam dan rasional oleh Al-Bhouty, seperti masalah perbuatan makhluq, posisi Al-Qur'an antara sifat qodim dan hadistnya, kemampuan manusia melihat Alla di hari qiamat, dsb. Semuanya diurai oleh Al-Bhouty dengan seksama tanpa ada peluang, celah maupun potensi keharusan mengkafirkan yang lain.

Saat banyak pemikir Islam kebingungan dalam memahami hadist yang mengindikasikan umat Nabi Muhammad akan terpecah dalam 73 golongan dan hanya satu golongan diantara mereka yang selamat, maka Al-Bhouty dengan cermat membaca hadist itu sebagai suatu keniscayaan. Dalam redaksi hadist tersebut sangat jelas sekali bahwa yang terpecah menjadi 73 golongan, dan hanya satu yang selamat. Itu bukan umat Islam, tetapi umat Nabi Muhammad. Berbeda dengan umat Nabi Musa dan umat Nabi Isa saat itu, yang terpecah adalah kaum yang percaya dengan agama yang dibawa keduanya, sedangkan redaksi "sataftariqu ummati", berarti bahwa semua kaum yang datang sejak dan pasca kenabian Muhammad Saw akan terpecah menjadi 73, dan hanya satu yang selamat adalah umat Muslim atau yang percaya dengan kenabian Muhammad.

Dari pemahaman konprehensif Al-Bhouty seperti ini, sama sekali kita tidak perlu khawatir akan terjadinya hegemoni truth claim sebagian golongan atas golongan yang lain. Karena semua golongan dalam pemahaman Islam adalah dijamin eksistensinya oleh rasulullah sebagai ummatul ijabahnya, asal, sekali lagi, mereka selalu berjalan dalam rel-rel pembacaan akidah yang sama, yaitu sebagai petunjuk kehidupan.


Persatuan internal umat Islam dan tugas kekahlifahan di dunia.

Abad XXI seringkali disebut sebagai abad kebangkitan kembali umat Islam. Kabar gembira ini banyak disampaikan oleh beberapa ulama besar Isl m dengan berlandaskan pada bisyaroh yang mereka terima dari Allah Swt melalui intuisi hatinya. Bukan sekedar itu, analisa seperti ini juga sering kita dengar dilontarkan oleh banyak ilmuan sosial barat yang notobenenya mereka hanyalah berpijak pada analisa empirik. Beberapa diantaranya menyampaikan prediksi ini secara samar -dengan mencoba mengalihkannya kepada dominasi hegemoni peradaban barat- sehingga justru semakin menunjukan “ketakutan” mereka atas hal ini. Francis Fukuyama, seorang futurolog, dalam bukunya yang berjudul “Akhir Sejarah” menegaskan bahwa kepemimpinan peradaban barat yang materialis dengan keunggulan demokrasinya adalah realita tak terbantahkan dan akan terus menjadi panutan sejarah. Dengan kata lain, demokrasi adalah prasyarat mutlak bagi kemungkinan perabadan-peradaban di dunia untuk bisa eksis, sehingga, pada saat Barat sekarang telah terbiasa dengan demokrasi maka barat-lah yang akan selamanya leading memimpin peradaban-peradaban lain di dunia. Mengaitkan dengan “bisyaroh” diatas, terlihat jelas bahwa Fukuyama -dengan sengaja atau tidak- telah memotong konsekwensi logisnya kepada salah satu causa, yaitu demokrasi. Padahal, demokrasi adalah sekedar – jika bukan salah satu dari beberapa- alat terakhir yang harus dilalui manusia untuk membangun peradaban. Selanjutnya, ghoyah manusia dari wasilah demokrasi adalah pencapaian secara bersama-sama kebenaran tertinggi akal manusia tanpa ada reserve dan intimidasi, dan itu lah agama Islam yang pada lima belas abad yang lalu disampaikan kepada kita oleh Junjungan Nabi Muhammad Saw. Celah ini semakin terlihat kentara jika kita menelaah hipotesa Samuel P. Huntinton pada tahun 1991 dalam bukunya “The Clash of Civilisation”, lima tahun setelah thesa Fukuyama hadir. Saat ini, demikian Huntington mengungkapkan, tiga peradaban besar dunia, yaitu barat, konfusianis dan Islam sedang bertarung merebut kelayakan sejarah. Banyak ilmuwan menolak pemaparan Huntinton ini, tetapi menerima ataupun menolak adalah tetap saja menghasilkan bahwa Islam akan segera memayungi penghuni dunia yang telah letih akibat ambisi materialisme.

Pertanyaan mendasar yang segera menyeruak adalah benarkah umat Islam telah siap memimpin komunitas dunia? Tulisan singkat diatas dihadirkan untuk mencoba menyelami sejauh mana kondisi internal umat muslim dewasa ini dalam relevansinya dengan tugas kepemimpinan umat manusia di dunia.


Wallahu a’lam bisshowab.




1. Lihat, Al Insan Musayyar au Mukhayyar, Prof DR. Muhammad Said Romadlon Al Bhouty,
2. Contoh dari perbedaan pemahaman bisa dibaca dalam uraian tentang sifat Kalam bagi Alloh, lihat dalam "Kubro al Yakiniyyat al Kauniyyah" hal.126.
3. Dari sini, al bhouty seringkali tak mampu memendam kegeramannya kepada sebagian golongan kaum muslimin yang dengan pemahaman akidahnya serta merta mengkafirkan golongan lainnya. Bahkan albhouty seringkali merasakan bahwa justru karena golongan seperti inilah peluang kebangkitan ummat selalu tersendat-sendat. walaupun golongan tersebut terlihat banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan fisik ummat, tetapi kontribusi mereka secara hadloroh adalah penghambatan atas kebangkitan. Mengapa?, karena akibat provokasi golongan tersebut, ummat muslim selalu terseret kedalam putaran konflik identitas internal.
4. Dalam therminologi 'ummat' terbagi menjadi dua, ummatutda'wah dan umatulijabah. Ummat al ijabah adalah kaum nabi yang percaya dengan kenabian nabi tersebut, sedangkan ummat al da'wah adalah kaum yang dimana nabi diutus untuk berdakwah kepada mereka. Dengan pembagian ini, berarti yang terpecah menjadi 73 golongan adalah ummat al da'wahnya, yang mencakup kaum Hindu, Bhuda, Kristen, Yahudi, Kong hu cu dst, dan hanya satu yang selamat adalah yang percaya kenabian Nabi Muhammad SAW yaitu ummat Islam atau ummat alijabah. Keterangan ini didapat penulis dari al Bhouty saat pengajian rutin malam Selasa-an


* Makalah ditulis oleh Abdul Latif Malik, mantan Ketua Tanfidziah PCI NU Syria 2004-2006, untuk diskusi Refleksi Pemikiran ASWAJA yang diselenggarakan oleh Panitia Konferensi Cabang Istimewa Syria PCI NU 2006 dalam rangka Pelantikan Kepengurusan PCI NU Syria-Lebanon 2006-2008. Damaskus, 23 Desember 2006.

Sumber : Situs NU Syria

Minggu, 22 Juni 2008

Aleppo Citadel
















Location : Aleppo, Syria
Date : 10th to 15th century
Style/Period : Ayyubid, Hamdanid, Mamluk
Centuries : 10th, 12th, 13th
Building Type : military
Building Usage : citadel
Keywords :777 core monuments


The Citadel of Aleppo is the most prominent historic architectural site in Aleppo. It was recognized as a World Heritage Site by UNESCO in 1986. Its majestic stature forms the center of the city; in fact the city wraps around it extending a spider-like infrastructural web of streets forming the city's organic urban form.

The Citadel has an elliptical base with a length of 450m and width of 325m, at the top this ellipse measures 285m by 160m with the height of this slanting foundation measuring 50m. The entire mound was covered with large blocks of gleaming limestone that unified the built structure with the hill thus increasing its visual scale. It was also surrounded by a moat filled with water to protect against intruders. The Citadel hovers over the city in a uniqueness that rivals the larger Citadel of Cairo and the more massive Citadel of Damascus.


Although the Citadel is an Islamic landmark, archeological digs have uncovered Roman and Byzantine ruins dating back to the 9th century BC. The Citadel was originally a Neo-Hittite acropolis built on a natural hill; this provided a strategic site for a military fortress to guard and protect the surrounding agricultural areas.


Sayf al-Dawla (944-967), the first Hamdanid ruler of Aleppo, built the fortress and used the citadel as a military center of power over his region. Zangid ruler Nur al-Din (1147-1174) fortified the citadel and added some structures such as the Small Mosque of the Citadel. But it wasn't until Ayyubid period during the reign of the Sultan al-Zahir al-Ghazi of Aleppo (1186-1216) that the Citadel went through major reconstruction, fortification and addition of new structures that create the complex of the Citadel in its current form. During the first decade of the thirteenth century the citadel evolved into a palatial city that included functions ranging from residential (palaces and baths), religious (mosque and shrines), military installations (arsenal, training ground defense towers and the entrance block) and supporting elements (water cisterns and granaries).


A particularly significant addition during al-Ghazi's reign is the Great Mosque of the Citadel that was built in 1214. Its situation at the highest point of the Citadel, with its towering minaret that is 21m high, extended both the citadels visibility and its defense to greater distances. Here the minaret begins to play a religious and military role; this duality merges the virtues of power and piety in the icon of the Islamic faith.


The most prominent renovation is the entrance block that al-Ghazi rebuilt in 1213. Eight large arches structure the bridge that leads up to the Citadel over the moat. It is punctuated at the bottom by a defense gate with two towers and at the top of the ramped bridge by the Gate of Serpents and the Gate of the Two Lions. A complex defense mode was developed in the sequence of movement into the Citadel, as perpetrators would have to penetrate 3 iron doors and change direction 6 times through a series of 90 degree abrupt turns while being subjected to hot liquids being poured through the slit openings on the upper floors. These defense strategies made the Citadel of Aleppo one of the hardest forts to conquer in the region.


In 1415 the Mamluk governor of Aleppo, prince Sayf al-Din Jakam, was authorized to rebuild the Citadel after the Mongol invasion of Timur in 1410. His most important addition was the new Mamluk palace that rose higher than the two entrance towers. The Ayyubid palace was almost completely abandoned during this period. The Mamluk period also administered restoration and preservation projects on the Citadel, the last one under the reign of the final Mamluk sultan Qansuh al-Ghawri was replacing the flat ceiling of the palace with 9 domes.


During the Ottoman period, the military role of the Citadel as a defense fortress slowly diminished as the city began to grow outside the city walls and was taking its form as a commercial metropolis. Large restoration projects took place after the Citadel was heavily damaged in the earthquake of 1828. These restoration operations continued throughout the next century until the present. The throne room went through a major restoration and rebuilding in the late 1970s. The amphitheater was completely renovated in the 1980s with new stone seats lining the old and modern sound/light technology was installed to hold summer festivals and concerts.


In 2000 the Aga Khan Trust for Culture's Historic Cities Support Programme initiated a major restoration project for the Citadel of Aleppo. The work consisted of structural preservation to the tower walls and replacing missing stones to the walls and arches. The project also included excavation of a part of the Citadel crown, which revealed the remains of the Ottoman period occupation.


The Trust will continue work in 2002 on the Citadel primarily in the conservation of the Ayyubid palace restoring the muqarnas portal and the marble floor. Additional work will focus on the relocation of the Citadel museum collection, which is currently located in the Ottoman barracks. The barracks will be reused as a visitors facility it is situated on the highest edge of the site and provides extensive views to the city. Structural work will include dealing with the erosion of the Citadel slope and improvement of the drainage system in the moat. An urban scale project will reexamine the traffic and pedestrian movement around the Citadel, aiming towards the reduction of vehicular traffic on the Citadel ring street, providing public transportation facilities and parking and enhancing the pedestrian zone around the moat of the Citadel. The efforts conducted by the Trust to keep the Citadel as a welcoming monument to visitors and locals, insuring the preservation of this important historic site, is an homage to this symbol of power that bears witness to centuries of time that forms Aleppo's rich history.


Sources:

Allen, Terry. 2003. "Aleppo Citadel". In Ayyubid Architecture. Occidental, CA: Solipsist Press. http://www.sonic.net/~tallen/palmtree/ayyarch/ch5.htm#alep.cit [Accessed August 2, 2005]


Tabbaa, Yasser. 1997. Constructions of Power and Piety in Medieval Aleppo. The Pennsylvania State University: The Pennsylvania State University Press. 111.


Rihawi, Abdul Qader. 1979. Arabic Islamic Architecture in Syria. Damascus: Ministry of Culture and National Heritage. 53-96.


"The Citadel of Aleppo". Aga Khan Development Network Website. http://www.akdn.org/hcsp/Syria/Syriapages10_15.pdf. [Accessed February 14, 2007]


( Sources: http://archnet.org )

Photo Gallery (1)
Photo Gallery ( 2 )

Selasa, 17 Juni 2008

Ommayad Mosque

Variant Names : Great Mosque, al-Masjed al-Umawi, Omayyad Mosque, Jami al-Umawi
Location : Damascus
Date : 709-15; restored 1970
Style/Period : Umayyad
Century : 8th
Building Type : religious
Building Usage : mosque
Keywords : 777 core monuments

The Great Mosque of Damascus is the first monumental work of architecture in Islamic history; the building served as a central gathering point after Mecca to consolidate the Muslims in their faith and conquest to rule the surrounding territories under the Umayyad Caliphate.

The Umayyad mosque's religious significance was reinforced by its renowned medieval manuscripts and ranking as one of the wonders of the world due to is beauty and scale of construction.


The Umayyad Mosque site has housed sacred buildings for thousands of years, in each incarnation transformed to accommodate the faith of the time. An ancient Aramaic temple dedicated to the god Hadad is the oldest layer of architectural use to be uncovered on archeological expeditions. During the Roman period, the Temple of Jupiter occupied the space. This edifice was transformed to a church in the fourth century. This church was expanded to form the Cathedral of St. John, situated on the western side of the older temple. After the Islamic conquest of Damascus in 661, during the reign of the first Umayyad caliph Mu'awiya Ibn Abi Sufyan, the Muslims shared the church with the Christians. The Muslims prayed in the eastern section of the ancient temple structure and the Christians in the western side. This collective use continued until Walid bin Abdul Malek's reign, when the prayer space became inadequate both in terms of capacity and the need for an architectural monument to represent the new religion. The caliph negotiated with Christian leaders to take over the space, and in return al-Walid promised that all the other churches around the city would be safe, with the addition of a new church dedicated to the Virgin granted to the Christians as compensation.


When the project began all remaining fragments on the site from Roman to Byzantine periods were removed to accommodate a large innovative mosque planned according to Islamic principles.


The Umayyad Mosque plan articulated the rising political status of the Islamic world as a major world power. Its majestic stature became an Islamic architectural prototype for mosques being built in all the newly established territories.


The plan of the mosque is formed by a 97m x 156m rectangle with the sahn on the northern side wrapped around four edges. Because the haram occupies the southern part of the rectangle, the exterior wall has three gates that connect to the city from the northern, eastern and western sides. The southern exterior wall that borders the haram has a door that links directly to the outside.


The rectangular sahn's stone pavement was repaired throughout the mosque's history so that the level of the sahn became uneven and higher than the original ground. Recently, the original Umayyad level was restored with the stone patterns of the paving. The sahn is punctuated by three major elements: the ablution fountain covered with a dome that is supported by columns, the Khazne Dome on the western side supported by eight Corinthian columns and Zein al-Abidin Dome on the eastern side also supported by eight columns. Alternating stone columns and piers with one pier between every two columns supports the riwaq that surrounds the sahn. The double-height riwaq is not consistent all around the sahn as the northern part was completely destroyed in the earthquake of 1759; it was rebuilt without the columns with another type of stucco ornamenting the stronger supporting piers.


Three riwaqs, parallel to the qibla, form the haram's interior space; they are supported by two rows of stone Corinthian columns. Each riwaq has two levels, the first with large semi circular arches and the second with double arches (the same pattern is repeated in the sahn's riwaq also). The three riwaqs intersect in the middle with a larger, higher one that is perpendicular to the qibla wall and faces the mihrab and minbar. The main octagonal dome, the Nisr Dome (Dome of the Eagle) is supported on this wide riwaq and it is 36m high. The dome has apertures around its parameter. In the eastern part of the haram, a small classical marble structure between the columns of the riwaq holds the tomb of St. John the Baptists or as he is known in Quranic tradition, the prophet Yahya.


The exterior walls of the mosque were built in the Roman period when the building functioned as a temple. Four defense towers were built at each corner, but only the two southern ones remained when al-Walid began his project. These towers were used as foundations to erect the eastern and western minarets. Then a third square tower shaped minaret known as the Arus Minaret (The Minaret of the Bride) was built near the northern gate. The lower part of this minaret is still in its original form; the middle part was an Ayyubid addition built after the fire of 1174. The eastern minaret, Eesa Minaret (Minaret of Jesus) is also a pastiche of different architectural styles that correspond to changing political environments. It has a Mamluk lower part and an Ottoman top due to its renovation after the earthquake of 1759. The western minaret is the most articulated with its stone carvings and inscriptions that record its restorations in1488 and after Timur's conquest in 1401.


Two main materials were used for cladding: fusayfusa'a mosaic and marble. The fusayfusa'a fragments were mixed with colored glass particles and others of gold and silver leaf covered glass in addition bits of stone and marble between to create a unique reflective material that sparkled its geometric and floral patterns. The fusayfusa'a was originally used to cover the top parts of the walls on both the interior and exterior sides in the haram, riwaqs, the arches and undersides of the vaults. The painterly constructed patterns formed scenic panels that symbolized the magnificent natural landscapes of Damascus, like the Barada River flowing alongside the great Umayyad palaces on its banks and orchards of fruit bearing trees that are thought to be an imagined vision of the heavens.


Heavily veined marble was used to clad the lower parts of the walls, as it is a stronger, more enduring material than the mother of pearl mosaics. The veins of the marble were used to create patterns because of the way that the panels were joined and attached to the wall about 4 meters above the ground. All that is left of these panels are small holes that map where the marble masons attached them to the wall. A highly ornate band of carved marble separated these two materials on the walls, the vegetation inspired designs were known as the 'great golden vines' because of their resemblance to intertwined grape vines that were common in the Classical (Roman and Byzantine) periods. Some fragments of this famous band still remain today in the mosque. Additional ornamentation includes the Ottoman blue clay tiles that replaced the missing marble panels in the sahn.


Textual inscriptions filled the gaps between these materials and ornaments, and added another layer of detail to the artful walls. They declared religious verses, dates and dedications to various patrons to the restorations of specific parts of the mosque. The words were scripted using the fusayfusa'a in two contrasting colors usually gold calligraphic text over a royal blue background.


During his 10-year reign as caliph in the beginning of the eighth century al-Walid bin Abd al-Malik addressed the citizens of Damascus:
'Inhabitants of Damascus, four things give you marked superiority over the rest of the world: your climate, your water, your fruits and your baths. To these I wanted to add a fifth: this mosque.'

Sources:

Flood, Finbarr Barry. 2000. The Great Mosque of Damascus: Studies on the Meanings of an Umayyad Visual Culture, Leiden; Boston; Koln: Brill.


Rihawi, Abdul Qader. 1979. Arabic Islamic Architecture in Syria. Damascus: Ministry of Culture and National Heritage.

( Sources : http:www.archnet.org )

Senin, 16 Juni 2008

Paradoks Terorisme

Oleh: Irhamudin Mahmud

“We should not forget that the US it self is a leading terrorist state.”

(Prof. Noam Chomsky, pakar linguistic pada the Massachussets Institute of Technology”)

Koran Tempo (12 November 2001), menurunkan berita berjudul “Noam Chomsky : Lebih jahat dari Tangan Teroris”. Profesor linguistic di MIT itu menyimpulkan,”Pengeboman atas Afganistan ( oleh pasukan Sekutu yang dipimpin AS ) adalah kejahatan yang lebih besar daripada terror 11 September.”Pendekatan Barat terhadap konflik Afganistan adalah pendekatan yang didasari pandangan cupet dan sangat berbahaya. “ AS adalah terdakwa Negara teroris,” tegas Chomsky.

Dalam sebuah wawancara dengan Koran Yediot Aharonot, 26 Mei 1974, Ariel Sharon menyatakan,” Kita harus selalu menyerang, menyerang, tanpa henti. Kita harus menyerang mereka di mana pun adanya. Di dalam negeri, di negeri Arab, dan bahkan di seberang lautan sekalipun. Semuanya pasti dapat dilakukan.”


Tepat 6 tahun sudah peristiwa 11 September, namun tuduhan sebagai sumber terorisme terus menyatroni negeri muslim. Itulah paradoks yang disebarkan Barat melalui media massa yang tentu saja membuat para pemimpin di Negara muslim seolah berlomba untuk “ membersihkan” negara mereka dari apa yang namanya “ Terorisme dan Radikalisme”. Berbagai cara dan undang-undang dibuat untuk menjaring masyarakat yang dianggap melakukan tindakan teroris, tanpa memberikan definisi yang jelas dari terorisme atau radikalisme. Sehingga, seolah-olah membuka pintu selebar-lebarnya bagi pihak pemerintah untuk menindak siapa saja yang dianggap bertentangan dengan mereka. Mengutip harian Al-Syarqul Awsath, menulis, bahwa bukan saja belum mampu mengatasi aksi terorisme atau radikalisme, Amerika Serikat bahkan banyak menimbulkan masalah baru karena konsep terorisme melebar kemana-mana. Harian itu mengingatkan, agar AS mendengar usul dunia Arab untuk menyepakati terlebih dahulu definisi dan maksud dari terorisme. “Mendefinisikan terorisme merupakan satu cara untuk keluar dari perang jangka panjang yang melelahkan,” demikian laporan harian terbesar Arab itu.

Sebenarnya, bagi masyarakat dunia penyerangan atas dua negara muslim ( Afganistan dan Irak ) cukup menjadi pelajaran bahwa apa yang selama ini diserukan Amerika Serikat bohong belaka. Dengan maksud memberantas terorisme dan senjata pemusnah massal, Amerika malah memberantas penduduk sipil, tentu saja tidak tanggung-tanggung Amerika “menghadiahi” penduduk Afganistan dan Irak dengan peluru-peluru kendali Tomahawk/Particle Canon. Sehingga korban yang ditimbulkan melebihi dari korban gedung WTC. Masih teringat dalam benak setiap muslim pasca perang Irak ketika Presiden Amerika George W. Bush Jr berpidato dihadapan pasukannya yang berkekuatan 100.000 orang lebih dengan dukungan berbagai peralatan canggih, menyatakan bahwa perang Irak merupakan Perang Salib (The Crusade), sejatinya Bush tidak sedang terpeleset lidah sebagai Kristen fundamentalis yang menganggap dirinya terlahir kembali (reborn).

Ironis memang, sepanjang sejarahnya dalam menjalin hubungan Islam-Barat, Barat selalu menggunakan dua wajah. Satu, wajah yang baik, yang bersahabat, khususnya terhadap kelompok Muslim yang bersikap “manis” dan mau mengikuti pikiran dan kehendak Barat. Yang lain adalah pendekatan konfrontatif, khususnya terhadap kaum Muslim yang menentang Imperialisme Barat. Di zaman kolonialisme klasik, mereka yang melawan penjajah disebut sebagai “pemberontak’, “ekstremis”, dan sejenisnya. Di lapangan, pengertian “terorisme, radikalisme, militan, fundamentalisme”, tidaklah jelas dan sangat bias, tergantung kepentingan. Bernard Lewis dalam bukunya The crisis of Islam menyatakan, bahwa Fundamentalis Islam adalah jahat dan berbahaya, dan menyebutkan bahwa fundamentalis adalah anti-Barat. Kemudian Francis Fukuyama juga mencatat: “Islamis radikal, yang tidak toleran terhadap semua bentuk keragaman dan suara yang berbeda, telah menjadi kaum fasis di zaman kita. Merekalah yang sedang kita lawan. Dari kedua definisi (Lewis dan Fukuyama) tentu saja sangat bias dan kenyal untuk diterapkan bagi siapa saja yang mengkritik Barat. Seolah-olah mereka menyimpulkan setiap Muslim yang mencoba mengkritik Barat atau menolak Hegemoni Barat maka mereka bisa saja dianggap teroris atau radikal.

Dari kedua definisi diatas akan timbul pertanyaan, apakah ”kebaikan” Amerika yang memberikan kiriman “parcel” dalam Perang Teluk, 1991, untuk Irak berupa 88.000 ton bom ( setara dengan tujuh kali lipat yang dijatuhkan di Hiroshima ) tidak pantas untuk disebut “militan Kristen”, Mengapa Ariel Sharon yang jelas-jelas bertanggung jawab atas pembantaian Shabra-Shatila tidak disebut sebagai “ militan dan teroris Yahudi”, Mengapa pembantaian yang dilakukan oleh Serbia dibawah pimpinan Presiden Slobodan Milosevic terhadap kaum Muslimin di Bosnia-Herzegovina yang menelan korban “Hanya” 200.000 orang tidak disebut sebagai “radikalisme kristen”, malah divonis bebas oleh Mahkamah Internasional, Mengapa Mahkamah INQUISISI, 1450-1800, yang “hanya” membantai dua-empat juta lebih kaum Heretics ( kaum yang dicap menyimpang dari doktrin resmi gereja ) di dataran Katolik maupun Protestan Eropa dalam sejarah tidak disebut sebagai “ militan Kristen”?

Prof. Edward S. Herman, guru besar di Universitas Pennsylvania, dalam bukunya The Real Terror Network ( 1982 ) menulis, dunia mengutuk “retail violence” (kejahatan eceran) tetapi mendiamkan “wholesale violence” (kekerasan borongan) yang diusung oleh kekuataan negara, semata-mata hanya karena faktor ketidakberdayaan. Ahmad Yassin dicap sebagai terroris dan militan oleh Israel. Karena itu ia boleh dibunuh kapan saja. Tanpa pertanggungjawaban apa-apa.

Kerancuan, mungkin itu kata yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Tanpa menentukan definisi yang tepat dan disepakati oleh setiap negara, Barat terus mengembor-gemborkan kata teroris, radikal, militan, fundamentalis diberbagai media massa. Kerancuan definisi tersebut makin diperparah dengan pemberitaan Media massa yang selalu menambahkan embel-embel terorisme, militant, fundamentalis, radikalisme dalam kaitannya dengan Islam, sebagai contoh Harian Kompas menggunakan istilah yang beragam untuk Abu Sayyaf, yaitu ( 1 ) “kaum militan”, seperti yang ditulis dalam tajuknya (20 Juni 2002),” Dalam kasus penculikan awal pekan ini segera terlihat betapa berbahayanya kegiataan kaum militan di Filipina Selatan.” (2) “ Gerilyawan Separatis “. Ditulis dalam tajuk Kompas,” peristiwa perampokan hari Senin 17 Juni berlangsung di wilayah dan perairan yang selama ini dikenal dikuasai gerilyawan separatis Abu Sayyaf.” (3) “Kelompok Gerilya Muslim”, seperti yang ditulis dalam berita Kompas (19 Juni 2002),”…Noble Energy yang berpangkalan di singapura telah mengidentifikasi para penculik itu sebagai anggota Abu sayyaf, kelompok gerilya Muslim yang diketahui beberapa kali melakukan penculikan, termasuk orang asing.” Namun pada saat yang sama Kompas tidak menyebut “teroris Yahudi” pada Israel yang membantai Muslim Palestina dan “pembantai kristen” pada tokoh-tokoh kristen pelaku pembunuhan dan terorisme di Serbia, atau Timothy McVeigh yang membom gedung WTC di Oklahoma City tahun 1996 sebagai “separatis kristen”. Jadi, secara sadar atau tidak sadar seolah-olah media massa telah menjadi kepanjangan tangan dari kepentingan AS dan sekutunya untuk membentuk opini buruk terhadap Islam bagi masyarakat dunia. Media massa yang seharusnya menjadi sumber berita yang tidak timpang sebelah, kini malah ikut-ikutan tidak objektif dalam menyikapi permasalahan yang dihadapi umat Islam.

Kepentingan, kata kedua yang tepat untuk Amerika dan sekutunya. Seperti kita ketahui setelah berakhirnya Perang Dingin ( Cold War ) dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet Barat seperti membutuhkan rival untuk mempertahankan kepentingan legitimasi dan eksistensi ideologi mereka. Dalam bukunya The Clash of Civillization Huntington (penasihat politik luar negeri AS) menguraikan beberapa faktor mengapa hubungan Barat-Islam selalu panas, diantaranya; Pertama, runtuhnya komunisme telah menggeser musuh bersama diantara Islam dan Barat dan masing-masing merasa sebagai ancaman utama bagi yang lain. Kedua, meningkatnya interaksi antara Muslim dan Barat telah mendorong perasaan baru pada masing-masing pihak akan identitas mereka sendiri, dan bahwa mereka berbeda dengan yang lain. Bahkan, papar Huntington, dalam kedua masyarakat –Islam dan Barat—sikap toleran terhadap yang lain telah merosot tajam pada dekade 1980-an dan 1990-an.

Dulu, ketika Uni Soviet belum runtuh Barat dan Islam mempunyai musuh yang sama yaitu komunis, tapi sekarang Islam menjadi musuh utama Barat. Dalam bukunya Who Are We? Huntington menulis satu sub-bab berjudul “ Militant Islam vs America “, yang menekankan bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. Dalam bukunya Huntington menjelaskan bahwa Islam militan bukan hanya Osama bin Laden ( Al-Qaeda ), tapi juga kelompok-kelompok Islam lainnya yang bersifat negatif atau kritis terhadap AS. Masih banyak lagi ilmuwan neo-konservatif yang mempunyai pandangan negatif terhadap Islam seperti Bernard Lewis, Charles Krauthammer dan lainnya. Keinginan untuk menjadi penguasa tunggal itulah cita-cita AS. Untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, maka segala cara akan ditempuh walau harus menyerang negara lain. Perang, mungkin itu solusi yang tepat menurut AS untuk mempertahankan eksistensinya yang seolah selalu dalam keadaan terancam. Selain itu satu hal yang mungkin bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa negara-negara besar seperti AS dan sekutunya merupakan produsen senjata pemusnah manusia. Tentunya tanpa adanya perang para pialang produsen senjata besar akan dirugikan dan perlu menjadi catatan para pialang tersebut mempunyai jaringan internasional. Begitu kuatnya lobi mereka sehingga pemerintahan negara super power seperti AS keok dan bisa dipaksa untuk melakukan penyerangan terhadap negara lain seperti Afganistan dan Irak. Kelompok lobi ini dikenal dengan Neo-Konservatif atau “Wolfowitz cabal”, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis (New Christian Right), dan ilmuwan neo-orientalis.

Ahli dalam menciptakan “mesin pemusnah massal”, adalah julukan yang tepat kita berikan bagi AS dan sekutunya. Jeremy Isaacs dan Taylor Downing, dalam bukunya, Cold War, mencatat, antara tahun 1945-1996, diperkirakan sekitar 8 trilyun USD ($8,000,000,000,000) biaya dikeluarkan untuk persenjataan diseluruh dunia. Persediaan nuklir mencapai 18 mega ton. Belum lagi instalasi militer yang dimiliki AS mencapai 1.700 yang tersebar di 100 negara, yang menurut Chalmers Johnson, mencerminkan satu bentuk baru imperialisme. Sebagai catatan, pusat-pusat pengembangan nuklir sebagian besar berpusat di AS dan sekutunya, coba bandingkan dengan negara arab yang dituduh sebagai sumber teroris, tak satu pun dari mereka yang memiliki pusat pengembangan nuklir malah mereka menjadi konsumen setia senjata AS dan Sekutunya. Dengan bermodalkan pepatah Latin “sivis pacis para bellum” (Jika anda menginginkan perdamaian, maka siapkanlah perang), AS dan sekutunya terus memproduksi mesin perang pemusnah manusia.


Mengutip ungkapan Prof. Hunter Wade dari London School of Economics, yang menyebut Amerika dan tindakannya sebagai “ unbalanced world”, kemudian dengan manis Noam Chomsky menjelaskan bahwa Amerika diposisikan sebagai “Kaisar” yang memburu “bajak laut”. Kemudian Chomsky menyebut Amerika dan Israel sebagai “dua Negara yang dipimpin oleh dua komandan teroris dunia”. “Sang Kaisar” yang mengacau samudera, dengan kapal raksasa, membunuhi jutaan orang dan melakukan kekejaman dimana-mana (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “wholesale violence “) tetap diberi julukan mulia, yakni “Kaisar”. Sementara “bajak laut” yang melakukan kekerasan kecil-kecilan (dalam istilah Prof. Herman disebut sebagai “retail violence’ sudah dicap sebagai “teroris”, yang wajib “diperangi dan “dimusnahkan”. Orang-orang yang mau menjadi “hamba Sang Kaisar” juga diberi kedudukan dan anugerah mulia, dalam istilah Arie Fleisher, jubir Gedung Putih, disebut mendapatkan “carrot”. Sebaliknya, orang-orang yang pernah atau punya hubungan dengan “sang bajak laut” diberikan “hukuman”, yang dalam istilah Fleisher disebut sebagai “stick”.


Keuntungan, kata ketiga yang pas kita berikan bagi Amerika dan sekutunya ( Barat ). Sadar atau tidak sebenarnya dunia Islam sedang dihadapkan pada hidangan yang begitu “lezat” tapi penuh dengan kebusukan. Hidangan itu bernama Westernisasi, atau yang dikenal dengan 3 F & 1 T ( food, fun, fashion, and Thought ). Melalui makanan, hiburan, dan mode warga dunia disuguhi Coca-Cola, KFC atau MCDonald’s, musik AS, dan berbagai trend mode yang ditampilkan artis-artis top dunia. Melalui Thought ( pemikiran ) mereka menyuguhi Sekulerisme dan Liberalisme yang nyata-nyata telah gagal di Barat, sehingga menyebabkan mereka maju dibidang teknologi dan hancur dari segi moral. AS dan Barat mengalami “Evolusi Nilai” atau “Relativitas Nilai” yang berdampak kaburnya nilai-nilai moral. Tanpa disadari, Barat sekarang terjebak dalam lingkaran setan berbagai masalah kesehatan dan sosial. Sebagai contoh, atas dasar “suka sama suka” perzinahaan dianggap hal biasa, sedangkan korupsi dipandang sebagai kejahatan serius. Homoseksual dan pelacuran dipandang bukan dosa, sedangkan poligami dianggap sebagai kejahatan. Ironis memang, tapi kalau fenomena pemikiran seperti ini sudah timbul dan menjamur dimasyarakat, maka nilai moral agama akan hancur dan memasuki lingkaran setan kebingungan yang tiada ujung. Belum lagi tren mode dan maraknya dunia hiburan. Gemerlap dunia showbiz seolah mengajak manusia untuk tidak menggunakan akal sehat, karena kalau manusia menggunakan akal sehat, maka akan menghambat laju proyek besar di dunia hiburan. Hidup adalah kesenangan, mungkin itulah motto dunia hiburan, sebagaimana yang diajarkan filsafat Epicureans di zaman Yunani Kuno. Dengan dasar “kebebasan bereskpresi” adalah “standar moral yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat”.

Dari tiga pembagian diatas, kita akan mengerti siapa yang sebenarnya pas untuk disebut teroris, radikal, fundamentalis, separatis, atau yang berkonotasi buruk lainnya. Sebagai Muslim yang baik sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu kritis terhadap berbagai masalah. Bukan hanya sebagai konsumen pemikiran atau penganut pemikiran dan gaya hidup glamor, tapi ambil yang baik dan kritisi yang bertentangan dengan agama dan nilai-nilai moral. Seolah memetik mawar, maka yang kita ambil hanya mawarnya tanpa harus mengambil durinya sehingga membuat tangan kita terluka.

Terakhir, kami ingin mengutip ungkapan Wiliam Blum yang mengajukan konsep sederhana untuk mengakhiri kemelut internasional dan menciptakan rasa aman bagi masyarakat AS dan sekutunya. Jika ia menjadi Presiden AS, kata Blum, pertama, ia akan meminta maaf kepada semua janda dan anak yatim, orang-orang yang terluka dan termiskinkan akibat ulah imperialisme AS. Kedua, ia umumkan dengan jiwa yang tulus, ke seluruh pelosok dunia, bahwa intervensi global AS sudah berakhir, dan umumkan bahwa Israel tidak lagi menjadi negara bagian AS yang ke-51. Ketiga, memotong anggaran belanja pertahanan AS, sekurangnya 90 persen, dari angka 330 miliar USD per tahun. Terakhir, lanjut Blum, “On the fourth day, I’d be assassinated ( pada hari keempat saya akan dibunuh ).

Wallahu’allam bishowab.

Sumber : Website PPI Syria

Sabtu, 14 Juni 2008

Abdulloh Ibnu Rowahah

Yang bersemboyan :

Wahai Diri ……..
Jika Kau Tidak Gugur di Medan Juang ……..
Kau Tetap Akan Mati ……..
Walau di Atas Ranjang ..……


Waktu itu Rasulullah saw. sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah, menghadapi para utusan yang datang dari kota Madinah, dengan bersembunyi-sembunyi dari kaum Quraisy. Mereka yang datang ini terdiri dari duabelas orang utusan suku atau kelompok yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar.(penolong Rasul). Mereka sedang dibai’at Rasul (diambil Janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama Bai’ah Al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawa dan penyi’ar IsIam pertama ke kota Madinah, dan bai’at merekalah yang membuka jalan bagi hijrah Nabi beserta pengikut beliau, yang pada gilirannya kemudian, membawa kemajuan pesat bagi Agama Allah yaitu Islam ….Maka salah seorang dari utusan yang dibai’at Nabi itu, adalah Abdullah bin Rawahah.

Dan sewaktu pada tahun berikutnya, Rasulullah saw. membai’at. lagi tujuhpuluh tiga orang Anshar dari penduduk Madinah pada bai’at ‘Aqabah kedua, maka tokoh Ibnu Rawahah ini pun termasuk salah seorang utusan yang dibai’at itu.

Kemudian sesudah Rasullullah bersama shahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap di sana, maka Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling banyak usaha dan kegiatannya dalam membela Agama dan mengukuhkan sendi-sendinya. Ialah yang paling waspada mengawasi sepak terjang dan tipu muslihat Abdulla bin Ubay (pemimpin golongan munafik) yang oleh penduduk Madinah telah dipersiapkan untuk diangkat menjadi raja sebelum Islam hijrah ke sana, dan yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah yang terus-menerus mengikuti gerak-gerik Abdullah bin Ubay dengan cermat, maka gagalah usahanya, dan maksud-maksud jahatnya terhadap Islam dapat di patahkan.

Ibnu Rawahah adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka degan kepandaian tulisi baca. Ia juga seorang penyair yang lancar, untaian syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah didengar ….

Semenjak ia memeluk Islam, dibaktikannya kemampuannya bersyair itu untuk mengabdi bagi kejayaan Islam …..Dan Rasullullah menyukai dan menikmati syair-syairnya dan sering beliau minta untuk lebih tekun lagi membuat syair.

Pada suatu hari, beliau duduk bersama para sahabatnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya: "Apa yang anda lakukan jika anda hendak mengucapkan syair?"

Jawab Abdullah: "Kurenungkan dulu, kemudian baru kuucapkan". Lalu teruslah ia mengucapkan syairnya tanpa bertangguh, demikian kira-kira artinya secara bebas:

"Wahai putera Hasyim yang baik, sungguh Allah telah melebihkanmu dari seluruh manusia.dan memberimu keutamaan, di mana orang tak usah iri.

Dan sungguh aku menaruh firasat baik yang kuyakini terhadap dirimu. Suatu firasat yang berbeda dengan pandangan hidup mereka.

Seandainya anda bertanya dan meminta pertolongan mereka dan memecahkan persoalan tiadalah mereka henhak menjawab atau membela

Karena itu Allah mengukuhkan kebaikan dan ajaran yang anda,bawa

Sebagaimana Ia telah mengukuhkan dan memberi pertolongan kepada Musa".

Mendengar itu Rasul menjadi gembira dan ridla kepadanya, lalu sabdanya: "Dan engkau pun akan diteguhkan Allah".

Dan sewaktu Rasulullah sedang thawaf di Baitullah pada ‘umrah qadla, Ibnu Rawahah berada di muka beliau sambil membaca syair dari rajaznya:

"Oh Tuhan, kalauIah tidak karena Engkau, niscaya tidaklah ami akan mendapat petunjuk, tidak akan bersedeqah dan Shalat!

Maka mohon diturunkan sakinah atas kami dan diteguhkan pendirian kami jika musuh datang menghadang.

,Sesuhgguhnya Qrang-orang yang telah aniaya terhadap kami, biIa mereka membuat fitnah akan kami tolak dan kami tentang".

Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim yang artinya :

"Dan para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat". (Q.S. Asy-syu’ara: 224)
Tetapi kedukaan hatinya jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya : Artinya :

"Kecuali orang-orang(penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada Allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya". (Q.S. Asy-syu’ara : 227)

Dan sewaktu Islam terpaksa terjun ke medan perang karena membela diri, tampillah Abdullah ibnu Rawahah membawa pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidahnya menjadi slogan perjuangan:
"Wahai diri! Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!"

Ia juga menyorakkan teriakan perang:
"Menyingkir kamu, hai anak-anak kafir dari jalannya. Menyingkir kamu setiap kebaikkan akan ditemui pada Rasulnya".

Dan datanglah waktunya perang Muktah ….Abdullah bin Rawahah adalah panglima yang ketiga dalam pasukan Islam.

Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan siap bersama pasukkan Islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah …ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya;

" Yang kupinta kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampunan dan kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi harapan ….. Mati syahid di medan perang…!!"

Benar, itulah cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang …., pukulan pedang atau tusukan tombak, yang akan membawanya ke alam syuhada yang berbahagia…!!

Balatentara Islam maju bergerak kemedan perang muktah. Sewaktu orang-orang Islam dari kejauhan telah dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar duaratus ribu orang …, karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan tak ada ujung alhir dan seolah-olah tidak terbilang banyaknya ….!

Orang-orang Islam melihat jumlahmereka yang sedikit, lalu terdiam …dan sebagian ada yang menyeletuk berkata:
"Baiknya kita kirim utusan kepada Rasulullah, memberitakan jurnlah musuh yang besar. Mungkin kita dapat bantuan tambahan pasukan, atau jika diperintahkan tetap maju maka kita patuhi".

Tetapi.Ibnu Rawahah,.bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu berucap:
"Kawan:kawan sekalian! Demi Ailah, sesungguhnya kita berperang melawan musuh-musuh kita bukan berdasar bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah Kita tidak memerangi memerangi mereka, melainkan karena mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah dimuliakan Allah … !

Ayohlah kita maju ….! Salah satu dari dua kebaikan pasti kita capai, kemenagan atau syahid di jalan Allah … !"

Dengan bersorak-sorai Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besar imannya itu menyatakan setuju. Mereka berteriak: "Sungguh, demi Allah, benar yang dibilang Ibnu Rawahah.. !"

Demikianlah, pasukan terus ke tujuannya, dengan bilangan yang jauh lebih sedikit menghadapi musuh yang berjumlah 200.000 yang berhasil dihimpun orang Romawi untuk menghadapi suatu peperangan dahsyat yang belum ada taranya.

Kedua pasukan, balatentara itu pun bertemu, lalu berkecamuklah pertempuran di antara keduanya.

Pemimpin yang pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul oleh pemimpin yang kedua Ja’far bin Abi Thalib, hingga ia memperoleh syahidnya pula dengan penuh kesabaran, dan menyusl pula sesudah itu pemimpin yang ketiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikala itu ia memungut panji perang dari tangan kananya Ja’far, sementara peperangan sudah mencapai puncaknya. Hampir-hampirlah pasukan Islam yang kecil itu, tersapu musnah diantara pasukan-pasukan Romawi yang datang membajir laksana air bah, yang berhasil dihimpun oleh Heraklius untuk maksud ini.

Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, ibnu Rawahah ini menerjang ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu dan perduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan yang akan dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya, demi terlihat kehebatan tentara romawi seketika seolah terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap, kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan kekutannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:

"Aku telah bersumpah wahai diri, maju ke medan laga
Tapi kenapa kulihat engkau menolak syurga …..
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti …….
Tibalah waktunya apa yng engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah ksatria sejati ….!"
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah mendahului gugur sebagai syuhada).

Jika kamu berbuat seperti keduanya, itulah ksatria sejati…..!" Ia pun maju menyerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya …… Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan, bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke syurga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka …. Tetapi waktu keberangkatan sudah tiba, yang memberitahukan awal perjalananya pulang ke hadirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid…..

Jasadnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya:

"Hingga dikatakan, yaitu bila mereka meliwati mayatku:
Wahai prajurit perang yang dipimpin Allah, dan benar ia telah terpimpin!"
"Benar engkau, ya Ibnu Rawahah….! Anda adalah seorang prajurit yang telah dipimpin oleh Allah…..!"

Selagi pertempuran sengit sedang berkecamuk di bumi Balqa’ di Syam, Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam sedang duduk beserta para shahabat di Madinah sambil mempercakapkan mereka. Tiba-tiba percakapan yang berjalan dengan tenang tenteram, Nabi ter;liam, kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatu disebabkan rasa duka dan belas kasihan … ! Seraya memandang berkeliling ke wajah para shahabatnya dengan pandangan haru, beliau berkata: "Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid ….. Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula ….". Be!iau berdiam sebentar, lain diteruskannya ucapannya: "Kemudian panji itu dipegang oleh Abdulah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia·pun syahid pula".

Kemudian Rasul diam lagi seketika, sementara mata beliau bercahaya, menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula : "Mereka bertiga diangkatkan ke tempatku ke syurga …"
Perjalanan manalagi yang lebih mulia …….
Kesepakatan mana lagi yang lebih berbahagia …….
Mereka maju ke medan laga bersama-sama …….
Dan mereka naik ke syurga bersama-sama pula ….

Dan penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasullullah Shallallahu alaihi wa sallam yang berbunyi :

"Mereka telah diangkatkan ke tempatku ke syurga……

Sumber : Kisah-kisah Sahabat

Rabu, 11 Juni 2008

Sentuhan Hati ( 1 )

Pada kesempatan posting kali ini, saya ingin menampilkan sebuah karya saya, yakni sebuah cerpen islami yang sempat memenangkan Lomba Mencuri ( Menulis Cerpen Islami ) pada Hari Ulang Tahun PPI ( Perhimpunan Pelajar Indonesia ) Damascus Syria ke 30 tahun 2007. Dalam cerpen ini saya berusaha menciptakan sebuah suasana ke – Damaskus – an dengan mengambil salah satu sudut kota tertua di dunia ini, tepatnya di Kampus Fakultas Sastera Arab Universitas Damascus tempat saya menuntut ilmu. Cerpen ini lumayan panjang, bahkan mungkin tidak layak di sebut cerpen, dan dan saya sendiri tidak terlalu berharap cerpen ini berhasil memenangkan Lomba Mencuri HUT PPI Damaskus yang ke 30 tahun 2007. Namun, diluar dugaan, cerpen ini di anggap layak menjadi juara meskipun hanya menurut penilaian Tim Juri Loba Mencuri HUT PPI Damaskus. Karena lumayan panjang inilah, terbersit di hati saya untuk melanjutkannya menjadi sebuah novel, namun sampai sekarang belum jua terlaksana karena berbagai hal. Mohon doanya aja mudah-mudahan keinginan saya melanjutkan cerpen ini menjadi sebuah novel bisa terlaksana.

Dalam cerpen ini saya berusaha menyisipkan pesan-pesan keislaman khususnya dalam hal kewajiban berhijab bagi muslimah dengan harapan bisa sedikit memberikan sentuhan buat para akhwat yang belum tersentuh untuk mengenakan busana muslimah plus hijab. Untuk selengkapnya, para pembaca bisa meng klik read more…!!

JILBAB BIRU AISYAH

Sebuah cerpen religius buah pena Mas Arifin Salamun***

Mentari pagi baru saja beranjak tinggi ketika seorang gadis jelita turun dari sebuah mobil mewah. Penampilannya saat itu benar-benar membuat terkesima siapa saja yang memandang. Mengenakan busana muslimah warna biru tua, dipadu dengan jilbab warna biru muda, membuat gadis Negeri Syam ini benar-benar bak bidadari. Kaca mata hitam yang di kenakannya, menjadikannya semakin anggun mempesona. Musim panas yang mulai melanda Damaskus sejak beberapa hari yang lalu, tidak membuatnya enggan berbusana muslimah yang membalut rapi sekujur tubuhnya. Dalam kondisi panas sampai hampir 40 derajat celcius, tentu tak terbayangkan sumuk dan panasnya berpakaian rapat. Gadis itu kini memang berani tampil beda, tidak seperti mayoritas teman-temannya di Fakultas Sastera Arab tempat dia kuliah. Sorotan sinar panas matahari yang menerpa matanya yang indah dan bening, di pantulkannya dengan kaca mata hitam yang pakainya. Dialah Aisyah, seorang mahasiswi Fakultas Sastera Arab Universitas Damaskus. Dengan berjalan pelan dan sopan, dia berjalan menuju kampus guna menghadiri muhadloroh Dirosat Qur`aniyah di Mudarroj Tsamin.

Sementara itu, di sebuah pojok taman kampus, empat orang mahasiswa satu almamater dengan Aisyah sedang memperhatikan dia. Mereka mahasiswa yang pemalas, nakal dan berjiwa preman. Jarang sekali menghadiri muhadloroh. Hoby mereka hanya mejeng di taman sambil menggoda para mahasiswi yang sedang berseliweran di kanan kiri taman.

Pagi itu, mereka melihat pemandangan yang aneh pada diri Aisyah. Sebuah pemandangan yang selama ini belum pernah di lihat pada diri gadis itu. Masing-masing mereka seakan tidak percaya dengan apa yang di lihatnya.

“ Hei kawan-kawan, bukankah itu si Aisyah, gadis tomboy dan judes yang sombong itu ?”, ujar Akmal kepada teman-temannya.

“ Eh iya bener, sejak kapan dia mengenakan jilbab ?”, gumam Walid.

“ Kalian bener, dia Aisyah, gadis tomboy judes dan sombong itu …sejak kapan dia berubah ? tiga minggu lewat kalau tidak salah masih suka buka-bukaan. Aneh…!!! “, komentar Amir.

“ Aduuh, makin cantik saja si Tomboy itu kalau pakai jilbab..terus terang ya, sejak lama ana benci abiz pada dia karena kejudesannya, tapi sekarang dia tampil beda ”, ujar Imad. “ Lihat…lihat… dia berjalan dengan pelan dan sopan, gayanya juga penuh wibawa, di tambah dengan jilbab panjang warna biru muda yang menghiasi kepalanya, membuat kebencian ana hilang seketika. Rasanya ana ingin sekali mendekatinya dan menjadi kekasihnya “, lanjut Imad mantap.

“ Huuuuuuu….”, sorak Akmal, Walid dan Amir bersamaan.
“ Mana mungkin dia mau dengan ente ….!! Kemaren aja, waktu dia masih tomboy dan judes, ente di cuekin abiz, apalagi sekarang, dia sudah tobat dan menjadi gadis baik seperti itu. Udahlah…ente jangan mimpi jadi pacarnya Aisyah….dia itu Tuan Putri, she is a daughter of Big Boss, she is the star….sedangkan ente tak lebih dari seorang preman kere yang kumal”, ejek Walid ke Imad.

“ Imaaaad…Imad….preman kayak ente itu pasangannya ya preman juga…ha ha ha, tapi preman cewek ha ha ha…”, komentar Amir pula sambil terpingkal.

“ Huh..ente semua sirik banget sih…Tapi ana heran dan tak habis pikir ya, mengapa gadis tomboy dan judes itu tiba-tiba mengenakan jilbab, apa yang telah membuatnya berubah. Dulu suka buka-bukaan, apalagi kalau musim panas begini, dia pasti tampil paling seksi ”, seru Imad keheranan.

Ke empat mahasiswa itu akhirnya larut dalam bualan panjang tentang hoby dan kegemaran mereka selama ini. Imad bercerita tentang bagaimana usaha dia menaklukkan Aisyah gadis yang dulu di kenalnya sombong dan tomboy itu. Walid tidak mau kalah, dia cerita dengan bangga bagaimana kelincahannya menggoda si Bahenol Jihan Fahira, walaupun tak pernah berhasil. Sedangkan Akmal dan Amir hanya menjadi pendengar setia celoteh keduanya. Demikianlah hari-hari yang di lewati empat mahasiswa itu.

************
Sekitar sebulan yang lalu, Aisyah adalah gadis tomboy yang sombong. Penampilannya selalu seksi dan termasuk dari sekian banyak gadis mutabarrijat yang selalu membuat mata nakal para pemuda tidak sanggup berkedip walau sedetik. Jika dia sedang lewat di taman kampus, banyak suitan suara terdengar menggodanya. Untungnya, dia cuek bebek, dan tidak ambil peduli dengan suara usil yang menggodanya, sehingga tidak mudah takluk pada rayuan gombal para pemuda penjaja cinta. Sebagai putri seorang konglomerat, dia memang sangat selektif dalam memilih teman, khususnya pada pemuda yang ingin memacarinya. Baginya, setiap pemuda yang ingin mendekatinya, tidak lebih karena terdorong ingin menyelam sambil minum air. Jelasnya, ingin mencicipi kekayaan keluarganya. Semua tidak memiliki hati yang ikhlas dan jangan harap punya cinta yang tulus. Semua penjaja cinta palsu. Titik.

Meskipun demikian, dia masih punya hubungan persahabatan yang baik dengan beberapa mahasiswi, khususnya yang pandai memahami karakter dan wataknya. Diantaranya adalah seorang mahasiswi Indonesia satu almamater. Namanya Maria Nabeela. Kisah perkenalan dengannya tanpa di sengaja. Ketika itu, setelah habis dawam, sebagaimana biasanya Aisyah menunggu sopir pribadi ayahnya di depan kampus. Dia memang selalu di jemput jika pulang dawam. Tapi kali ini, setelah setengah jam menunggu, sopirnya tidak datang juga. Beberapa saat kemudian, ponsel Nokia-nya menjerit, lalu terdengar lagu Ana Wasysyuuq-nya Meriem Farees, pertanda ada yang memangil. Sedikit terburu-buru, Aisyah meraih ponsel di tas mungilnya. Hati kecilnya berkata, panggilan itu dari ayahnya. Dan benar…..ayahnya memberi kabar bahwa hari ini dia tidak di jemput, sebab sopir pribadi ayahnya akan mengantarkan beliau melakukan kunjungan kerja di Kota Aleppo, tepatnya salah satu anak cabang perusahaan ayahnya. Acara di anak cabang perusahaan sesungguhnya baru besok hari, tetapi ayahnya ingin datang lebih awal, karenanya, sore ini beliau berangkat bersama sopir pribadi dan malamnya menginap di sebuah hotel berbintang di Kota Aleppo.

Akhirnya Aisyah memutuskan naik servis saja . Sebenarnya dia ingin naik taksi, tetapi sudah terlalu lama dia menunggu, tidak ada taksi yang kosong. Semuanya penuh. Hari pun sudah mulai gelap, sebentar lagi datang waktu maghrib. Tidak ada pilihan, dengan terpaksa dia naik servis, mekipun gengsinya yang tinggi sebagai putri seorang konglomerat mencibir dari balik hatinya yang sombong. Apa boleh buat, daripada kemalaman. Di dalam servis, Aisyah duduk berdampingan satu jok dengan Maria Nabeela. Suasana hening, sepi dan kaku. Aisyah diam tanpa kata, Maria Nabeela membisu seribu bahasa. Hanya suara mesin servis yang menderu-deru berusaha memecah kesunyian dan kebekuan suasana. Sesaat Aisyah mencuri pandang ke Maria Nabeela, anggun sekali dengan jilbab putihnya yang panjang. Merasa di perhatikan, Maria Nabeela membalas pandangan Aisyah. Dia senyum. Aisyah membalasnya. Lalu Aisyah iseng menyapa Maria Nabeela, sekedar menutupi rasa malu karena ketahuan mencuri pandang Maria Nabeela. Beberapa saat kemudian, keduanya larut dalam obrolan tentang berbagai hal. Dan sejak itu mereka bersahabat dengan baik dan hingga kini telah berlangsung selama satu tahun.

Namun ada perbedaan yang sangat kontras antara Aisyah dengan Maria Nabeela. Jika Aisyah adalah seorang mahasiswi mutabarijjat, tomboy, judes dan sombong, Maria Nabeela justeru sebaliknya. Dia mahasiswi yang lembut, berbudi pekerti luhur dan sopan santun dalam bergaul. Busana yang di kenakannya selalu sopan dan longgar, tidak suka berpakaian ketat yang memancing perhatian mata genit dari pria nakal. Maria Nabeela juga tidak pernah melepaskan jilbabnya, meskipun ketika tidur. Baginya, Islam mengajarkan kaum wanita untuk memakai busana muslimah dan berjilbab, adalah bentuk terindah dalam memuliakan kaum wanita. Apalagi, seorang muslimah jika berjilbab yang sesuai dengan koridor syar`i, justeru semakin bertambah cantik, menarik dan mempesona. Karenanya, menurut pendapat Maria Nabeela, jika dia melepaskan busana muslimah plus jilbab dari dirinya, berarti dia melepaskan penghormatan Islam kepadanya sekaligus membuatnya jelek di pandang mata. Tidak cantik. Tidak ayu. Tidak jelita. Tidak anggun. Pokoknya Maria Nabeela akan menjadi gadis paling jelek sedunia jika melepaskan jilbabnya. Namun, dia tidak keberatan bersahabat dengan Aisyah, gadis mutabarrijat dari negeri Syam ini. Justeru hal itu merupakan kesempatan baginya untuk berda`wah. Di ajaknya Aisyah untuk sedikit feminim, dengan meninggalkan berpakaian celana jeans ketat plus kaos yang serba minim dan transparan. Dengan penampilan seperti itu, Aisyah sama persis dengan apa yang di singgung Rasulullah dalam sebuah hadits, wanita yang berpakaian tetapi telanjang. Berulang kali Maria Nabeela mengajaknya berjilbab, namun Aisyah tetap enggan dan menolak dengan halus. Untuk beberapa waktu, da`wah Maria Nabeela belum membuahkan hasil. Meskipun Aisyah menolak ajakan Maria Nabeela untuk berjilbab, tetapi dia tetap baik padanya dan tidak mentang-mentang. Dia sangat menghormati Maria Nabeela sebab sulit di temukan ada teman yang mau memperhatikan dirinya. Apalagi Maria Nabeela sangat baik dan sopan. Aisyah memang tidak punya banyak teman. Keangkuhan hatinya, di tambah rasa gengsi sebagai putri konglomerat, membuat dia di jauhi banyak teman. Maria Nabeela sendiri tidak putus asa berda`wah dan tetap menjaga hubungan baik persahabatannya dengan Aisyah.

Perubahan drastis terjadi ketika Aisyah mengalami sebuah mimpi ngeri yang sangat mempengaruhi kondisi kejiwaaan Aisyah. Siang hari sebelum malamnya bermimpi, dia mengikuti muhadloroh Dirosat Qur`aniyah yang di sampaikan oleh DR. Hindun Sahlul. Dalam muhadlorohnya, dosennya Aisyah ini menyinggung tentang hijab dan kewajiban memakainya bagi wanita muslimah. Lalu DR. Hindun Sahlul menyitir ayat ke-59 dari Surah Al Ahzab yang dengan tegas menjelaskan wajibnya mengenakan busana muslimah plus jilbab. Di jelaskannya juga mengapa Islam mensyariatkan jilbab, diantaranya untuk menjaga keselamatan jiwa dan kehormatan kaum wanita, yang dengan sendirinya adalah bentuk terindah ajaran Islam dalam memuliakan kaum wanita. Namun, hati keras laksana batu milik Aisyah, di tambah dengan keangkuhannya, sulit untuk menerima penjelasan dosennya, apalagi mengikutinya. Pendek kata, penjelasan DR. Hindun Sahlul tak mampu menembus dinding tebal keangkuhan hati Aisyah.

Aisyah hari itu pulang dawam dengan hati dongkol dan tidak puas hati dengan materi kuliah DR. Hindun Sahlul. Sampai menjelang tidur, Aisyah tetap tidak mampu meredakan kedongkolan hatinya. Ia terus memikirkan isi materi kuliah tadi siang.

“ Kalau memang benar Islam mensyariatkan hijab atau jilbab, bertujuan menjaga keselamatan jiwa dan kehormatan kaum wanita, apa lalu yang tidak berbusana muslimah plus jilbab akan terancam keselamatannya ? Ah…tidak mungkin…tidak mungkin…buktinya aku tidak pernah pakai busana muslimah, juga tidak pernah mengenakan hijab atau jilbab, tapi aman-aman saja. Menurutku, DR. Hindun Sahlul itu sedang membual kosong tentang doktrin masa lalu yang sekarang sudah usang dan basi…”, gumamnya sendirian.

Sebentar kemudian, Aisyah tertidur dengan tetap membawa ketidakpuasan tentang syariat hijab, yang menurutnya kini telah usang dan basi. Dalam keterlenaanya, Aisyah bermimpi. Bermimpi tentang sesuatu yang memiliki hubungan erat dengan ketidak puasannya dengan syariat hijab. Dia bermimpi seakan berada dalam sebuah tempat yang sangat mengerikan, penuh kobaran api yang menyala-nyala. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan berbagai macam siksaan. Ada segolongan orang yang di bakar sampai pada mata kaki, ada yang sampai pada lututnya dan ada juga yang sampai pada perutnya. Belum hilang kengerian Aisyah melihat orang-orang menjerit kesakitan karena dibakar nyala api, pemandangan lebih aneh dilihatnya. Ada segolongan orang yang mengenakan sepatu dari bara api, sedangkan rambut kepalanya di sisir dengan sisir dari bara api juga. Mereka menjerit-jerit kepanasan, namun tak mampu melepaskan sepatu dan sisir aneh itu. Beberapa langkah Aisyah berjalan, kedua matanya kembali di perangahkan oleh pemandangan yang menyayat dan mengiris-iris hati. Bagaimana mungkin ada beberapa orang sedang mengiris lidahnya sendiri dengan sebilah pisau yang sangat tajam. Ada juga yang kemaluannya di tusuk dengan besi panas. Di bagian lain, Aisyah melihat ada segolongan manusia yang berperut buncit dan menggelantung panjang ke bawah persis buah kates yang matang. Di sebelah mereka, dia melihat sekelompok wanita yang di bakar kepalanya..

“ Inikah yang di namakan neraka itu ?”, gumamnya ngeri. Aisyah semakin terpengarah menyaksikan semua pemandangan yang mengerikan itu. Dalam kondisi keterperangahannya, tiba-tiba dia mendengar suara tanpa rupa.

“ Benar, inilah neraka yang di janjikan Tuhan-mu dan…dan sebentar lagi engkau juga akan di seret masuk ke dalam api neraka yang menyala-nyala itu”.

Aisyah terkejut bukan main. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, sepi…tidak ada orang. Lalu, siapa yang berbicara sebentar tadi. Aisyah heran dan tak habis pikir.

“ Apa….? Aku juga akan di seret ke dalam neraka bersama orang-orang yang di siksa itu……ah tidak mungkin…apa dosaku…..apa kesalahanku ?’, balas Aisyah.

Suara itu tidak menjawab lagi. Namun tiba-tiba Aisyah merasakan ada kekuatan yang menangkap dan mencengkeramnya dengan kuat. Aisyah berusaha meronta, namun semakin kuat dia meronta, semakin erat pula cengkeraman itu. Ketika cengkeraman itu terasa melepaskan dirinya, justeru dia merasakan sedang di lemparkan ke dalam dasar jurang api neraka bersama kelompok wanita yang di bakar kepalanya.

“ Tolong…tolooong..jangan siksa aku…tolong…aku mohon…”, jerit Aisyah. Sosok yang mencengkeram dan melemparkan dia ke neraka tadi tidak menggubris jeritan memelasnya, namun tiba-tiba Aisyah merasakan ada suara memanggil-manggil namanya.

“ Aisy…Aisy…Aisyah…hei bangun…Aisy…bangun..”, ujar suara itu. Aisyah merasa badannya di goyang-goyang seseorang, akhirnya dia terbangun dan membuka mata. Di lihatnya dengan seksama sosok yang duduk di dekatnya. Lalu, serta merta Aisyah memeluknya dengan erat.

“ Mamaa......Aisy takut Maa … Aisy takut “, ujarnya. Ternyata sosok tadi adalah ibundanya.

“ Iya iya “, ujar ibundanya. “ Mimpi apa tadi…kok jadi ketakutan seperti ini…..Mama dengar kamu menjerit minta tolong…ada apa sih…syu bek Habibtiy ?”, tanya ibundanya sambil mengelus-elus kepalanya dengan penuh kasih sayang.

“ Aisy mimpi ngeri Maa....mimpi neraka Ma…dan…dan Aisy di siksa di dalamnya Maa…”, jelasnya sambil sesenggukan.

“ Ooooo…cuman mimpi saja kok…jangan terlalu dipikirkan…cuman bunga tidur Aisy…”, hibur ibundanya.

“ Tapi Maa…ini….ini...”,

“ Iya ya…Mama faham. Sekarang, tenangkanlah pikiranmu, dan tidur lagi yaaa...Masih malam tuh..baru jam tiga seperempat…ayo bobok lagi, besok mau dawam kan ?”. potong ibundanya. Aisyah tidak jadi meneruskan kata-katanya, karena di potong ibundanya.

“ Maa….temani Aisy Maa….Aisy takut tidur sendirian…”.

“ Ya udaaah…tidurlah Sayang. Mama tidur di sampingmu”.

Aisyah kembali berusaha memejamkan mata kembali. Sementara di sisi kanannya, ibundanya mengelus-elus keningnya yang putih bersih. Kedua matanya terpejam rapat, namun sesungguhnya dia tidak mampu lagi untuk terlena. Pikirannya di penuhi bayangan mimpi ngeri yang baru saja dia alami. Neraka dengan segala bentuk siksaannya, yang selama ini berusaha dia dustakan, kini datang menghampiri bahkan menyeretnya masuk ke sana. Selama ini, jika ada orang yang menyinggung masalah neraka, dia mencibir penuh sinis dan menganggap semua berita tentang neraka adalah kabar usang yang tidak laku jual. Baginya, semua basi, omong kosong dan bohong belaka. Karena tidak percaya dengan adanya neraka, Aisyah tidak pernah sholat dan banyak melakukan ma`shiyat. Dengan mimpi ngeri yang di alaminya, hatinya mulai tersentuh meskipun belum sepenuhnya dia mempercayai bahwa suatu saat nanti akan ada sebuah tempat penuh siksaan yang bernama neraka . Tiba-tiba, dari pelupuk matanya yang sayu, menetes beberapa butir airmata. Airmata kesedihan betapa selama ini dia telah banyak berbuat dosa dan kesalahan.

Satu jam telah berlalu, tetapi Aisyah tetap tidak mampu lagi untuk terlena. Di lihatnya sosok mulia di sisinya, tertidur dengan lelap dan pulas. Beberapa saat kemudian, kumandang adzan shubuh menggema. Mendengar alunan merdu suaranya, Aisyah merasa ada satu sosok berhati bening sedang melambaikan tangan, mengajaknya kembali ke jalan Tuhan. Aisyah segera menyambut lambaian itu. Untuk pertama kali setelah sekian lama di tinggalkannya, dia menunaikan sholat shubuh. Melihat perubahan putri tunggalnya, ayah bundanya keheranan bercampur bahagia. Aisyah yang dulu tidak pernah sholat, kini telah berubah. Dalam hati mereka memuji dan bersyukur kepada Allah atas curahan kasihsayang-Nya, telah membimbing putrinya menemukan kembali jalan yang penuh hidayah.

************
Di kaki Bukit Qoshiyun, di sebuah rumah susun, dua bersaudara Maria Nabeela bersama kakaknya, Mas Ikhwan, baru saja menyelesaikan sholat shubuh berjamaah. Lalu, setelah berwirid beberapa saat, mereka berdua hanyut dalam tadabbur Al Quran. Terdengar suara Maria Nabeela membaca Al Quran, mengalun merdu dan lembut, serta di padu dengan bacaan yang tartil dan bertajwid. Sementara itu, duduk di sampingnya, Mas Ikhwan menyimak bacaan Maria Nabeela dengan penuh perhatian. Beberapa kali dia membenarkan bacaan Maria Nabeela yang kurang tepat. Mas Ikhwan memang seorang mahasiswa pasca sarjana yang hafal Al Qur`an. Beberapa bulan yang lalu dia baru saja mendapatkan Syahadah Al Qur`an dari Syaikh Kuroyim Rojih, sebagai pertanda telah mengkhatamkan hafalan Al Qur`an 30 Juz. Kini, di samping melanjutkan study pasca sarjana di Fakultas Syariah Universitas Imam Auza`i, dia melanjutkan talaqqi qiraat sab`ah, tetap ke Syaikh Kuroyim Rojih. Gelar S1-nya di dapatkan dari Fakultas Syariah Mujamma` Syaikh Kaftaru, selesai setahun yang lalu dan termasuk salah satu mahasiswa mutakhorrijin berpredikat mumtaz.

Baru saja tadabbur al Qur`an mereka selesai, tiba-tiba ring-tone Ya Mu`allim-nya Sami Yusuf menjerit kuat dari ponsel Nokia Maria Nabeela. Maria Nabeela segera meraih ponselnya, di lihatnya sesaat layar ponsel, muncul nama yang tidak asing :“ Aisyah calling ”. Maria Nabeela segera mengklik tombol jawab.

“ Halloo..Assalamu`alaikum…”, suara Aisyah di seberang sana menyapa. Maria Nabeela heran, tumben pagi-pagi Aisyah nelephon, pake salam lagi. Biasanya, kalau Aisyah nelephon, begitu tombol jawab di-klik, tanpa salam terlebih dahulu, langsung bag-bug bag-bug dan bla bla bla, lalu nyerocos bawel..

“ Wa`alaikumussalam…”, balas Maria Nabeela. “ Tumben Aisy, pagi-pagi nelephon, ada apa ? Memangnya hari ini enti bangun pagi ya ? biasanya suka telat bangunnya”.

“ Idiiiiih…pake ngledek lagi…ana mau nanya nih, hari ini enti mau dawam nggak ? “, tanya Aisyah.

“ Ya iyalah..hari ini hari Rabu kan…? Ada muhadloroh DR. Aiman Syawa, muhadloroh Nahwu…memangnya kenapa ?”, tanya balik Maria Nabeela.

“ Ya udah, entar kita ketemuan di hadiqoh ya, dekat Aydi, ada hal penting yang ingin ana sampaikan. Ana tunggu sekitar jam 11 setelah mengikuti muhadloroh Nahwu, maa liisy ?”.
“ Oke… nanti kita ketemuan di hadiqoh …”. janji Maria Nabeela.
" Kalau begitu, sampai jumpa nanti…”, balas Aisyah.
“Udah ya…ma`assalamah…Assalamu`alaikum ”, lanjutnya lagi.

““ Wa`alaikumussalam…”, balas Maria Nabila sambil menutup ponsel. Rasa herannya belum juga hilang. Dia termenung memikirkan keanehan Aisyah pagi ini. Akhirnya, dia menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah sahabatnya. Lalu, segera dia lari ke dapur guna menyiapkan sarapan pagi untuknya dan Mas Ikhwan.

Dua jam kemudian, Maria Nabeela berangkat dawam. Kali ini, Mas Ikhwan ikut menemaninya. Khusus hari Rabu, Mas Ikhwan memang rutin menemani Maria Nabeela ke kampus, tujuannya ingin mengikuti muhadloroh nahwu dari DR. Aiman Syawa, guna memperdalam pengetahuannya tentang ilmu nahwu. Sesaat kemudian, keduanya bergegas meluncur menuju kampus Fakultas Sastera Arab.

Setengah jam berlalu, keduanya sampai di tempat tujuan. Maria Nabeela mengapit tangan kakaknya dan segera menuju Mudarroj Wahid. Muhadloroh Nahwu baru saja di mulai. Maria Nabeela bersama Mas Ikhwan segera mencari tempat duduk agak ke depan sedikit. Sepintas pandang Maria Nabeela melihat lambaian tangan dari Aisyah. Dia duduk nomor tiga dari depan. Kembali Maria Nabeela kaget dan heran melihat penampilannya. Aisyah pagi itu mengenakan busana yang sopan dan longgar meskipun kepalanya belum di balut dengan jilbab. Maria Nabeela membalas dengan senyuman. Dalam hatinya terbersit kebahagiaan bercampur rasa penasaran melihat perubahan penampilan sahabatnya. Lalu, Maria Nabeela bersama Mas Ikhwan memusatkan perhatian dan konsentrasi pada muhadloroh nahwu. Kali ini, DR. Aiman Syawa dengan sangat gamblang membahas tentang masalah perbedaan pendapat antara Ulama Kufah dan Ulama Bashroh dalam beberapa masalah nahwu. Diantaranya masalah asal musytaq-nya kalimat isim dan masalah ni`ma dan bi`sa, apakah keduanya kalimat isim atau fi`il. Keduanya dikupas tuntas oleh DR. Aiman Syawa. Keindahan uslub DR. Aiman Syawa dalam menyampaikan materi kuliah Nahwu, membuat Mas Ikhwan sangat menikmati muhadloroh pagi itu. Satu setengah jam kemudian muhadloroh berakhir.( Bersambung ke SENTUHAN HATI ( 2 ) ).

Sentuhan Hati ( 2 )

Di taman kampus, tampak Aisyah duduk sendirian di sebuah bangku panjang. Raut wajahnya rada cemberut dan tak mampu menyembunyikan ekspresi kesedihan dan kebingungan. Sekitar sepuluh meter dari tempat duduknya, puluhan mahasiswa sedang antri mengambil khulashoh muhadloroh di Toko Aydi, yang memang melayani berbagai keperluan para mahasiswa. Aisyah tidak memperdulikan mereka, sebab otaknya kini sedang sibuk memikirkan perihal mimpi ngerinya tadi malam. Siang itu, dia ingin curhat tentang mimpi itu kepada Maria Nabeela, satu-satunya sahabat yang banyak mengerti tentang sifat dan karakternya. Dia sedang menunggu kedatangan sahabatnya itu. Tiba-tiba…Aisyah mendengar seseorang mengucapkan salam kepadanya.

“ Assalamu`alaikum….Ahlan Ya Aziizaty….”.

“ Wa`alaikumussalam…Ahlan….ahlan..”, balas Aisyah. Sepintas mata Aisyah melihat sosok yang bersama Maria Nabeela. Ada secercah rasa heran yang menggelitik dalam hatinya, sejak kapan Maria Nabeela punya pacar. Maria Nabeela melihat gelagat keheranan Aisyah, lalu…

“ Oh iya Aisy…kenalkan, ini Mas Ikhwan, kakakku..”, ujar Maria Nabeela memperkenalkan kakaknya kepada Aisyah.

“ Ooo..ana kira pacarmu ”, balas Aisyah. “ Ahlan, Aisyah temannya Maria Nabeela “, sapanya memperkenalkan diri pada Mas Ikhwan. Lalu dia menyodorkan tangannya mengajak berjabat tangan pada Mas Ikhwan.

“ Maaf….ana tidak biasa berjabat tangan dengan wanita ”, kata Mas Ikhwan menolak ajakan Aisyah.

“ Aisy…..kakakku ini seorang mahasiswa pasca sarjana di Fakultas Syariah Universitas Imam Auza`i. Dia juga baru saja menyelesaikan tahfidz Al Qur`an-nya di Syaikh Kuroyim Rojih. Dan memang, sangat anti berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom - nya. Ana harap, enti ma`lum “, kata Maria Nabeela menjelaskan keengganan kakaknya berjabat tangan dengan Aisyah.

“ Oh maaf….ana asyiif…”, balas Aisyah.

“ Aisy…ngomong-ngomong masalah apa yang ingin enti ceritakan…kayaknya enti tegang banget ”, tanya Maria Nabeela.

“ Ana ingin cerita tentang mimpi ana tadi malam “, jawab Aisyah.

“ Mimpi..? memangnya enti mimpi apa ?”, desak Maria Nabeela bercampur heran.

“ Ana mimpi masuk neraka…”, balas Aisyah dengan wajah muram.

“ Mimpi masuk neraka….? Ceritanya bagaimana ? Coba ceritakan, mumpung ada Mas Ikhwan, mungkin bisa membantu ”, desak Maria Nabeela lagi.

“ Ceritanya lumayan panjang …”, ujar Aisyah.

“ Oh maaf, kalau ana boleh usul…bagaimana kalau mimpi enti di ceritakan di rumah kami saja, mungkin di sana enti bisa lebih tenang, apalagi kondisi dan pemandangan di sekitar sini kayaknya kurang strategis ”, sela Mas Ikhwan sambil melirik ke adiknya. Maria Nabeela mengerti apa yang di kehendaki kakaknya. Dia mafhum.

“ Iya Aisy..ceritakan saja di rumah kami, insya Allah ana dan Mas Ikhwan bisa membantu “, tambah Maria Nabeela.

“ Oke..kalau begitu ayo berangkat ke rumahmu “, balas Aisyah.

Akhirnya ketiganya bergegas meluncur ke Ruknuddin tempat tinggalnya Maria Nabeela bersama kakaknya. Mas Ikhwan sengaja meminta Aisyah menceritakan mimpinya di rumahnya bukan hanya sekedar basa-basi, tetapi strategi dia agar secepatnya bisa meninggalkan taman kampus yang banyak di penuhi mahasiswi mutabarrijat. Bagi sosok sholeh seperti Mas Ikhwan, pemandangan tentang mahasiswi mutabarrijat sangat tidak baik buat kesehatan mata dan sangat rentan mengotori hati. Hal itu sangat di fahami Maria Nabeela, sehingga dia pun menyetujui keinginan kakaknya dan mengajak Aisyah untuk bercerita di rumahnya saja.

Sesampainya di rumah Maria Nabeela, Aisyah langsung menceritakan mimpinya. Wajahnya tampak bersedih, pelupuk matanya mulai berkaca-kaca. Perlahan, dua tiga tetes airmatanya mengalir di pipinya yang semu kemerahan.

“ Sepertinya mimpi ana ini erat hubungannya dengan ketidakpercayaan ana dengan eksistensi neraka. Kemaren sore, ana menghadiri muhadloroh Dirosat Qur`aniyah-nya DR. Hindun Sahlul. Dalam muhadloroh-nya, dosen kita itu menyinggung tentang hijab dan kewajiban memakainya bagi wanita muslimah. Lalu beliau menyitir ayat ke 59 dari Surah Al Ahzab yang dengan tegas menjelaskan wajibnya mengenakan busana muslimah plus jilbab. Ana yang tidak mempercayai adanya neraka, mendengar penjelasannya jengkel sekali, sebab menurut ana, syariat hijab adalah doktrin kuno yang sudah usang dan basi. Lagian, Islam sangat tidak adil mewajibkan hijab buat wanita, apalagi dengan alasan menghormati dan menjaga keselamatan kaum wanita. Dalam kondisi musim panas seperti sekarang, kalau Islam mensyariatkan hijab, tentu tak terbayangkan bagaimana tersiksanya ana mengenakan jilbab. Pasti sumuk dan gerah sekali. Jadi menurut ana, Islam bukannya menghormati kaum wanita, tetapi malah menyiksa dan membuat menderita kaum wanita “, sesaat Aisyah berhenti bercerita, dia sesenggukan. Maria Nabeela mengelus kepalanya agar bisa sedikit tenang. Lalu Aisyah melanjutkan ceritanya sampai selesai. Setelah selesai mengisahkan mimpi ngerinya, dia tidak lagi mampu menahan tangisnya. Serta merta dia menjatuhkan dirinya ke pelukan Maria Nabeela yang duduk di sampingnya, sambil tetap menangis sesenggukkan.

“Ana takut sekali Maria. Ana takut sekali…..apa dosa ana …apa benar karena ana meremehkan keberadaan neraka ? Apa karena ana tidak mengindahkan syariat jilbab dan tidak mengenakannya, sehingga ana terancam masuk neraka ? Tolonglah ana Maria ”, adu Aisyah ke Maria Nabeela sambil tetap sesenggukkan.

Maria Nabeela masih membisu, namun tangannya memeluk erat sahabatnya itu. Dalam hatinya dia seperti menemukan jawaban mengapa hari ini penampilan Aisyah berbeda dari hari-hari biasanya. Sepanjang persahabatannya dengan Aisyah, belum pernah dia melihat Aisyah mengenakan busana sopan dan longgar, tetapi selalu berpakaian seksi dan memancing perhatian orang. Tapi hari ini penampilannya berubah. Apakah karena mimpi itu yang menyebabkan Aisyah merubah penampilannya. Maria Nabeela belum yakin itu jawabannya.

“ Kata ibu ana …”, lanjut Aisyah. “ Mimpi tetaplah mimpi, dan hanya merupakan bunga tidur, serta tidak perlu di ambil pusing. Sebab tidak ada hubungannya dengan alam nyata, namun ana tidak bisa menganggapnya hanya sekedar mimpi, mimpi ana itu seperti mengisyaratkan masa depan ana, bahagia atau tidaknya ana nanti”.

“ Aisy..”, kata Maria Nabeela sambil mengelus bahu Aisyah. “ Komentar ibumu memang benar, bahwa mimpi tetaplah mimpi, dan hanya merupakan bunga tidur, tapi kerisauan enti bahwa mimpi enti adalah isyarat masa depan enti sepertinya juga tidak salah. Yang jelas, sebaiknya enti bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari mimpi enti “, lanjutnya lagi.

“ Iya, benar sekali kata Maria itu, Ukhtiy Aisyah “, ujar Mas Ikhwan. “ Sebaiknya enti bisa mengambil hikmah dari mimpi enti, terlepas apakah mimpi enti adalah mimpi benar atau hanya sekedar bunga tidur. Sungguh, tidak seharusnya enti meragukan eksistensi neraka, sebab sebagai muslimah yang baik, enti pasti pernah membaca Al Qur`an. Banyak sekali ayat yang membicarakan tentang neraka, di samping juga banyak menuturkan perihal surga dan kebahagiaannya. Sehubungan dengan apa yang enti lihat dalam mimpi enti bahwa diantara golongan manusia yang di siksa, ada sekelompok wanita yang sedang di bakar kepalanya, menurut ana, mereka adalah para wanita mutabarrijat yang tidak pernah mengindahkan syariat hijab. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits pernah bersabda:

“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya: Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” .

Lebih lanjut, para ulama mengkaji hadits tersebut tentang siapa yang di maksud dalam hadits ini. Mereka menyimpulkan bahwa dua golongan penghuni neraka itu adalah:

Pertama, Laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain. Ini merupakan perumpamaan dari para pemimpin diktator dan para pembantunya yang dengan sadis dan kejam, menyengsarakan dan menzhalimi rakyatnya.

Kedua, wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Menurut Imam Nawawi “ Berpakaian tetapi telanjang “ memiliki beberapa makna, baik secara majazi maupun hakiki. Pertama : Berpakaian dalam arti mendapat anugerah nikmat dari Allah, tetapi telanjang dari syukur kepada-Nya. Kedua : Berpakaian, yakni terbungkus dengan pakaian, tetapi telanjang dari perbuatan baik dan perhatian terhadap kehidupan akhirat serta tidak berbuat taat. Ketiga : Mengenakan pakaian tetapi tampak sebagian anggota badannya agar tampak kecantikannya. Mereka itu berpakaian tetapi telanjang. Keempat : Mengenakan pakaian transparan yang masih memperlihatkan warna kulitnya dan bentuk tubuhnya. Mereka ini berpakaian tetapi telanjang.

Keduanya akan masuk ke dalam neraka, sama sekali tidak akan masuk neraka, bahkan tidak akan mencium aroma lezat dan wanginya sorga, meskipun sesungguhnya aroma wanginya sorga telah tercium beribu tahun perjalanan. Artinya, jika aroma sorga itu ada di suatu tempat yang jarak perjalanannya menuju tempat itu, membutuhkan beribu-ribu tahun, maka dalam tempo beribu tahun itu, aroma lesatnya sorga telah tercium. Namun, dua kelompok yang di tuturkan Rasulullah dalam hadits tadi, tidak akan pernah mencium bau surga sedikitpun ”, jelas Mas Ikhwan panjang lebar.

Mendengar penjelasan Mas Ikhwan, tangisan Aisyah mulai mereda. Dia mulai merasakan betapa masih banyak sosok sholeh yang mau memperhatikan dirinya. Penjelasan Mas Ikhwan menyentuh relung hatinya yang sangat dalam.

“ Lalu, apakah ana termasuk dari wanita yang di singgung Rasulullah dalam hadits yang…yang Mas Ikhwan tuturkan tadi ? “, tanya Aisyah pada Mas Ikhwan. Kedua matanya memandang Maria Nabeela, meskipun pertanyaannya di tujukan kepada Mas ikhwan. Dia tidak sangggup menatap mata dan wajah Mas ikhwan yang bening dan teduh. Dia juga ragu untuk memanggil antara ente, antum atau Mas Ikhwan, takut dia tersinggung.

“ Enti bisa menilai diri enti sendiri. Enti termasuk orang yang beruntung sebab mimpi yang enti alami barangkali merupakan “ elusan tangan “ kasih sayang Allah kepada enti, agar enti segera sadar “, balas Mas Ikhwan.

“ Terus, apa yang perlu ana perbuat sekarang ? “, tanya Aisyah lagi. Pandangannya tetap ke Maria Nabeela. Tetap tidak sanggup menatap Mas Ikhwan.

“ Jika enti menginginkan ketenangan dan ketenteraman bathin, sebaiknya enti segera merubah pemikiran bahwa syariat hijab adalah doktrin kuno yang sudah basi, lalu menggantinya dengan keyakinan bahwa syariat hijab adalah ajaran Islam yang suci, yang tujuannya menjaga keselamatan kaum wanita. Lalu, setelah itu, berbusanalah yang sesuai tuntunan agama. Berhijab dan mengenakan jilbab...”, jawab Mas Ikhwan.

“ Aduh Maria….mengapa tidak sejak dulu ana mengikuti nasehatmu…mungkin….”, ujar Aisyah. Belum sempat Aisyah menyempurnakan kata-katanya, Maria Nabeela memotongnya.

“ Aisy…sudahlah..yang penting sekarang enti sudah sadar, dan belum terlambat kok…sejak sekarang bertekadlah untuk menutup kehormatanmu serapi mungkin…berbusanalah yang sesuai dengan tuntunan agama dan pakailah jilbab, seperti kata Mas Ikhwan tadi..”.

“ Percayalah Ukhtiy Aisyah, seorang muslimah kalau pakai jilbab, terus busananya sopan dan longgar, apalagi mau pakai cadar, pasti tambah anggun dan tambah wibawa, daaan…..”, ujar Mas ikhwan. Dia sengaja tidak meneruskan kata-katanya, tapi matanya melirik ke Maria Nabeela. Maksudnya agar adiknya yang melanjutkan kata-katanya itu. Maria Nabeela faham maksud kakaknya.

“ Daan tambah cantik, tambah jelita, tambah ayu dan tambah banyak yang tertarik dan terpesona“.

“ Iya benar…buktinya lihat Maria…cantik kaan…?”, kata Mas Ikhwan.

Aisyah tidak menjawab. Dia tersenyum dan tersipu malu mendengar celoteh kakak beradik itu. Hatinya kini benar-benar bahagia dan bertekad untuk meninggalkan kebiasaan lama mengenakan busana yang serba seksi dan memancing perhatian orang, lalu menggantinya dengan busana muslimah plus jilbabnya.
“ Maria dan Akhiy Ikhwan…terimakasih ya telah menyadarkan ana. Sejak hari ini ana akan mengenakan busana muslimah yang sesuai dengan tuntunan agama. Ana juga akan berjilbab agar kepalaku nanti tidak di bakar seperti dalam mimpiku, tapiii…”, kata Aisyah ragu. Dia ingin mengatakan sesuatu , namun tidak sanggup meneruskannya. Maria Nabeela mafhum apa yang di inginkan sahabatnya. Lalu dia menarik tangan Aisyah ke kamarnya, di tunjukkannya beberapa model dan gaya jilbab miliknya.
“ Sebagai rasa syukur enti telah sadar pentingnya berjilbab, ana akan hadiahkan salah satu jilbab ana….silakan enti pilih…..yang warnanya biru, pink, merah..hitam..putih…terserah enti mau pilih yang mana “, kata Maria Nabeela.
“ Maria....enti baik sekali…tapi kayaknya ana mau pinjam saja deh….sebab sejak sekarang ana ingin berjilbab…besok insya Allah ana kembalikan “, balas Aisyah.
“ Terserahlah…”, gumam Maria Nabeela pasrah sambil mengulum senyum di bibirnya.
“ Maria…”, seru Aisyah sambil memeluk erat sahabatnya itu.
Beberapa saat kemudian, setelah mengenakan jilbab pinjaman dari Maria Nabeela, Aisyah berpamitan pulang. Dia ingin pulang sendiri ke rumahnya di Baromkeh, namun Mas Ikhwan dan Maria Nabeela tidak mengizinkannya dan bersikeras akan mengantarkannya. Mereka bilang, atas dasar rasa ukhuwah, mereka bertanggungjawab mengantarkannya pulang, apalagi sebagai muslimah, akan sangat tidak baik Aisyah pulang sendirian. Aisyah terpaksa menuruti keinginan mereka. Sesampainya mereka di rumah Aisyah, Aisyah mengajak mereka istirahat barang sejenak di rumahnya, namun mereka menolak. Alasannya, Mas Ikhwan ada jadwal talaqqi qiroah sab`ah nanti malam ke Syaikh Quroyim Rojih di Jami` Zainal Abidin. Untuk kedua kali, Aisyah tidak berdaya memaksa mereka. Lalu, keduanya kembali ke Ruknuddin.
Keesokan harinya dan selanjutnya, ketika dawam atau ke mana saja, Aisyah tidak lagi mengenakan busana yang memancing perhatian orang. Semua pakaian yang serba seksi di buangnya, atau paling tidak, di “museum “ kan ke dalam lemari sebagai bahan nostalgia. Busana tabarruj-nya di tinggalkan dan kini berbusana muslimah plus jilbabnya. Kekhawatirannya bahwa berbusana muslimah dan berjilbab akan sangat menyusahkannya, khususnya di musim panas akan membuatnya sangat sumuk dan gerah, ternyata tidak terbukti. Nyatanya dia tidak merasakan rasa sumuk yang di takutkannya. Malah Aisyah benar-benar menikmati indahnya berbusana muslimah dan mengenakan jilbab. Hal itulah yang membuat beberapa temannya heran dan penasaran. Namun Aisyah tidak ambil pusing dengan kepenasaran mereka. Tidak penting.
Menyadari perubahan dirinya, dia merasa berhutang budi pada Maria Nabeela yang telah banyak membantu dan menuntunnya dengan sabar untuk kembali menemukan keindahan ajaran Islam. Terlebih pada kakak Maria Nabeela, Mas Ikhwan. Aisyah sangat menghormatinya. Menurutnya, Mas Ikhwan sangat baik, sholeh, multazim biddin, wawasannya tentang Islam luas, tulus dan ikhlas, amanah, punya tanggungjawab, hafal Al Qur`an dan penyayang. Dia menyadari bahwa sesungguhnya dia mengagumi Mas Ikhwan kakak sahabatnya itu. Bahkan hati kecilnya tidak berdaya membohongi diri bahwa dia telah jatuh hati kepadanya. Tetapi mungkinkah Mas Ikhwan berkenan ? Aisyah tidak berdaya mengetahui jawabannya, namun hati nuraninya tidak pernah berhenti berharap dan berdoa kiranya suatu saat nanti dia berjodoh dengan Mas Ikhwan, atau dengan yang memiliki kepribadian seperti dia. “ Ya Allah..perkenankan permohonan dan impianku”, munajatnya pada suatu kesempatan.
Selesai.
*** Penulis adalah seorang pengembara kehidupan yang haus ilmu, yang selalu berusaha menebar da`wah lewat cinta robbani. Sekarang tercatat sebagai Mahasiswa Fakultas Sastera Arab Tingkat II Universitas Damaskus.

Catatan :
1. Negeri Syam : Sebutan untuk Syria dan sekitarnya.
2. Sumuk ( bahasa jawa ) : Kepanasan.
3. Dirosat Qur`aniyah : Salah satu mata kuliah ( madah ) di Fakultas Sastera Arab.
4. Dawam : Mengikuti pertemuan penyampaian materi oleh dosen.
5. Mudarroj Tsamin : Salah satu gedung kuliah di kampus Fakultas Sastera Arab, bentuknya di buat bertangga-tangga persis gedung Stora ( Stadiun Olahraga ). Karenanya di sebut Mudarroj ( yang bertangga-tangga ). Tsamin artinya yang ke delapan.
6. Mukhadloroh : Pertemuan penyampaian materi oleh dosen.
7. Kota Aleppo : Salah satu kota di Syria, merupakan kota terbesar ke dua setelah Kota Damascus.
8. Servis : sebutan untuk mobil angkot di Syria.
9. Mutabarrijaat : Gadis yang suka pamer keindahan tubuhnya dengan berpakaian seksi.
10. DR. Hindun Sahlul : salah satu dosen mata kuliah Dirosat Qur`aniyah di Fakultas Sastera Arab Universitas Damascus.
11. Syu bek Habibtiy ( bahasa amiyah Syria ) : Ada apa denganmu Sayang ?
12. Bukit Qoshiyun : Salah satu bukit di Kota Damascus. Sebuah bukit yang masyhur dan penuh berkah, di atas puncaknya ada makam 40 wali ( wali arbain), ada makam Ibnu Malik penulis nazhom Al Fiyah, ada makan Syaikh Muhyiddin yang biasa di kenal Ibnu Arobiy. Di lereng bukit ini pula, mayoritas mahasiswa khususnya yang berasal dari Asia Tenggara bermukim. Dan di kaki bukit ini pula, terdapat Mujamma` Syaikh Kaftaroo, salah satu Universitas Islam di Kota Damascus.
13. Syaikh Kuroyim Rojih : Syaikhul Qurro` ( Guru dari para guru ahli Quran dan para hafidz ) di Kota Damascus.
14. Hadiqoh : Taman
15. Maa liisy ( bahasa arab amiyah Syria ) : Nggak apa-apa kan ?
16. Ma`assalamah : Selamat tinggal
17. Toko Aydi : Sebuah toko alat-alat tulis yang melayani keperluan mahasiswa Fakultas Sastera Arab.
18. Mudarroj Wahid : Salah satu gedung kuliah di kampus Fakultas Sastera Arab.
19. Jami` Zainal Abidin : Salah satu masjid di Kota Damascus.